tirto.id - Organisasi masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Surabaya Melawan Separatisme (ASMS) menggeruduk Asrama Mahasiswa Papua di daerah Tambaksari, Surabaya, Jumat (30/11/2018) pukul 09.45. Mereka mencegah demo rutin yang digelar tiap 1 Desember.
Sekretaris Umum II Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Albert Mangguar, menyebut ini sebagai aksi persekusi.
Albert menjelaskan kalau sejak datang massa ASMS beberapa kali meneriakkan "NKRI harga mati." Bahkan ia sempat mendengar teriakan, “tangkap provokator yang berusaha pecah belah NKRI.”
"Korban jiwa tidak ada, intimidasi ada, tetapi hanya mau mengganggu psikologis kawan-kawan di asrama," kata Albert kepada reporter Tirto, Jumat (30/11/2018).
Menurut Albert, meski mendapat ancaman, demo 1 Desember tetap akan AMP laksanakan.
"Kami adalah generasi sisa-sisa yang akan terus berjuang. Cara Ormas [ASMS] adalah cara-cara kuno demi membungkam aspirasi politik rakyat Papua," tegasnya.
Koordinator ASMS Bahrudin mengaku mengerahkan sekitar 120 orang.
"Terkait penolakan gerakan separatisme, karena infonya besok tanggal 1 Aliansi Masyarakat Papua itu mengadakan aksi ulang tahun Papua Barat yang ke-57," kata Bahrudin kepada reporter Tirto.
Bahrudin mengaku kalau memang mereka berupaya menghalangi aksi. Tapi mereka tak berkenan membuka dialog dengan mahasiswa di asrama itu.
"Kami memang tidak ingin ketemu dengan mereka karena itu nanti tugas kepolisian. Kami minta bantuan kepolisian untuk melakukan pendekatan-pendekatan persuasif supaya ini tidak terjadi konflik horizontal," tuturnya.
Bahrudin menjelaskan, selain yang tadi pagi datang, mereka juga sudah menghimpun sekitar 300 orang. Mereka dikerahkan hari ini dan besok untuk mengawasi persiapan dan demo rutin 1 Desember. Selain di Asrama Mahasiswa Papua, mereka akan mendatangi Polrestabes Surabaya.
Jika demo 1 Desember tetap digelar, Bahrudin akan kerahkan massa untuk menangkap demonstran untuk diserahkan ke polisi.
"Kalau pihak keamanan tidak bisa mengatasi persoalan ini, kami akan bubarkan apa pun caranya, membubarkan mereka," terangnya.
Hak Menyampaikan Pendapat Harus Dilindungi
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya Fatkhul Khoir menegaskan tuduhan atau persepsi ASMS terhadap mahasiswa Papua tidak bisa dibuktikan atau dipertanggungjawabkan.
Menurutnya, memperingati 57 Tahun Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat dengan tema "Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bagi Rakyat Papua Sebagai Solusi yang Paling Demokratis” adalah bagian dari hak berekspresi dan kebebasan berpendapat.
Itu adalah hak konstitusional setiap warga negara Republik Indonesia, tanpa terkecuali mahasiswa Papua. Maka dari itu negara wajib melindungi.
"Pihak terkait dalam hal ini aparat keamanan harus memberikan ruang untuk demokrasi dan berpendapat. Itu sudah jelas ketentuannya. Itu harus dilindungi negara,” kata Khoir saat dihubungi reporter Tirto.
Kontras Surabaya mengecam segala bentuk tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh gabungan Ormas yang melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap mahasiswa. Khoir juga mendesak agar negara, khususnya Polri, memberikan jaminan perlindungan dan mengambil tindakan untuk memastikan keamanan mahasiswa Papua dalam menyampaikan ekspresi politiknya.
Sedangkan Juru Bicara FRI West Papua Surya Anta menegaskan, Polri harus menghormati dan melindungi AMP untuk menyuarakan tuntutan menentukan nasib sendiri. Sebab hal itu bagian dari kebebasan berpendapat yang tercantum dalam konstitusi Republik Indonesia.
"Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi, demonstrasi menuntut hak menentukan nasib sendiri dan menggunakan atribut bermotif bintang kejora bukan makar. Polisi sebaiknya taat pada keputusan MK tersebut," ujar Surya kepada reporter Tirto.
Menurutnya kelompok Ormas yang mengintimidasi ke asrama-asrama mahasiswa Papua adalah tindakan melawan hukum.
"Tidak ada surat pemberitahuan. Memberikan ancaman-ancaman verbal kepada mahasiswa," imbuhnya.
Surya menjelaskan, persekusi merupakan wajah buruk bagi pendewasaan demokrasi di Indonesia. Padahal Indonesia, kata Surya, sering dianggap sebagai negeri dengan indeks demokrasi yang tergolong bagus di wilayah Asia Tenggara.
"Namun Persekusi yang terjadi menunjukkan sebaliknya. Untuk berkumpul, berdoa, bahkan berdemonstrasi tidak boleh dilakukan oleh orang-orang West Papua," keluhnya.
Surya berujar, tujuan ASMS memang bukan untuk berdialog, melainkan memberikan tekanan psikologis yang berpotensi pada konflik horizontal. Menurutnya polisi harus menelusuri siapa yang menggerakkan ASMS.
"Jika ada seseorang, sekelompok atau bahkan lembaga negara yang dengan sengaja merencanakan serta mengarahkan mobilisasi tersebut, seharusnya mendapatkan sanksi tegas," pungkas Surya.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Dieqy Hasbi Widhana