Menuju konten utama

Sri Mulyani: Kebijakan Ekonomi AS dan Cina Jadi Risiko Ekonomi 2018

Perekonomian global pada 2018, menurut Sri Mulyani, dibayangi risiko kebijakan ekonomi baru di AS dan Cina, kelanjutan efek Brexit dan krisis politik di Korea Utara serta Timur Tengah.

Sri Mulyani: Kebijakan Ekonomi AS dan Cina Jadi Risiko Ekonomi 2018
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan pemaparan saat mengisi kuliah umum di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (28/8/2017). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso.

tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan sejumlah faktor global yang berpotensi membawa risiko pada perekonomian 2018. Meski tahun depan, ada prediksi perbaikan perekonomian dunia, Sri Mulyani menilai sejumlah risiko tetap tak bisa diabaikan.

Risiko pertama, dalam daftar catatan Sri Mulyani ialah kebijakan ekonomi baru Amerika Serikat (AS). Misalnya, adanya penggantian Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed), yakni dari Janet Yellen ke Jerome Powell. Pemilihan Powell, yang diumumkan pada awal November lalu, berpotensi besar mengubah arah kebijakan Federal Reserve pada 2018.

"Meski selama ini komunikasi sudah cukup baik, namun dengan kepemimpinan yang baru tentu akan membawa juga beberapa perubahan pada cara komunikasi dan arahnya sendiri," ujar Sri di kantor Kementerian Keuangan Jakarta pada Senin (18/12/2017).

Sri Mulyani juga memperhitungkan dampak dari upaya pemerintah AS meloloskan kebijakan perpajakan (tax policy) baru yang cukup signifikan mengubah rate maupun insentif bagi pengusaha di sana. Pemerintah AS berencana memotong pajak AS, yang dapat mendorong perpindahan arus modal ke AS dan pelemahan mata uang global terhadap dolar AS.

"Secara internasional, perlu dilihat arah kebijakan perpajakan di AS nantinya. Perbaikan kondisi ekonomi AS akan mendorong the Fed melakukan normalisasi kebijakan moneter," kata Sri Mulyani.

Selain dari AS, kebijakan ekonomi baru Cina juga bisa membawa risiko. Sri Mulyani menilai restrukturisasi perekonomian di Cina yang sedang berupaya menyeimbangkan komposisi pertumbuhan ekonomi. "Balancing yang dilakukan RRT (Cina) akan memengaruhi seluruh dunia," kata Sri.

Selain pengaruh kebijakan ekonomi AS dan Cina, secara global kondisi ekonomi juga terpengaruh dengan faktor kriris geopolitik.

Sri Mulyani menganggap dampak British exit (Brexit) atau keluarnya Inggris dari Eropa mesih bisa berlanjut di 2018. Hal ini tercermin dari kondisi Jerman, yang semula diasumsikan sebagai daerah paling stabil, tapi belum mampu membentuk pemerintahan baru setelah Pemilihan Umum (Pemilu).

Dia mengimbukan ketegangan politik di kawasan Korea Utara dan Timur Tengah, serta perubahan di Arab Saudi juga dapat mempengaruhi ketidakstabilan regional dan global.

Sementara itu, untuk tantangan domestik, menurut Sri Mulyani, ialah merealisasikan target pertumbuhan ekonomi 5,4 persen. Target itu bisa dicapai dengan pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran; peningkatan produktivitas; peningkatan kapasitas fiskal; dan mendorong berkembangnya teknologi disruptif yang mengubah pola konsumsi di masyarakat.

Sementara kondisi di dalam negeri masih terhambat masalah kesenjangan infrastruktur dan indeks pembangunan manusia yang relatif rendah. Selain itu, kepemilikan asing pada instrumen Surat Berharga Negara (SBN) yang cukup tinggi, dinilai oleh Sri Mulyani masih rentan terhadap pembalikan arus modal. Sedangkan pasar keuangan, khususnya pasar obligasi, masih belum dalam dan likuid.

Namun, Sri Mulyani optimistis Indonesia memiliki indikator positif dalam menghadapi tantangan global maupun domestik tersebut. Sebab nilai ekspor, investasi, dan impor bahan baku, yang terus mencatat angka peningkatan.

"Hal yang mungkin positif side dilihat dari perekonomian Indonesia di kuartal III. Momentum ini perlu diperhatikan dan pemerintah perlu yakin itu positif," kata dia.

Baca juga artikel terkait PERTUMBUHAN EKONOMI 2018 atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Addi M Idhom