tirto.id - “Penutupan ini 100% disebabkan oleh Demokrat, yang agenda radikalnya meracuni politik kita dan menghukum rakyat kita.”
Kalimat provokatif itu tertulis di laman resmi Gedung Putih yang menggambarkan sikap Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sebagai Republikan, yang selalu bertolak belakang dengan Demokrat. Shutdown (pemberhentian operasi) pemerintahan AS dituding Partai Republik karena pihak Partai Demokrat ingin mengutamakan anggaran layanan kesehatan sebesar 200 miliar dolar AS bagi imigran ilegal, alih-alih berprinsip "America First".
Sehingga, shutdown pemerintahan AS menjadi hal tak terelakan. Penutupan sementara operasi pemerintah AS mulai berlangsung sejak Selasa (30/9/2025) malam, waktu setempat.
Pangkalnya, pemerintah federal resmi shutdown setelah kongres gagal menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Belanja tahunan. Mulanya, Partai Republik ingin memotong anggaran layanan kesehatan utamanya yang menyangkut kelanjutan Obamacare, tapi Partai Demokrat bersikeras melanjutkannya.
Akibatnya, tidak ada kucuran dana dari persetujuan kongres yang bisa dipakai untuk menjalankan roda pemerintahan AS. Pihak Demokrat di senat, yang dikomandoi Chuck Schumer menekankan bahwa Trump dan Partai Republik telah menuntun pemerintahan AS ke dalam kemunduran melindungi layanan kesehatan rakyat.
“Jelas bahwa jalan keluar dari shutdown pemerintahan ini adalah duduk bersama dan bernegosiasi dengan Partai Demokrat untuk mengatasi krisis layanan kesehatan yang mengancam puluhan juta keluarga Amerika,” kata Chuck, dikutip Kamis (2/10/2025).
Dampak pemerintahan yang terhenti sementara mengakibatkan terhentinya pula layanan publik lantaran sedikitnya 40 persen pegawai federal atau sekira 750.000 orang terancam dirumahkan, dan tidak menerima upah. Sejumlah lembaga seperti Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) dan Institut Kesehatan Nasional (NIH) kemungkinan bakal merumahkan banyak pekerja.
Meski begitu, tidak semua instansi pemerintah bakal tutup. Mereka yang dinilai sebagai pekerja sektor vital tetap dipekerjakan, tapi tanpa bayaran untuk sementara waktu. Mereka seperti petugas perlindungan perbatasan, penegakan hukum, Imigrasi dan Bea Cukai (ICE), petugas perawatan medis di rumah sakit, dan petugas kontrol lalu lintas udara diperkirakan akan tetap beroperasi seperti biasa.
Teranyar, Trump menekan dengan membekukan anggaran sebesar 26 miliar dolar AS untuk negara-negara bagian yang condong ke Partai Demokrat. Trump juga mewanti-wanti bakal memanfaatkan shutdown pemerintahan untuk menargetkan program prioritas Demokrat.Di antaranya program yang diincar adalah proyek transportasi di New York senilai 18 miliar dolar AS dan 8 miliar dolar AS untuk proyek energi hijau. Semua proyek ini tersebar di 16 negara zona biru atau Demokrat, termasuk Illinois dan California.
RUU Anggaran Belanja Kerap Jadi Senjata Politik
Peneliti Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS), Andrew Wiguna Mantong, menjelaskan hubungan antara Gedung Putih dan Kongres dalam pembahasan anggaran selalu tegang. Hal ini karena sistem checks and balances di AS memberi kewenangan penuh kepada Kongres untuk menyetujui setiap belanja negara.
Dengan kata lain, Presiden datang dengan prioritas programnya sendiri, sementara Kongres–baik Demokrat maupun Republik–menggunakan kewenangan anggaran sebagai alat tawar.
“Dalam beberapa dekade terakhir polarisasi makin tajam. Demokrat menekankan belanja sosial, kesehatan, dan iklim, sedangkan Republik mendorong pemangkasan pajak dan peningkatan belanja militer. Perbedaan ini kerap dijadikan strategi politik, terutama oleh partai oposisi yang memanfaatkan momen anggaran untuk menekan presiden,” kata Andrew kepada Tirto, Kamis (3/10/2025).
Selain itu, Andrew mengatakan adanya fragmentasi internal dalam partai, seperti faksi konservatif garis keras di tubuh Republik, seringkali membuat kompromi semakin sulit. Efeknya, setiap kali pembahasan RUU Anggaran Belanja berlangsung, tarik-menarik politik lebih dominan daripada sekadar teknis fiskal. Benturan pun hampir selalu terjadi.
“Di era Trump, shutdown lebih sering dan berlangsung lebih lama karena kombinasi gaya kepemimpinan dan dinamika politik yang unik. Trump cenderung mengambil posisi keras dalam negosiasi anggaran, misalnya saat menuntut pendanaan besar untuk tembok perbatasan dengan Meksiko,” ujar dia.
Sebagai catatan ini bukan kali pertama Pemerintahan Trump mengalami pemberhentian operasi. Tercatat pada periode kepemimpinan pertama Trump pada tahun 2018 dan 2019 terjadi shutdown pemerintahan. Pada tahun 2019 bahkan shutdown berlangsung selama 35 hari, paling panjang dalam sejarah AS modern.

Andrew menekankan pendekatan konfrontatif ini membuat kompromi dengan Partai Demokrat hampir mustahil. Sementara di internal Partai Republik sendiri muncul tekanan dari kelompok konservatif garis keras yang mendesak agar partai tidak mengalah. Polarisasi yang sudah tinggi makin diperparah oleh retorika Trump yang sering memposisikan kebijakan anggaran sebagai ujian loyalitas politik, bukan sekadar urusan teknis fiskal.
“Akibatnya, kebuntuan yang biasanya bisa diselesaikan dengan kesepakatan sementara justru berlarut, menjadikan periode Trump mencatat shutdown terpanjang dalam sejarah modern AS,” kata dia.
Menurutnya, selain mengganggu operasional pemerintahan, isu RUU Anggaran Belanja yang berujung pada government shutdown memang sering dipakai sebagai senjata politik. Demokrat, khususnya saat berhadapan dengan Trump, tidak hanya melihat ini sebagai soal fiskal tetapi juga sebagai kesempatan untuk menekan legitimasi dan popularitasnya.
“Dengan menolak proposal anggaran yang dianggap ekstrem seperti pemangkasan besar program sosial atau pendanaan tembok perbatasan, Demokrat berusaha membingkai Trump sebagai presiden yang tidak mampu memerintah secara efektif,” kata dia.
Meski hal ini tidak bertujuan untuk mendorong langsung presiden turun jabatan. “Namun, penting dicatat bahwa strategi ini bukan semata untuk menjatuhkan Trump secara langsung, melainkan bagian dari permainan politik di sistem Amerika yang memang memberi ruang bagi oposisi untuk menggunakan anggaran sebagai alat tawar,” lanjut dia.
Jadi, kata dia, Partai Demokrat sadar bahwa memperpanjang kebuntuan bisa melemahkan citra presiden di mata publik, terutama menjelang pemilu atau momen politik penting lainnya.
Dampak ke Ekonomi Indonesia
Di sisi lain, shutdown pemerintahan AS dinilai berpotensi mempengaruhi ekonomi Indonesia. Sebab, perlu diketahui bahwa neraca perdagangan Indonesia dengan AS pada tahun 2024 tercatat surplus 14,52 miliar dolar AS, yang didorong oleh ekspor produk tekstil, rajutan, dan peralatan elektrik.
Dekan FEB Universitas Islam International Indonesia Teguh Yudo Wicaksono mengatakan, akan ada potensi dalam soal arus perdagangan internasional AS-Indonesia. Sebab, telah terjadi perlambatan proses administrasi di AS.
Kendati kerja bea cukai dan keamanan perbatasan tidak termasuk klaster yang disetop, tetapi sebagian lembaga seperti FDA (Food and Drug Administration) atau Departemen Pertanian (USDA) yang melakukan inspeksi mungkin akan beroperasi dengan kapasitas terbatas.
“Ini berpotensi menciptakan penundaan dalam proses customs clearance untuk produk-produk tertentu dari Indonesia, terutama produk makanan, agrikultur, atau barang lain yang memerlukan inspeksi khusus. Para eksportir dari Indonesia mungkin akan menghadapi ketidakpastian waktu pengiriman dan potensi biaya tambahan akibat penumpukan di pelabuhan,” kata Teguh kepada Tirto, Kamis (2/10).
Dampak lainnya, kata dia, pekerja di AS yang mengurangi daya beli lantaran dirumahkan tanpa bayaran. Sehingga, ketidakpastian politik dan ekonomi, ini akan membuat rumah tangga dan perusahaan di AS menunda belanja barang-barang yang tidak esensial, termasuk produk-produk yang Indonesia ekspor seperti tekstil, garmen, dan peralatan elektronik.
“Jadi, risiko utamanya adalah pelemahan permintaan dari pasar AS, yang pada akhirnya dapat menekan volume ekspor Indonesia dan mengikis surplus neraca perdagangan,” katanya.
Teguh juga menekankan dampak sisi moneter akibat shutdown pemerintahan AS. Dampaknya terutama akan terasa melalui sentimen pasar keuangan global. Reaksi pasar biasanya, kata dia, para investor global cenderung menjadi lebih cemas. Efeknya, mereka akan menarik modalnya dari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Aliran modal keluar ini akan secara langsung menciptakan tekanan pelemahan terhadap nilai tukar rupiah. Permintaan Dolar AS akan meningkat, sementara pasokan dari investor asing berkurang,” tuturnya.
Oleh karena itu, Teguh meningkatkan perlunya intervensi Bank Indonesia. Bank Indonesia kemungkinan besar akan melakukan intervensi di pasar valas untuk menstabilkan rupiah, yang tentunya akan menguras cadangan devisa.
“Jika tekanan terus berlanjut, tidak tertutup kemungkinan BI harus mempertimbangkan penyesuaian suku bunga acuan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan moneter,” ujarnya.
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































