Menuju konten utama

Semesta Mimpi dan Wangsit Sutradara Rusia Andrei Tarkovsky

"Astaga! Dunia ini benar-benar membosankan, dan karena itulah tidak ada telepati, juga hantu, atau piring terbang," - Stalker (Andrei Tarkovski, 1979)

Semesta Mimpi dan Wangsit Sutradara Rusia Andrei Tarkovsky
Andrei Tarkovsky adalah seorang pembuat film asal Rusia, penulis, film editor, teoretisi film, teater dan sutradara opera. Beberapa karyanya Ivan's Childhood (1962), Andrei Rublev (1966), Solaris (1972), Mirror (1975), and Stalker (1979).

tirto.id - Sutradara legendaris Swedia Ingmar Bergman pernah berkomentar tentang Andrei Tarkovsky: “Pengalamanku menyaksikan film pertama Tarkovsky terasa ajaib. Tiba-tiba aku seperti berdiri di depan pintu ruangan yang terkunci dan kunci pintu itu tak pernah sampai ke tanganku."

Sineas Rusia Andrei Tarkovsky lahir di tepi Sungai Volga pada 4 April 1932. Ayahnya, Arseny Tarkovsky disebut-sebut sebagai salah seorang penyair terkemuka Uni Soviet dan ibunya Maria Ivanovna seorang aktris. Pada 1961, Tarkovsky lulus dari sekolah film tertua di dunia, All Union Institute of Cinematography, yang terletak di Moskow. Hasil dari proses belajarnya selama di sana ialah film berjudul The Steamroller and the Violin yang diganjar penghargaan di Festival Film New York.

Baca juga: Mengenang Jeanne Moreau, Si Nyonya Besar Sinema Perancis

Di awal kemunculannya, Tarkovsky dikenal sebagai salah satu bagian dari generasi pembuat film yang tumbuh bersama doktrin Realisme Sosialis Rusia, sebuah konsep kesenian yang dicetuskan pengarang Maxim Gorky dalam Kongres Penulis Soviet (1934). Sesuai rumusan negara, Realisme Sosialis di Rusia senantiasa menggambarkan betapa optimistis dan antusiasnya rakyat pekerja di bawah naungan Uni Soviet. Karya-karya yang tak sejalan dilarang beredar atau disensor habis-habisan.

Setelah kematian Stalin (1953), Uni Soviet dipimpin oleh Nikita Khrushchev yang mengendurkan sensor bagi para seniman. Namun, situasi tersebut tak bertahan lama. Pada 1964 Leonid Brezhnev menggantikan khruschev dan kembali mengetatkan sensor. Film Tarkovsky Andrey Rubylov (1966) dilarang diputar di Rusia selama lima tahun. Pada Juli 1984, Tarkovsky dan istrinya, Larisa memutuskan untuk menetap di Eropa Barat dan memilih tidak pulang ke Soviet.

Tentang keputusannya itu ia mengatakan, “Pemerintah Soviet tidak memberikan pilihan lain.” Tarkovsky menambahkan, “Saya bukan seorang pemberontak dan saya tidak punya konflik dengan Soviet. Tapi jika pulang ke rumah, saya tentu jadi pengangguran.”

"Film Religius" Tarkovsky

Jurnal film Offscreen menyebutkan film-film Tarkovsky memiliki kualitas spiritual—bahkan religius—yang kuat. Setidaknya, untuk Tarkovsky, membuat film merupakan cara menuntaskan rasa penasaran terhadap misteri kehidupan. Tapi bukan berarti Tarkovsky adalah sineas religius yang menjadikan film media dakwah yang membelah dunia jadi hitam-putih dan benar-salah lantas jadi polisi moral.

Memori keluarga jadi salah satu titik tolak film-film Tarkovsky, entah itu masa kanak-kanak atau puisi sang ayah. “Keseluruhan karya ayah saya terwujud dari babak-babak biografinya sendiri. Mimpi, kenangan, dan cara pandangnya mengenai rumah dan anggota keluarga. Semua diambil dari hidupnya dan tak bisa dipisahkan dari proses berkesenian yang ia jalani,” tutur Andreyevich Tarkovsky, salah satu putra sineas Rusia tersebut.

Tak ketinggalan, karya-karya Tarkovsky juga dihasilkan atas upayanya memahami aspek filosofis dari waktu. “Sudah semestinya seniman mencoba memahami prinsip-prinsip waktu dan menggubahnya ke dalam corak-corak baru. Tujuannya? Mencapai gambaran menyeluruh mengenai kebenaran dan keberadaan manusia,” ujarnya.

Baca juga: Film sebagai Alat Propaganda Rezim Penguasa

Tarkovsky menambahkan dalam bukunya Sculpting in Time (1986), “Saya berpikir bahwa apa yang biasa dilakukan seseorang di bioskop berkaitan dengan waktu. Mereka datang dan berharap mendapatkan gagasan penting dalam hidup yang dibentuk lewat pengalaman menonton.”

Tarkovsky memulai debut penyutradarannya pada 1962 dengan Ivan’s Childhood, sebuah film tentang bencana Perang Dunia II dari kacamata seorang anak bernama Ivan. Diceritakan, Ivan merupakan yatim piatu yang menjalankan misi intelijen berbahaya untuk Tentara Merah (Red Army). Tarkovsky mengusung estetika yang dianggap visioner dalam menggabungkan ingatan maupun mimpi sang bocah dengan bayang-bayang pertempuran. Ivan’s Childhood dipuji secara internasional dan menggondol piala Golden Lion di Festival Film Venesia.

Empat tahun berselang, Tarkovsky merilis Andrey Rublyov. Film kedua yang berjudul asli The Passion According to Andrei ini menceritakan kehidupan pelukis abad pertengahan, Andrey Rublev di tengah situasi sejarah yang penuh kengerian. Rublev kelak dikenal membuat mahakarya bertajuk Trinitas Rublev (Rublev Trinity) yang menggambarkan pendudukan bangsa Tatar, ritus mistik, dan ekskomunikasi gereja. Tarkovsky menyatakan, “Film ini adalah usaha untuk menelusuri perjalanan Rublev dalam dunia yang mengenaskan.” Pemerintah Uni Soviet sempat melarang peredaran Andrey Rubylov selama lima tahun karena dianggap “penuh adegan kekerasan dan kekejaman.”

Sadar bahwa pemerintah memberangus Andrey Rubylov, Tarkovsky berupaya merebut hati para pejabat dengan membuat film berbau luar angkasa. Waktu itu Soviet sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan penjelajahan luar angkasa lewat program Sputnik dan Vostok. Tarkovsky pun membuat film fiksi ilmiah yang diadaptasi dari Solaris, sebuah novel karya penulis Polandia, Stanislaw Lem. Solaris mengisahkan seorang psikolog yang dikirim ke stasiun luar angkasa bernama Solaris untuk menyelidiki desas-desus bahwa keberadaan planet hanyalah bentuk lain dari “zat pemikiran.”

Untuk pertama kalinya pada 1975, Tarkovsky memutuskan menggunakan sarana bioskop untuk membicarakan semua hal yang berharga dalam hidupnya. Melalui film Mirror, misalnya, Tarkovsky mengeksplorasi seni lukis, musik, serta puisi yang diejawantahkan dalam kisah sebuah keluarga di pedesaan Rusia. Mirror disebut-sebut sebagai film minimalis bertempo lambat dengan komposisi sinematik yang mengagumkan. Robert Bird dalam bukunya Andrei Tarkovsky: Elements of Cinema (2008) menjelaskan, “[Mirror] bukan tentang kehidupan sang pembuat film. Tapi tentang imajinasinya.”

Sesaat sebelum meninggal akibat kanker paru-paru pada 1986, Tarkovsky menyelesaikan The Sacrifice, sebuah karya pamungkas yang sering dipuji sebagai "puncak perjalanan karir sinematik" sang sutradara. Film ini berkisah tentang Alexander (diperankan aktor favorit Ingmar Bergman, Erland Josephson), seorang jurnalis dan filsuf yang menyaksikan meletusnya Perang Dunia III. Di tengah keputusasaan, Alexander yang ateis tiba-tiba berserah diri pada Tuhan dan menawarkan segalanya agar perang tak terjadi, termasuk mengorbankan anaknya.

The Sacrifice memuat banyak bahasa simbolik yang menuturkan kegelisahan Tarkovsky akan krisis pribadi, bencana dunia, ritual penebusan, kegilaan, sampai perpisahan—untuk putranya—yang digambarkan lewat kobaran api yang melumat rumah sang jurnalis.

Pengaruh Sang Sutradara Mistis

Tak bisa ditampik, Tarkovsky memberikan pengaruh pada generasi sineas dunia selanjutnya.

Penilaiannya cukup sederhana. Setiap kali ada film yang menggabungkan long shot dengan titik fokus pada bentang alam, kabut putih, padang rumput, rumah di tepi lembah hijau, hujan deras, hingga ledakan di suatu rumah atau gedung, maka bisa dibilang pembuatnya dipengaruhi gaya sinematik Tarkovsky.

“Mungkin tidak masuk akal. Tapi itu menunjukkan bagaimana medan estetika yang dilukis Tarkovsky berurusan dengan hal-hal transenden atau spiritual", tulis Nick James, editor majalah Sight and Sound dan mantan jurnalis The Guardian.

Di antara sutradara yang mengikuti jejak Tarkovsky adalah Lars von Trier, Gus Van Sant, Krzysztof Kieslowksi, Carlos Reygadas, Terrence Malick, dan Steven Soderbergh.

infografik film film epik tarkovsky

Lars von Trier, sutradara yang melejit lewat film bertema kekerasan dan seksualitas Antichrist (2009) mengaku telah menonton Mirror sebanyak 20 kali sejak 2003. Bahkan pada kredit penutup Antichrist tertulis “Dipersembahkan untuk Andrei Tarkovsky 1932-1936”. Ketika ditanya dalam sebuah konferensi pers Lars menerangkan, “Apabila saya tidak menyertakan kredit untuk Tarkovsky, saya mencuri inspirasi darinya.”

Baca juga: Ganjil dan Terasa Menyimpang, Itulah Film Cult

Pengaruh Tarkovsky dapat ditemui juga dalam film Aleksandr Sokurov, Mother and Son (1997). Jika ditelisik, Sokurov memiliki relasi tersendiri dengan Tarkovsky. Menjelang kematiannya, Tarkovsky sempat mengatakan bahwa Sokurov adalah penerusnya. Pada 1988, Sokurov membuat dokumenter hitam putih mengenai Tarkovsky dalam Moscow Elegy. Mengenai pengaruh Tarkovsky, Sokurov menyatakan, “Aku pertama kali melihat karyanya ketika menyelesaikan pendidikan di akademi film. Buatku, estetika Tarkovsky bukanlah sebuah penemuan baru melainkan penegasan untuk pandanganku sendiri.”

Sementara Carlos Reygadas yang menyutradarai Japon (2002) menerangkan, “Ketika usiaku 15 tahun, ayah memberiku VHS Tarkovsky. Seketika aku takjub akan kesederhanaan dan kekuatan dalam film itu. Ada emosi langsung yang keluar dari setiap gambarnya dan itu membuat gila.”

Japon mengisahkan pelukis dari kota besar yang pindah ke daerah terpencil dekat ngarai untuk bunuh diri. Di sana ia tinggal di rumah perempuan tua. Di tengah kesunyian, benih-benih asmara justru tumbuh di antara kedua belah pihak. Nigel Andrews dari Financial Times menyebut Japon “film dengan pengaruh Tarkovsky terbaik yang pernah dibuat.”

Film-film yang dipengaruhi oleh Tarkovsky lainnya ada Three Colours: Red (1994) yang disutradarai Krzysztof Kieslowski, Werckmeister Harmonies (2000) besutan Bela Tarr dan Agnes Hranitzky, sampai The New World (2005) garapan Terrence Malick. Jejak-jejak estetik Tarkovsky nampak jelas pada masing-masing film: bangunan sinematografi yang puitis, pengaburan realitas, memori dan mimpi, serta tema-tema tentang hubungan Tuhan dan manusia.

Brian Hoyle, dosen Studi Film Universitas Dundee, Skotlandia menerangkan bahwa karya-karya Tarkovsky berbeda dengan film lainnya. "Karya-karyanya [...] berlatar di dunia semacam mimpi. Tarkovsky bekerja dalam tradisi mistis. Bak mistikus Abad Pertengahan, Ia mendapat wangsit tentang dunia dan entah bagaimana bisa mengartikulasikannya kemudian,” ujarnya. “Ia menunjukkan bahwa ada hal lebih dalam film-filmnya ketimbang sebuah cerita bagus. Kita diajak ke realitas yang visioner dan itulah yang membuatnya begitu istimewa.”

Baca juga artikel terkait PERFILMAN atau tulisan lainnya dari M Faisal Reza Irfan

tirto.id - Film
Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf