tirto.id - Pemerintah Amerika Serikat (AS) kembali menghadapi kondisi "shutdown" terhadap berbagai layanan pemerintah imbas dari tak ada titik temu antara Pemerintah dan Senat dalam membahas anggaran federal pada Jumat (19/1) tengah malam waktu setempat.
Demokrat dan Republik di Senat gagal mencapai kesepakatan akhir terkait pendanaan operasi, imigrasi, dan pengamanan perbatasan. Berbeda dengan di Indonesia, apabila DPR menolak rancangan anggaran APBN dari pemerintah, maka pemerintah sesuai UUD 1945 pasal 23 bisa menggunakan APBN tahun lalu. Di AS tak demikian, bila tak ada titik temu maka yang terjadi adalah "shutdown" berimbas pada layanan karena tak ada anggaran.
Sejumlah departemen yang bakal terkena dampak dari penghentian operasional yang diprediksi berlangsung hingga minggu kedua Februari 2018 itu di antaranya Departemen Perdagangan, NASA, Departemen Ketenagakerjaan, Departemen Perumahan, dan Departemen Energi.
Shutdown bukan kali pertama terjadi dialami oleh pemerintah AS. Sejak 1981, AS sudah mengalami 12 kali "shutdown", dengan lama yang bervariasi. Namun, bila dihitung dari "shutdown" kali pertama September-Oktober 1976, pemerintah AS sudah mengalami 19 "shutdown" termasuk di era Trump saat ini. Kali terakhir shutdown terjadi pada masa pemerintahan Presiden Obama pada 2013 yang berlangsung selama 16 hari.
Pada 2013 sekitar 800 ribu pegawai pemerintah tidak bekerja dan tidak dibayar. Selain itu, lebih dari satu juta pegawai tertunda gajinya. Namun, pada hari kelima penghentian operasional, Kongres akhirnya memutuskan untuk mencairkan gaji mereka.
Ekonom di dalam negeri menilai kondisi "shutdown" pemerintah AS tak berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira berpendapat demikian karena mengacu dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Asalkan kondisi shutdown AS tidak berlangsung lama.
"Biasanya sih maksimal 20 hari," kata Bhima kepada Tirto, Minggu (21/1/2018) siang.
Korelasi yang paling dekat terhadap kondisi AS dengan ekonomi Indonesia adalah soal nilai tukar dolar AS terhadap Rupiah. Bhima memperkirakan bila dampak shutdown sampai dua minggu ke depan pun, imbasnya terhadap nilai tukar rupiah sangat minim.
Alasannya, proyeksi dolar AS masih berada dalam rentang yang terkendali, kisaran Rp13.350 hingga Rp13.400. Ia memperkirakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih tetap positif di angka 6.490-6.500, ini karena didorong leh sentimen investor dalam negeri terhadap prospek pemulihan ekonomi domestik. Bhima ingin menegaskan sentimen positif dalam negeri masih bisa menghalau dampak dari kondisi AS terkini.
Namun, bila kondisi terus berlanjut sampai jangka waktu yang cukup lama, misalnya lebih daru dua pekan, Bhima khawatir kondisi berpotensi mengganggu perdagangan, investasi, dan stabilitas perekonomian global. Dengan shutdown, misalnya perdagangan Indonesia ke AS akan terganggu, dan dengan demikian kinerja ekspor pun akan terpengaruh.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun lalu ekspor Indonesia ke AS cukup dominan, mencapai 11,2 persen atau setara Rp227 triliun dari total ekspor.
Shutdown berkepanjangan juga berpotensi mengganggu pasar modal, lebih spesifik naiknya yield surat utang. "Dampak shutdown di pasar keuangan akan berimplikasi pada naiknya yield surat utang yang mencerminkan kenaikan risiko serta keluarnya modal asing dari negara berkembang," kata Bhima.
Mesti cenderung aman, Bhima mengatakan bahwa pemerintah juga perlu memikirkan sejumlah antisipasi. Salah satunya dengan terus meningkatkan nilai maupun kualitas cadangan devisa lewat ekspor non-migas dan pariwisata. "Bank Indonesia (BI) juga perlu untuk terus memantau ketahanan fundamental ekonomi terhadap tekanan global," ujar Bhima.
Bhima juga mengatakan agar pemerintah Indonesia dapat memperluas pasar ekspor ke negara-negara selain AS serta melakukan reformasi investasi. Dua hal itu dirasa perlu agar ketergantungan Indonesia terhadap perdagangan dengan AS dan investasi dari sana bisa diminimalisir, sehingga ketika kejadian serupa terulang risikonya bisa diantisipasi lebih mudah.
Mayoritas senator Partai Demokrat menolak rencana anggaran pemerintah. Mereka menggunakan "senjata" soal tak adanya dana untuk 700 ribu imigran muda tanpa dokumen.
Para imigran muda, atau yang biasa disebut "Dreamers", adalah bagian dari program Deferred Action for Childhood Arrivals (DACA) yang dicanangkan Barack Obama saat masih menjabat sebagai Presiden AS pada 2012. Lewat program tersebut, Dreamers berpeluang memperoleh status legal sementara.
Berhubung tidak ada ketentuan untuk melindungi Dreamers dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dihasilkan pada Kamis (18/1/2018) waktu setempat, maka RUU pun belum berhasil diloloskan. Setidaknya butuh 60 suara dari dari senat yang keseluruhannya berjumlah 100 orang. Sementara itu, jumlah senator yang sejauh ini mendukung RUU tersebut hanya 50, mereka berasal dari Partai Republik.
"Mereka (Partai Demokrat) menempatkan politik di atas keamanan nasional kita, keluarga militer, anak-anak yang rentan, dan kemampuan negara kita untuk melayani semua orang Amerika," kata juru bicara Trump, Sarah Sanders. "Kami tidak akan menegosiasikan status imigran yang melanggar hukum," lanjut Sanders.
Selama masa shutdown, sebagian pegawai pemerintahan cuti dan tinggal di rumah. Dari kejadian sebelumnya, mereka tidak akan dibayar sampai adanya kesepakatan terhadap anggaran yang baru.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Rio Apinino