tirto.id - Aksi demo Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menuntut hak penentuan nasib sendiri diadang oleh gabungan ormas Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/Polri (FKPPI), Himpunan Putra Putri Keluarga Angkatan Darat (Hipakad) dan beberapa ormas lainnya di sisi timur dan barat Jalan Pemuda, Surabaya.
Gabungan ormas mendesak agar demo AMP dibubarkan.
"Kota ini adalah kota pahlawan. Silahkan pergi, Pancasila harga mati, NKRI harga mati," pekik salah satu orator Pemuda Pancasila (PP).
Dari pantauan Tirto, pukul 8.33 WIB, sejumlah massa PP dari sisi timur mulai menyerang massa AMP dengan melempari batu dan memukulkan tongkat.
Aparat kepolisian dengan sigap mengadang massa PP yang menyerang dan menariknya mundur.
Massa AMP mulai berkumpul di Monumen Kapal Selam pukul 06.00 pagi dan bergerak menuju Gedung Grahadi.
Namun, massa AMP hanya bisa menggelar aksi demo sampai di depan Gedung RRI Surabaya setelah diadang aparat kepolisian dari Polrestabes Surabaya dan Polda Jatim.
Aksi demo AMP ini dilakukan bertepatan dengan peringatan 1 Desember 1961 sebagai hari kemerdekaan Papua Barat atas Belanda. Tanggal 1 Desember bagi orang Papua adalah kalender penting dalam perjuangan Papua yang terus diperingati setiap tahun.
Momen bersejarah pada 1961 untuk kali pertama Parlemen Papua Barat, di bawah administrasi Belanda, mengibarkan bendera Bintang Kejora, simbol pengakuan status berdirinya negara Papua Barat.
Sejak itu bendera Bintang Kejora dikibarkan di seluruh wilayah Papua Barat berdampingan dengan Bendera Belanda, hingga Belanda menyerahkan otoritas administrasi Papua Barat kepada UNTEA pada 1 Oktober 1962, lalu ke pemerintah Indonesia pada 1 Mei 1963.
UNTEA adalah mekanisme internasional yang melibatkan PBB untuk menyiapkan satu jajak pendapat apakah rakyat Papua memilih memisahkan diri atau integrasi dengan Indonesia.
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) melalui jajak pendapat ini menghasilkan keputusan rakyat Papua terintegrasi dengan Indonesia. Maka sejak saat itu, administrasi Papua dikendalikan oleh pemerintah Indonesia, pengibaran bendera Bintang Kejora dinilai sebagai tindakan makar sehingga berujung pada tindakan kekerasan dan penangkapan.
Penulis: Tony Firman
Editor: Maya Saputri