Menuju konten utama

Kisah Penyintas Kecelakaan Pesawat: Jadi Kanibal & Tersesat di Laut

Di antara mereka ada yang menjadi kanibal, tersesat di hutan, terjebak di lautan.

Kisah Penyintas Kecelakaan Pesawat: Jadi Kanibal & Tersesat di Laut
Wajah enam orang yang selamat dari pesawat Uraguayan yang jatuh di Pegunungan Andes pada Oktober 1972 di mana mereka berhasil bertahan hidup dari dinginnya salju. Kiri ke kanan atas adalah: Fernando Parrado, Daniel Fernandez dan Carlos Paez, bawah, Roberto Canessa, Adolfo Strauch dan Pedro Algorta. AP PHOTO

tirto.id - Nasib Nando Parrado begitu getir.

Pada Jumat, 13 Oktober 1972, ia bersama 44 orang lain, terbang ke Santiago, Cile, menggunakan pesawat Air Force Flight 571 dari Montevideo, Uruguay. Mayoritas dari penumpang itu adalah para pemain rugbi beserta sanak famili mereka yang berencana akan menonton pertandingan rugbi pada hari Sabtu keesokan harinya.

Di tengah perjalanan, dalam kondisi cuaca turun salju, sang pilot rupanya salah membaca arah. Ia mengira sudah tiba di bandara Pudahuel di Curico, lalu bersiap untuk mendarat. Namun, ketika pesawat sudah mulai diturunkan, yang tampak di hadapannya justru sebuah gunung besar yang diselimuti es.

Yang terjadi selanjutnya sudah bisa ditebak: pesawat menabrak gunung tersebut. Kedua sayap dan ekornya patah, sementara badan pesawat meluncur di lereng curam sebelum terhempas ke permukaan gletser di ketinggian 3.570 meter di atas permukaan laut. Dua puluh delapan orang tewas seketika dalam insiden tersebut. Yang lain masih sanggup bertahan, termasuk Parrado.

Namun, sebagian besar yang selamat hanya sanggup hidup selama sehari semalam lantaran luka parah, menderita hipotermia, hingga tertimpa reruntuhan salju. Di antara mereka yang meninggal terdapat pula ibu Parrado beserta sahabatnya. Pada hari kedelapan, giliran adik perempuannya yang berpulang tepat di pelukannya.

Dengan kekuatan yang masih tersisa, 16 orang lain yang masih hidup mencoba terus bertahan. Mereka mengumpulkan busa dan kain dari bangku pesawat sebagai penghangat tubuh serta berusaha mencairkan es untuk diminum. Sementara Parrado bersama salah seorang pemain rugbi lain yang juga selamat, Roberto Canessa, memutuskan untuk turun gunung berbekal radio komunikasi Fairchild FH-227D yang mereka temukan di antara serpihan pesawat.

Perlu 10 hari lamanya kedua orang itu menelusuri gunung, termasuk melewati dan bergelantungan di tebing-tebing dingin nan curam. Ketika tiba di sebuah trek tak bertuan, mereka akhirnya berhasil menemukan seorang penduduk setempat bernama Sergio Catalan. Setelah mengetahui apa yang terjadi, Catalan pun segera bergegas secepatnya mencari bantuan.

Pada 23 Desember 1972, setelah 72 hari bertahan hidup di belantara pegunungan beku Andes, 16 orang tersisa dari tragedi kecelakaan pesawat yang dikenang dengan nama "1972 Andes Plane Crash" tersebut akhirnya berhasil diselamatkan.

Kisah getir ini, yang kemudian difilmkan dengan judul Alive (1993), tentunya tidak akan pernah dilupakan oleh para penyintas. Mereka tak hanya dipaksa untuk menerima kehilangan dan kekalahan, tetapi juga mesti melakoni hal yang bisa jadi paling menjijikkan yang pernah dilakukan demi bertahan hidup: menjadi kanibal.

‘Bukan Bagaimana Bertahan Hidup, tapi Kenapa Ingin Tetap Hidup’

Ketika itu, Parrado beserta para penyintas lain memutuskan untuk bertahan sekadar didasari insting purba manusia: melawan rasa lapar. "Kelaparan adalah ketakutan paling primitif dari manusia,” ujar Parrado.

“Saya merasa saat itu bahwa ‘saya sekarat dan akan mati dalam tiga, empat, lima, enam, sepuluh hari. Saya akan mati.’ Tapi, tidak, saya belum mati. Sebagai manusia, Anda pasti akan berpikir, ‘Oke, apa yang harus saya lakukan sekarang? Satu-satunya makanan yang kami miliki adalah mayat teman-teman dan kru. Hanya itu yang tersisa’.”

Berbekal “makanan” yang berasal dari tubuh para korban itulah rombongan penyintas dapat bertahan hidup selama 72 hari di atas gunung. Parrado pribadi tidak menyesali keputusan tersebut. Baginya, selamat dari tragedi, sekalipun dengan cara yang juga tragis, justru tambah menguatkannya sebagai seorang manusia.

Bersama Parrado ketika itu juga ada penyintas lain yang masih berusia 19 tahun. Namanya Roberto Canessa. Ia sempat menceritakan kesaksiannya di National Geographic, 3 April 2016, termasuk bagaimana akhirnya ia dan rekan-rekan memutuskan untuk menjadi kanibal demi bertahan hidup. Kisah itu juga telah ia bukukan dengan judul I Had To Survive.

Sebagai mahasiswa kedokteran, ia terbiasa melakukan prosedur menyayat daging. Secara teknis, apa yang dilakukannya juga bukan kanibalisme atau membunuh orang dan memakannya. Yang ia lakukan, katanya, adalah "antropofagi".

"Keputusan untuk menerimanya dalam pikiran adalah satu langkah. Langkah selanjutnya adalah benar-benar melakukannya. Dan itu adalah hal yang sangat berat. Mulutmu tak mau membuka karena kau merasa begitu sengsara dan getir akan hal yang harus kau lakukan."

Baik Parrado dan Canessa kini telah menjalani kehidupan baru sebagai produser televisi dan dokter. Selain kedua nama itu, ada beberapa nama lain yang telah juga tercatat sejarah sebagai penyintas kecelakaan pesawat.

Pada malam Natal di Peru tahun 1971, sebuah pesawat LANSA Flight 508 yang terbang dari Lima menuju Pucallpa, mengalami kecelakaan dan terjatuh di sebuah kawasan hutan tropis. Sebanyak 91 orang tewas dalam kejadian tersebut, hanya satu yang selamat. Dia adalah remaja perempuan berusia 17 tahun, namanya Juliane Koepcke.

Selama 10 hari lebih Juliane bertahan hidup di belantara hutan dengan tulang selangka, lutut yang patah, dan luka yang membusuk hingga digerogoti belatung. Hingga suatu hari, ia mendengar suara beberapa orang dari kejauhan, yang dideskripsikannya seperti “suara-suara malaikat”, Julian tahu ia masih bisa selamat.

Ketika rombongan itu kemudian berhasil menemukan Julian, mereka sempat mengira bahwa sosok remaja yang ditemukannya adalah hantu air yang dimitoskan oleh warga lokal. Namun, Julian, dengan ketenangan yang luar biasa, menjelaskan siapa dirinya melalui bahasa Spanyol. Dengan segera, rombongan itu menyelamatkannya.

Keesokan harinya, Julian sudah bertemu dengan sang ayah. Keduanya hanya bisa saling terpekur dalam bahagia dan kesedihan sekaligus. Bahagia karena Julian selamat, sedih lantaran sang ibu, yang ikut dalam penerbangan itu, tewas dan mayatnya baru bisa ditemukan pada 12 Januari 1972 atau 18 hari berselang.

Infografik Selamat dari kecelakaan pesawat

Annettette Hertkens, seorang pialang saham di Wall Street, menjadi satu-satunya korban yang selamat dari dalam kecelakaan Vietnam Airlines Flight 474 pada Sabtu, 4 November 1992 di Vietnam. Petualangannya selama delapan hari di pedalaman hutan untuk bertahan hidup kala itu telah ia abadikan dalam sebuah buku berjudul Turbulence: A True Story of Survival.

Pada 30 Juni 2009, seorang remaja berusia 12 tahun bernama Bahia Bakari bersama ibunya, terbang dari Paris menuju Moroni, Comoros—sebuah pulau di lepas pantai Mozambik—dengan menaiki pesawat Yemenia Flight 626 jenis Airbus A310-324. Ketika melewati Samudera Hindia, pesawat itu mengalami kecelakaan dan terjatuh ke lautan. Sebanyak 152 orang dari 153 penumpang tewas dalam kejadian naas tersebut, termasuk ibu kandung Bahia.

Setelah terombang ambing di laut, Bahia akhirnya berhasil ditemukan dalam keadaan sekarat oleh seorang relawan bernama Libouna Selemani Matrafi. Kisah Bahia, yang kini telah 21 tahun, juga turut dibukukan dan diberi judul I'm Bahia, The Miracle Girl.

Bagi para penyintas kecelakaan pesawat, nasib tragis yang mereka alami tentunya sudah mengubah total persepsi mereka terhadap hidup. Canessa dengan genial memberikan persepsinya soal itu.

“Dalam situasi [antara hidup dan mati] seperti itu, yang terpikirkan bukan lagi tentang bagaimana Anda dapat bertahan hidup, melainkan kenapa Anda ingin tetap hidup.”

Baca juga artikel terkait LION AIR JATUH atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Maulida Sri Handayani