tirto.id -
"Apapun alasannya, MK telah melampaui batas kewenangannya," kata Hendardi dalam keterangannya, Selasa (17/10/2023).
Hendardi mengatakan MK telah mengambil alih peran DPR dan Presiden, dua institusi yang mempunyai kewenangan legislasi, karena dengan putusan menerima dan mengubah bunyi pasal tersebut, artinya lembaga yang dinahkodai Anwar Usman itu menjalankan positive legislator.
Di sisi lain, kata dia, MK sesuka hati menafsir ketentuan open legal policy sesuai selera penguasa. MK yang mengklaim sebagai the sole interpreter of the constitution atau satu-satunya lembaga penafsir konstitusi, jelas dia, nyatanya telah memimpin penyimpangan kehidupan berkonstitusi dan mempromosikan keburukan atau kejahatan konstitusional (constitutional evil).
"Dalam posisi ini, kelas kenegarawanan seperti apa yang hendak dibanggakan dari hakim-hakim MK?" Hendardi bertanya-tanya.
Menurut Hendardi, jika dengan putusan ini Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka melenggang ke bursa Pilpres, tidak perlu analisis rumit untuk mengatakan bahwa putusan MK memang ditujukan untuk mempermudah anak Presiden Jokowi melanjutkan kepemimpinan bapaknya.
"[Dan] meneguhkan dinasti Jokowi dalam perpolitikan Indonesia," ucap Hendardi.
Lebih lanjut, Hendardi memandang, tidak ada presiden yang sesibuk Jokowi dalam mempersiapkan penggantinya kecuali dirinya sendiri (Jokowi).
Menurut dia, hal ini terjadi bukan hanya karena nafsu kuasa Jokowi, tetapi juga kecemasan akan masa depan dirinya yang landing dari kursi kepresidenan dengan warisan kebijakan yang buruk di banyak sektor.
Hendardi memandang di luar soal kontestasi Pilpres, MK yang sebelumnya menjadi pembeda antara rezim orde baru dan rezim demokrasi konstitusional pasca orde baru, saat ini hampir tidak ada bedanya, karena dengan bangga para hakim itu mempromosikan apa yang disebut yudisialisasi politik otoritarianisme.
"Jika dahulu otoritarianisme diperagakan secara langsung, maka saat ini otoritarianisme dipermak melalui badan peradilan menjadi seolah-seolah demokratis. Padahal, yang dituju adalah kehendak berkuasa dengan segala cara," kata Hendardi.
Sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan untuk sebagian uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait batas usia calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres). Gugatan tersebut terdaftar dengan nomor 90/PUU-XXI/2023 atas pemohon Almas Tsaqibbirru Re A.
Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman menyatakan sebagian permohonan tersebut beralasan menurut hukum. Permohonan itu dikabulkan sebagian atas dasar syarat alternatif pernah menjabat sebagai kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan umum.
“Mengabulkan permohonan pemohon sebagian,” ujar Anwar, Senin (16/10/2023).
MK menyatakan "berusia paling rendah 40 tahun" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Reja Hidayat