tirto.id - Menteri LHK Siti Nurbaya menjelaskan sikap kementeriannya terhadap temuan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) soal kerugian Rp185 Triliun yang muncul akibat dampak aktivitas tambang Freeport terhadap lingkungan di Papua.
Menurut Siti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masih perlu mendalami temuan BPK tersebut. Dia beralasan sejumlah aturan pemerintah di masa lalu melahirkan celah pelanggaran yang memicu kerusakan lingkungan akibat kegiatan tambang Freeport di Papua.
“Ada kondisi ketika PT Freeport Indonesia mau ngapain saja boleh. Misalkan dulu ada aturan 30-50 persen [limbah] tailing boleh melimpas ke perairan,” kata Siti Nurbaya di Kantor BPK, Jakarta pada Rabu (19/12/2018).
Siti mencontohkan salah satu ketentuan di masa lalu yang perlu diperiksa ialah Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 431 Tahun 2008 yang membolehkan perusahaan membuang tailing dengan angka padatan tersuspensi hingga 45 kali ambang baku mutu yang diperkenankan. Menurut Siti, KLHK akan melakukan pembaharuan dengan mencabut peraturan-peraturan seperti itu.
“Karena itu saya belum akan masuk ke dalam kajian Rp185 T. Kenapa? kami harus cek dulu,” ucap Siti.
Laporan hasil pemeriksaan BPK terhadap pelaksanaan Kontrak Karya Freeport Indonesia tahun 2013-2015 menyebut kegiatan tambang perusahaan tersebut di Papua memicu kerusakan lingkungan dengan potensi kerugian Rp185 Triliun.
Akan tetapi, menurut Siti, angka Rp185 triliun itu belum dicatat sebagai kerugian negara. Selain itu, kata dia, nilai kerugian berdasar hasil hitungan ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB) itu perlu dikonsultasikan lagi dengan KLHK.
Sementara itu di tempat yang sama, Anggota IV BPK Rizal Djalil menjelaskan kerugian Rp185 triliun tersebut merupakan nilai kerusakan ekosistem akibat kegiatan Freeport di Papua.
“Terkait Rp185 Triliun, sudah ada rencana aksi bagaimana menyelesaikan itu. Itu yang dijelaskan ibu Menteri ini,” ucap dia.
Rizal menambahkan BPK akan memantau pelaksanaan roadmap yang dibuat oleh Freeport Indonesia itu.
Roadmap tersebut terbagi menjadi 2 tahap dengan masing-masing jangka waktunya, yaitu periode 2018-2024 dan 2025-2030. Pada tahap pertama, salah satu persoalan yang akan dituntaskan Freeport ialah penyelesaian dampak limbah tailing ke lingkungan di Papua.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Addi M Idhom