tirto.id - Tak sedikit bocah usia sekolah yang ingin menjadi tentara. Tentu saja dengan berbagai-macam motivasi. Agar terlihat gagah, misalnya, atau karena meyakini citra nasionalis lekat dengan tentara. Tidak sedikit orang tua yang rela jual tanah atau ternak agar anaknya bisa jadi tentara. Selama puluhan tahun, khususnya di zaman Orde Baru, profesi tentara adalah sesuatu yang membanggakan keluarga. Seorang tentara biasanya tak sulit menemukan jodoh.
Meski TNI telah terlibat banyak kasus pelanggaran HAM berat, sebagian orang Indonesia masih memandang tentara sebagai sosok pengayom masyarakat. Di sisi lain, kebencian pada tentara juga bukan cerita baru. Yang benci pun bukan hanya aktivis pembela petani gurem atau mahasiswa.
Sikap benci tentara bahkan dipelihara oleh Soemohardjo, ayah dari pahlawan nasional Oerip Soemohardjo.
Soemohardjo begitu terpukul dan merasa bersalah ketika tahu putra sulungnya Oerip berada di Meester Cornelis (Kini Jatinegara, Jakarta Timur). Di situ Oerip memang sekolah, tapi bukan sekolah calon pamongpraja seperti keinginan bapaknya yang kepala sekolah itu. Oerip justru masuk sekolah calon opsir tentara kerajaan, yang letaknya tidak jauh dari Pasar Jatinegara. Meski Oerip bukanlah calon serdadu rendahan, selama beberapa tahun Soemahardjo sempat sulit menerima kenyataan ini. Ketika Oerip lulus pada 1914 dengan pangkat Letnan Dua, sang ayah menghadiahinya sepeda motor.
Bukan cuma ayah Soemohardjo yang benci tentara. Ayah dari Gatot Subroto, Guru Kepala Sayid Yudoyuwono, juga tidak terima anaknya masuk tentara kerajaan alias Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL). Meski begitu, Gatot tak menjadi serdadu bawahan. Ia berpangkat sersan di KNIL hingga 1942.
Hari ini, guru dianggap sebagai profesi suram, sementara tentara dipandang sebagai profesi idaman. Pada zaman kolonial, yang berlaku adalah sebaliknya. Seorang guru lebih dihormat (bahkan disapa "ndoro"), sementara serdadu dianggap hina dan buangan. Di mata banyak penduduk Indonesia saat itu, KNIL adalah tempatnya orang terbuang.
Menurut Haji Daeng Mangemba dalam Takutlah pada Orang Jujur (2002:46-47), masyarakat Sulawesi Selatan memandang serdadu sebagai orang yang jatuh martabatnya. Inilah yang disebut tungguruksorodadu (jatuh menjadi serdadu). Tak heran, sangat sedikit orang Bugis atau Makassar dari kalangan biasa yang mau jadi serdadu.
Selain bagi kaum yang hina dan terbuang, masuk KNIL adalah cara mengganjal perut mereka yang berasal dari daerah miskin bertanah gersang. Didi Kartasasmita, dalam autobiografinya Pengabdian Bagi Kemerdekaan (1993:38), mengaku “saya menjadi KNIL demi perut.” Didi bukan satu-satunya. Banyak orang Begelen, Jawa Tengah, jadi serdadu KNIL. Sejak 1830-1942, tiap kampung bisa mengirim lebih dari dua pemuda untuk berdinas di KNIL.
Selain hina, kehadiran serdadu juga dianggap bisa menakut-nakuti anak-anak. Suatu hari, Didi melintasi sebuah kampung dan warga di sekitarnya tiba-tiba menyuruh anak-anak mereka masuk rumah. “Asup, asup! Ayah soldadu ngaliwat!,” kata mereka.
Satu hal yang menyebabkan serdadu agak dimusuhi adalah mereka kerap dijadikan alat pemerintah untuk kaum bumiputera yang membangkang. KNIL tidak langsung turun tangan dalam mengatasi kerusuhan. Setelah polisi kewalahan, barulah mereka turun tangan. Pada zaman ini lahirlah tentara profesional di Hindia Belanda—maksudnya profesional dalam menghabisi perlawanan orang kampung bersenjata.
Jepang Ajari Orang Indonesia Bangga Jadi Prajurit
Meski dikenal sebagai tukang gebuk kaum pembangkang, tentara Jepang rupanya mengubah citra negatif serdadu di Indonesia. Semasa pendudukan, Jepang memberikan latihan kemiliteran bagi pemuda-pemuda Indonesia yang kelak masuk Pembela Tanah Air (PETA). Tak hanya itu, para pelajar pun diajari baris-berbaris ala militer. Mereka dibiasakan memakai senapan kayu dalam latihan baris atau perang-perangan.
“Para pemuda bangga karena mereka mendapat latihan militer, meski latihan ini untuk mempertahankan tanah air dari serangan musuh Jepang,” tulis Suhartono W. Pranoto dalam Kaigun, Angkatan Laut Jepang, Penentu Krisis Proklamasi (2007:16). Banyak yang mengatakan bahwa para pemuda menganggap latihan fisik militer dari Jepang akan berguna dalam perjuangan di masa berikutnya.
Zaman pendudukan Jepang adalah masa ketika para pemuda dibuat besar kepala; mereka merasa punya kemampuan yang tidak mereka miliki di zaman kolonial Belanda. Pada era sebelumnya, sangat jarang pemuda Indonesia jadi komandan. Sebaliknya, di zaman Jepang, banyak sekali komandan orang pribumi. Di sisi lain, kemampuan tempur mereka di tengah revolusi (1945-1949) tak lebih baik dari tentara Inggris, bahkan jauh di bawah tentara KNIL yang paling payah sekalipun.
Kesukaan mendadak orang Indonesia pada tentara juga didorong oleh keputusan elite-elie pergerakan untuk merekrut pemuda guna membantu Jepang. Saat itu, tokoh pergerakan Sunda Otto Iskandardinata adalah pemimpin umum majalah Pradjoerit. Dalam sebuah pidatonya, Sukarno menyebut soal kejantanan Heiho Amat yang berjibaku melawan musuh. Suhario Padmodiwirio alias Hario Kecik, dalam Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit, Volume 1 (1995:53), mengisahkan sebuah lagu pujian berjudul "Amat Heiho Jantan Indonesia". Heiho Amat juga diangkat jadi kisah film propaganda penting.
Namun, menurut Barlan Setidjaja dalam 10 November 1945: gelora kepahlawanan Indonesia (1992:53), Amat si pemuda yang jadi Heiho itu adalah fiktif belaka. Setelah Jepang hengkang, tentara Indonesia jarang sekali disebut serdadu. Istilah serdadu dinilai terlalu kasar, bahkan hina. Walhasil, kata "tentara" dan "prajurit" jadi gantinya.
Setelah revolusi berlalu, profesi tentara masih dianggap wah. Ada banyak bekas pejuang sakit hati karena tak diterima masuk ke Tentara Nasional Indonesia (TNI). Beberapa di antaranya jadi gerombolan. Ada gerombolan eks Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang dipimpin Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, gerombolan Kesatuan Rakjat Jang Tertindas yang dipimpin Ibnu Hadjar di Kalimatan Selatan, dan gerombolan Pasukan Pembela Keadilan (PPK) pimpinan Jan Timbuleng di Sulawesi Utara. Urusan sakit hati itu lalu dipolitisir lagi oleh kelompok pemberontak seperti DI/TII dan Permesta.
Puluhan tahun kemudian, tentara jadi profesi yang disukai pemuda. Bahkan cerita soal keluarga yang jual tanah agar anak laki-lakinya jadi tentara masih sering terdengar. Bahkan ada bimbingan belajar yang tidak hanya menggaet calon mahasiswa perguruan tinggi negeri, tapi juga mereka yang ingin jadi abdi negara di TNI.
Tentu saja tak semua anak muda di masa kini suka dengan profesi tentara, meski ayah mereka adalah tentara. Beberapa benci karena pernah kena gebuk atau dikasari oleh aparat tentara. Beberapa yang lainnya kehilangan simpati karena tentara (khususnya Angkatan darat) terlibat dalam sederet kasus pelanggaran HAM. Namun, saat ini tentara adalah profesi yang dianggap lebih membanggakan ketimbang guru sekolah—sesuatu yang berkebalikan dengan zaman penjajahan.
Editor: Windu Jusuf