Menuju konten utama
24 Januari 1972

Shoichi Yokoi, Enggan Menyerah Meski Jepang Kalah Perang

Setelah kembali ke negerinya, Shoichi Yokoi heran. Jepang bukan lagi negara yang dikenalnya dulu.

Shoichi Yokoi, Enggan Menyerah Meski Jepang Kalah Perang
Header Mozaik Shoici Yokoi

tirto.id - Setelah Jepang menyerang Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii pada 7 Desember 1941, Amerika Serikat (AS) murka. Presiden AS Franklin D. Roosevelt menyatakan perang terhadap Jepang dan bergabung dalam aliansi Sekutu. Perang Pasifik (1941-1945) pun dimulai, menambah cabang peperangan dalam Perang Dunia II.

Sehari setelah menyerang Pearl Harbor, Jepang menduduki Pulau Guam di Samudra Pasifik yang dikuasai AS. Pada 1944, Amerika Serikat mendatangi Guam untuk merebutnya kembali pada 10 Agustus 1944.

Terdesaknya Jepang di Guam utara yang memiliki kontur alam bergunung-gunung dan hutan lebat cukup membantu pasukan yang kocar-kacir melarikan diri dan berlindung. Skala peperangan berangsur padam seiring dengan kemenangan AS. Hanya beberapa unit kecil yang bertempur dan sesekali memakan korban di pihak AS.

Setelah dua dekade lebih perang berakhir, pada 24 Januari 1972, dua orang pemburu di Guam menemukan seorang paruh baya yang renta di dekat air terjun Talofofo. Pria yang belakangan diketahui bernama Shoichi Yokoi ini tidak lain adalah seorang tentara Jepang berpangkat kopral yang masih tersisa di hutan Guam dan sudah berumur 57 tahun.

Saat ditemukan di waktu senja, Yokoi sedang memasang perangkap ikan di dekat sungai. Yokoi dikejutkan dengan kedatangan dua pemburu yang juga sama-sama terkejut melihat Yokoi. Dilansir BBC, melihat pemandangan manusia-manusia lain setelah bertahun-tahun hidup sendiri, Yokoi segera meraih salah satu senapan para pemburu itu, tapi tenaganya terlalu lemah.

"Dia takut mereka [para pemburu] akan membawanya sebagai tawanan perang—yang akan menjadi aib terbesar bagi seorang tentara Jepang dan bagi keluarganya di rumah," kata Omi Hatashin, keponakan Yokoi.

Para pemburu lantas menggiring Yokoi di bawah todongan senjata ke kantor polisi setempat. Ia juga sempat menangis memohon untuk dibunuh. Sesampainya di kantor polisi, ia menceritakan kisahnya sebagai seorang prajurit Jepang.

Beberapa minggu setelah penemuan Yokoi, ia diterbangkan kembali ke Jepang menggunakan jet sewaan. Ia menangis saat melihat Gunung Fuji, setelah hampir 28 tahun tidak bisa kembali ke kampung halaman.

Kepulangan Yokoi ke Jepang disambut meriah oleh warga dan disiarkan di televisi Jepang. Yokoi dianggap sebagai lambang kesetiaan kepada negara dan berhasil berjuang bertahan hidup di hutan sendirian. Ribuan orang Jepang berjejer di pinggir jalan raya seraya mengibarkan bendera Jepang menanti lewatnya Yokoi menuju desa asalnya.

Tidak sedikit publik Jepang yang tergerak memberikan santunan kepada Yokoi baik berupa uang, hadiah, hingga tawaran pernikahan. Di pemakaman keluarga, ia menangis melihat nisan bertuliskan namanya yang dianggap telah meninggal di Guam sejak 1944.

Dari Penjahit ke Prajurit

Yokoi berprofesi sebagai seorang penjahit sebelum terjun di dunia kemiliteran. Lahir pada 1915 dan besar di desa pertanian dekat kota Nagoya, Jepang tengah, Yokoi menjalani wajib militer pada usia 26. Ia ditugaskan di Manchuria sebelum akhirnya dikirim ke Guam pada 1944 untuk berperang.

Pasukan Jepang didorong untuk bertempur sampai mati dan diajarkan bahwa penyerahan diri kepada musuh adalah tindakan yang sangat memalukan. Yokoi sebenarnya hanyalah salah satu dari ribuan tentara Jepang yang lari ke hutan ketika diserbu habis-habisan oleh AS di Guam.

Dari ribuan kombatan itu ada yang tertangkap oleh tentara AS dan ada pula yang masih bertahan hingga beberapa tahun kemudian lalu meninggal karena kelaparan atau terserang penyakit. Meski Yokoi tahu bahwa Jepang telah kalah dan menyerah, ia tetap bersembunyi di dalam hutan dengan melubangi tanah selama tiga bulan membikin sebuah gua sebagai tempat tinggalnya. Yokoi bersembunyi sepanjang hari dan keluar ketika hari beranjak petang untuk mencari makan.

Untuk bertahan hidup, Yokoi memakan buah-buahan, kacang-kacangan, ikan, udang, katak, tikus, dan siput yang didapat di sekitar tempat persembunyiannya itu. Keahliannya sebagai seorang penjahit membantunya menenun pakaian yang terbuat dari kulit kayu.

Dalam memoar Yokoi yang disusun oleh Omi Hatashin (2009) berjudul Private Yokoi's War and Life on Guam, 1944–72: The Story of the Japanese Imperial Army's Longest WWII Survivor in the Field and Later Life menunjukkan bahwa ia tetap berjuang mempertahankan hidup dalam pengasingan di tengah hutan. Termasuk saat ia hidup sendirian setelah dua rekan prajuritnya meninggal karena diterjang banjir pada 1964.

Kepatuhannya sebagai prajurit setia tetap ditunjukkan di saat melewati masa-masa sakit keras di hutan. "Tidak! Saya tidak bisa mati di sini. Saya tidak bisa mengekspos mayat saya kepada musuh. Saya harus kembali ke lubang saya untuk mati. Sejauh ini saya telah berhasil bertahan hidup tetapi semua akan sia-sia sekarang (jika mayatnya sampai kelihatan musuh)," tulisnya.

Saat kembali ke Jepang, negaranya telah berubah pesat dibanding saat masa mudanya dahulu. Namun, Yokoi masih memegang pandangan dan cara hidup tradisional. Yokoi keheranan melihat orang-orang Jepang yang tak menghabiskan makanannya. Ia juga pernah mendesak agar lapangan golf ditanami kacang saja.

Menurut Hatashun, pamannya, Yokoi tidak pernah benar-benar menikmati kehidupan di Jepang modern setelah mengalami banyak perubahan setelah Perang Dunia Kedua. Yokoi tidak terkesan dengan perkembangan negaranya. Semakin tua, Yokoi justru terus terjebak kenangan masa lalu.

Ia bahkan kembali lagi ke Guam untuk sekadar bernostalgia dan kadang ditemani istrinya Mihoko Yokoi, yang dinikahinya beberapa bulan setelah kepulangannya ke Jepang. Beberapa benda peninggalannya selama puluhan tahun tinggal di hutan termasuk perangkap belut dipamerkan di sebuah museum kecil di Guam. Yokoi akhirnya tutup usia pada 1997 pada usia 82 tahun karena serangan jantung.

Infografik Mozaik Shoici Yokoi

Infografik Mozaik Shoici Yokoi

Mencari Kombatan Lain

Kisah Yokoi memantik upaya pencarian tentara Jepang lainnya yang kemungkinan besar masih ada yang tertinggal di pulau-pulau Asia Tenggara. Salah satu kisah yang tak kalah dramatis adalah penemuan Hiroo Onoda pada 1974. Seorang perwira intelijen berpangkat letnan ini ditemukan tinggal di hutan Pulau Lubang, Filipina selama hampir 29 tahun setelah Perang Dunia Kedua berakhir.

Saat pasukan sekutu datang ke Pulau Lubang pada Februari 1945, tentara Jepang dibombardir habis-habisan. Onoda dan beberapa pasukannya berhasil meloloskan diri. Namun, meski mendengar perang telah usai, ia menolak untuk mempercayainya.

Pemulangan Onoda cukup alot lantaran ia masih memegang teguh perintah atasan: tidak meninggalkan Filipina. Akhirnya, atasan Onoda, Mayor Yoshimi Taniguch yang sudah pensiun dan sepuh, diterbangkan ke Pulau Lubang untuk memberi perintah langsung kepadanya agar mau pulang ke Jepang. Onoda menerima perintah pulang itu serta menyerahkan pedangnya kepada Presiden Filipina Ferdinand Marcos.

Selain Onoda, prajurit wajib militer Jepang asal Taiwan Teruo Nakamura juga ditemukan sendirian di pulau Morotai di Maluku Utara pada Desember 1974. Dia dipulangkan ke Taiwan dan meninggal pada 1979.

Baca juga artikel terkait JEPANG atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Tony Firman
Editor: Irfan Teguh Pribadi