tirto.id - Tiga orang dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) mengalami cedera di bagian kepala saat mereka menggelar aksi demo menuntut penentuan nasib sendiri yang digelar di Surabaya, Jawa Timur pada Sabtu (1/12/2018) pagi.
"Tiga orang bocor kepalanya. Kena batu dan pecahan botol,"
kata Dorlince Iyoewau selaku penanggungjawab aksi."Kota ini adalah Kota Pahlawan. Silakan pergi. Pancasila harga mati, NKRI harga mati," pekik salah satu orator berseragam Pemuda Pancasila (PP).
Beberapa anggota PP kemudian menyerang kerumunan massa AMP dengan melempari batu, memukulkan bambu, dan berusaha merangsek menyerang massa AMP.
"Kami sebenarnya terpancing tapi kami berusaha menjaga keamanan supaya tidak terjadi bentrok," ujar Dorlince.
Tahun ini aksi demo penentuan nasib sendiri yang kerap dilakukan tiap tanggal 1 Desember dipusatkan di Surabaya yang diikuti massa AMP se-Jawa Bali.
Menurut Veronica Koman selaku pengacara pendamping aksi, Surabaya dipilih karena ingin menunjukkan perlawanan terhadap aksi represi yang kerap diterima oleh mahasiswa Papua di asrama mereka.
Sebelumnya asrama mahasiswa Papua di Surabaya dikepung oleh beberapa kelompok orang ketika menggelar nobar Film Biak Berdarah pada Juli 2018.
Aksi demo dimulai pukul 06.00 WIB dengan titik kumpul di Monumen Kapal Selam. Mereka bergerak menuju Grahadi dan tertahan di depan Gedung RRI setelah polisi tidak mengizinkan mendekat Gedung Grahadi.
Aksi demo AMP ini dilakukan bertepatan dengan peringatan 1 Desember 1961 sebagai hari kemerdekaan Papua Barat atas Belanda. Tanggal 1 Desember bagi orang Papua adalah kalender penting dalam perjuangan Papua yang terus diperingati setiap tahun.
Momen bersejarah pada 1961 untuk kali pertama Parlemen Papua Barat, di bawah administrasi Belanda, mengibarkan bendera Bintang Kejora, simbol pengakuan status berdirinya negara Papua Barat.
Sejak itu bendera Bintang Kejora dikibarkan di seluruh wilayah Papua Barat berdampingan dengan Bendera Belanda, hingga Belanda menyerahkan otoritas administrasi Papua Barat kepada UNTEA pada 1 Oktober 1962, lalu ke pemerintah Indonesia pada 1 Mei 1963.
Penulis: Tony Firman
Editor: Maya Saputri