tirto.id - Pada 1922, film Jerman berjudul Nosferatu dirilis. Film ini adalah adaptasi tak resmi dari novel Dracula karya Bram Stoker. Dibilang tak resmi karena memang tak ada izin dari pemegang hak cipta Dracula. Karenanya, tokohnya pun diganti. Tokoh Count Dracula diganti menjadi Count Orlok. Dan vampir menjadi Nosferatu.
Film ini kemudian bikin geger pewaris Stoker. Kemudian mereka menuntut perusahaan yang memproduksi film karya F. W. Murnau ini. Mereka menang. Pengadilan memerintahkan semua kopi film ini dimusnahkan. Tapi ada beberapa kopi yang masih tersisa, dan akhirnya membuat film ini bisa ditonton banyak orang.
Nosferatu, ujar kritikus film Phil Hall, adalah salah satu film cult generasi awal. Para penggemarnya nyaris tak berbeda dengan pengikut sekte: mencintai dengan keras kepala, penuh kesungguhan, bahkan nyaris mirip dengan pengabdian. Kopi film Nosferatu disebarkan secara ilegal oleh para penggemarnya. Pada 2015, nyaris seabad sejak dirilis, Nosferatu dinobatkan sebagai film horor terbaik kedua sepanjang masa oleh situs film Rotten Tomatoes.
Mengenal Kelas B dan Cult
Pada dasarnya, sebuah film bisa disebut sebagai cult jika punya beberapa prasyarat. Bruce Kawin, seorang penulis dan sejarawan film, menyebutkan bahwa film cult "...ditonton berkali-kali oleh penggemar loyal. Sebuah film dengan tema cerita berbeda, bahkan menyimpang. Dirayakan oleh penonton yang berbeda dan menyimpang pula." Sedangkan Timothy Corrigan, penulis buku The Film Experience: An Introduction, menambahkan kalau film cult itu dimagirnalkan, eksentrik, dan ganjil.
Seganjil apa?
Coba tengok Attack of the Killer Tomatoes. Dari judulnya saja kita tahu kalau film ini dibuat untuk merayakan keanehan dan keabsurdan yang membuat orang membatin: "Ini apaan, sih?" Kisahnya tak kalah bikin dahi mengernyit: tentang spesies tomat yang memberontak dari manusia.
Pembukanya adalah teks yang jika diartikan kurang lebih seperti ini: "Pada 1963, Alfred Hitchcock membuat film berjudul The Birds. Sebuah film yang mengisahkan serangan kejam mahluk bersayap kepada manusia. Orang-orang tertawa. Pada musim gugur 1975, 7 juta burung gagak menyerang kota Hopkinsville, Kentucky, membuat sengsara para penduduknya. Sekarang, tak ada yang bisa menertawakan film Hitchcock."
Lalu adegan beralih ke sebuah rumah. Seorang perempuan sedang mencuci piring. Pandangannya teralihkan ke lubang wastafel. Ada sebiji tomat yang mengeluarkan suara aneh. Lalu tomat ini berguling-guling sendiri dan melompat ke lantai. Menggelinding dan terus bergerak, membuat si perempuan terpojok ke tembok dan berteriak. Adegan film berlanjut ke aneka macam pembunuhan: mati karena meminum jus tomat, seorang bocah lelaki yang ditelan tomat, dan tomat yang menyerang seorang perenang. Serangan tomat kepada umat manusia ini begitu mengkhawatirkan hingga Presiden AS harus membentuk tim misi khusus untuk menghentikan tomat.
Aneh? Iya. Ganjil? Tidak bisa dipungkiri. Layak ditertawakan? Itu respons terbaik.
Film ini mendapat kritikan, cemoohan, olok-olokan. Variety menyebut film ini, "bahkan diberi sarkasme saja tak layak." Herannya, penggemarnya banyak. Tapi hal itu sedikit bisa dipahami karena memang ada film-film yang saking jeleknya, bisa jadi amat menghibur dan tampak seperti bentuk seni yang kerap disalahpahami. Karena memiliki banyak penggemar militan, film ini sampai dibuat sekuelnya, yakni Return of the Killer Tomatoes (1988), Killer Tomatoes Strike Back! (1990), dan Killer Tomatoes Eat France (1991).
Banyak kritikus film membuat semacam pengelompokan film cult ini. Kritikus Michael Medved misalkan. Dia pernah membuat satu kelompok film yang, "Saking jeleknya malah terlihat bagus". Dia menyebut jenis film seperti Plan 9 from Outer Space (1959) dan The Room (2003).
Ada pula film B yang masuk sebagai film cult. Film B adalah sebuah istilah yang dipakai untuk menyebut film dengan bujet pas-pasan dan penggarapan yang juga seadanya. Tapi tak semua film B masuk dalam film cult. Lagi-lagi, syarat seperti keganjilan cerita, kejelekan make up, hingga busuknya jalan cerita, kerap menjadi faktor yang membuat sebuah film menjadi cult.
Film cult pada akhirnya bisa meraih popularitas arus utama, meski awalnya tak dimaksudkan untuk itu. Mungkin salah satu penandanya adalah bisa diaksesnya film Cannibal Holocaust secara luas. Saya ingat, bahkan di kota kecil seperti Jember periode 2000-an awal, kawan-kawan sebaya saya yang duduk di bangku SMP sudah membicarakan film ini. Mereka menyukai, juga setengah jijik, karena film ini dianggap berani mempertontonkan adegan sadis. Tentu ada bumbu-bumbu bombastis yang ditambahkan. Semisal ini adalah film nyata, dan adegan-adegan mengerikan macam makan daging manusia, itu adalah sebenar-benarnya kenyataan.
Quentin Tarantino kemudian menjadi sutradara yang dianggap memperkenalkan pengaruh film-film cult ke khalayak umum. Dia menulis skrip From Dusk Till Dawn, sebuah film horor yang berkelindan antara perampok bank, keluarga pendeta, dan para vampir. Tarantino kemudian semakin menunjukkan pengaruh itu lewat film Reservoir Dogs.
Kecintaan Tarantino pada film-film cult terutama dari kawasan Asia, semakin kokoh saat dia membentuk Rolling Thunder Pictures, perusahaan distribusi film yang bekerja sama dengan Miramax dan mengkhususkan diri merilis film-film indie dan cult. Meski hanya berusia 3 tahun, mereka berjasa mendistribusikan film-film seperti Chungking Express, Sonatine, hingga merilis ulang The Mighty Peking Man dan Switchblade Sisters—yang kemudian tampak memengaruhi karakter di film Kill Bill.
Film Cult Indonesia
Tak hanya Amerika dan Eropa yang punya film cult. Indonesia juga punya. Bahkan beberapa punya penggemar militan. Pada dekade 1970 hingga akhir 1980-an bisa dibilang sebagai zaman melimpahnya film Indonesia. Tak semua bermutu baik. Banyak yang menonjolkan seks, kekerasan, dan horor. Seringkali genre itu dipadukan dengan bela diri. Film-film itu yang kemudian banyak meraup penggemar militan.
Dalam tulisan kritikus film Ekky Imanjaya yang berjudul "The Other Side of Indonesia: New Order’s Indonesian Exploitation Cinema as Cult Films," film-film cult Indonesia banyak yang dirilis ulang dan diedarkan di pasar luar negeri. Distributor terbesar film-film cult Indonesia ini adalah Mondo Macabro DVD dari Inggris. Di Amerika Serikat, film-film ini dipasarkan oleh Troma Entertainment. Menurut perwakilan Mondo Macabro, DVD film ini bisa terjual antara 2.000 hingga 8.000 keping per judul.
Menurut Peter Tombs dari Mondo Macabro, target penonton film cult Indonesia adalah penggemar horor, penggemar film eksploitasi (genre yang banyak menghadirkan seks, kekerasan, penggunaan drugs, dan kekerasan), dan penggemar film aksi.
"Ada penonton dalam jumlah kecil tapi militan yang menggemari film-film yang berbeda dari produk Hollywood. Di sana lah kami berusaha memasarkan film kami, dengan menekankan konten eksotis, ekstrim, dan tidak biasa," tulis Tombs dalam wawancara yang dimuat di Cinema Poetica.
Beberapa film cult Indonesia yang laris di pasar luar negeri adalah: Ratu Ilmu Hitam (diterjemahkan sebagai The Queen of Black Magic, 1981), lalu Pembalasan Ratu Laut Selatan (Lady Terminator, 1988), Perawan di Sarang Sindikat (Virgins From Hell, 1986), Bercinta dengan Maut (Dangerous Seductress, 1992), hingga Leak (Mystic in Bali, 1980).
Sama seperti yang ditulis Tomb, genre yang digemari pasar film cult di luar negeri adalah film mayat, kanibal, perempuan dalam penjara, eksploitasi perempuan, hingga film horor atau mistis. Para penggemar itu bahkan sampai membuat blog atau situs sendiri yang berisi konten tentang film Indonesia. Entah itu resensi hingga informasi tentang film cult Indonesia. Bahkan film-film itu menarik perhatian banyak penggemar film cult di forum internasional semisal Cult Movies Forum. Ekky menulis bahwa ada banyak rental DVD mempunyai rak sendiri yang berisi "Indonesian Horror and Action."
Film-film cult Indonesia masih diperbincangkan hingga sekarang. Selepas era 2000, ada film-film yang saking buruk dan anehnya, jadi terlihat lucu dan menghibur tanpa perlu terlalu berusaha terlalu keras untuk terlihat begitu. Azrax (2013) adalah contoh terbaik film cult Indonesia masa kini.
Meski begitu, film cult klasik pun masih tetap dicari dan ditonton oleh para penggemar, yang walaupun jumlahnya kecil, terbukti militan. Beberapa hari lalu, adegan Yurike Prastika yang bercinta di film Lady Terminator muncul di situs humor anak muda, 9gag. Banyak komentar yang menunjukkan mereka heran sekaligus kagum dengan adegan itu. Salah satu komentarnya cukup mengundang tawa, sekaligus memperlihatkan bagaimana karakter film cult Indonesia.
"Kapan lagi kamu bisa melihat ketek berbulu lebat dan ular yang keluar dari selangkangan."
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani