Menuju konten utama

Selain Insentif, Aspek Nonfinansial Dokter Daerah Wajib Dibenahi

Pemerintah perlu memastikan insentif juga diiringi pembenahan aspek nonfinansial bagi karier dokter di daerah terpencil.

Selain Insentif, Aspek Nonfinansial Dokter Daerah Wajib Dibenahi
Petugas UPT Pukesmas Klakah memberikan obat kepada warga saat layanan Dokter Muter di Desa Sawaran Lor, Kecamatan Klakah, Lumajang, Jawa Timur, Kamis (3/7/2025). Dinas Kesehatan, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Dinkes P2KB) Kabupaten Lumajang menggelar program Dokter Muter untuk memberikan layanan kesehatan keliling bagi masyarakat Desa yang jauh dari layanan kesehatan di wilayah itu. ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya/nz

tirto.id - Presiden Prabowo Subianto telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2025 yang mengatur soal tunjangan khusus untuk dokter spesialis, dokter subspesialis, dokter gigi spesialis, dan dokter gigi subspesialis yang bertugas di Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK). Tunjangan khusus tersebut ditetapkan sebesar Rp 30.012.000 (Rp30 juta) per bulan.

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menyatakan bahwa tunjangan dokter spesialis ini merupakan bentuk apresiasi pemerintah terhadap jasa para dokter yang memberikan pelayanan di daerah tertinggal.

Hal senada juga diungkapkan oleh Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin.

“Tunjangan khusus ini adalah bentuk apresiasi negara kepada tenaga medis yang berada di garis depan. Kita ingin mereka merasa dihargai dan tetap termotivasi untuk memberikan pelayanan terbaik, di mana pun mereka bertugas,” ujar Budi Gunadi dalam keterangan yang diterima Tirto, Selasa (5/7/2025).

Menkes menjelaskan bahwa tunjangan Rp30 juta per bulan itu di luar gaji pokok dan tunjangan lainnya yang berlaku sesuai ketentuan kepegawaian. Di tahap awal, tunjangan ini akan diberikan kepada lebih dari 1.100 dokter spesialis.

Budi juga menyatakan keberadaan tenaga medis di wilayah tidak hanya soal ketersediaan fasilitas, tetapi juga menyangkut kelangsungan hidup dan motivasi mereka dalam bekerja.

Wilayah penerima tunjangan khusus ditetapkan Kemenkes berdasar pemetaan kebutuhan nasional. Prioritasnya adalah daerah dengan keterbatasan akses, kekurangan tenaga medis, serta lokasi yang memerlukan intervensi afirmatif dari pemerintah pusat.

Pemerintah pusat turut mendorong keterlibatan pemerintah daerah mendukung kebijakan ini, terutama terkait dengan alokasi anggaran, penyediaan logistik, serta fasilitas penunjang—seperti tempat tinggal, transportasi, dan pengamanan—bagi tenaga medis.

Budi melanjutkan bahwa selain pemberian tunjangan, tenaga kesehatan yang bertugas di daerah terpencil juga akan mendapatkan kesempatan pelatihan berjenjang dan pembinaan karier. Tujuannya agar tenaga medis di wilayah terpencil tetap memiliki akses untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya.

“Jangan sampai tenaga kesehatan yang kita tempatkan di pelosok justru terabaikan pengembangannya,” tuturnya.

Langkah pemerintah memberikan tunjangan bagi dokter spesialis di daerah tertinggal itu jelas patut diapresiasi. Kebijakan ini dinilai penting untuk memberikan kepastian kesejahteraan bagi dokter yang mengabdi di daerah terpencil. Namun, ia tak bisa berdiri sendiri sebagai sebuah kebijakan.

Insentif Tak Bisa Berdiri Sendiri

Selain perkara tunjangan, pemerintah juga perlu memastikan keberlanjutan anggaran untuk kebijakan ini. Lain itu, persoalan aspek pendukung karier nonfinansial bagi tenaga medis di daerah tertinggal dan persoalan distribusi dokter spesialis juga perlu dirampungkan.

Sejumlah pengamat kebijakan kesehatan menilai negara sudah semestinya menjamin hak kesejahteraan dan keselamatan dokter yang mengabdi di daerah terpencil. Pasalnya, kondisi kekurangan dokter spesialis di daerah-daerah, khususnya yang terpencil di wilayah Indonesia bagian Timur, sudah mengkhawatirkan.

Pun, persoalan layanan kesehatan di wilayah terpencil bukan cuma soal sumber daya manusia kesehatan dan medis semata.

Associate Professor Public Health Monash University Indonesia, Grace Wangge, menilai kebijakan insentif bagi dokter umum dan spesialis di daerah terpencil bukan langkah baru. Problem yang masih membayang pun bukan hanya soal gaji, tapi aspek jaminan keselamatan dan dukungan sosial ketika mengabdi di daerah.

“Memberikan tunjangan jangan dilihat, menurut saya, jumlah rupiahnya aja. Tapi, lihat apakah dokter-dokter ini bisa hidup dan bekerja nyaman di daerah tertinggal. Pikirkan juga dokter ini akan punya dan mungkin sudah punya keluarga,” ujar Grace kepada wartawan Tirto, Rabu (6/8/2025).

Program penanggulangan TBC 2025

Seorang wanita bersama anaknya menjalani skrining Tuberkulosis (TBC) di UPTD Puskesmas Garuda, Bandung, Jawa Barat, Rabu (14/5/2025). Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berupaya untuk menanggulangi penyakit tuberkulosis melalui sejumlah program yang mencakup upaya peningkatan temuan kasus, pengobatan, pencegahan hingga promosi kesehatan pada 2025 dengan total kebutuhan anggaran sebesar Rp2,4 triliun. ANTARA FOTO/Abdan Syakura

Beberapa bentuk dukungan sosial yang perlu dijamin juga oleh pemerintah adalah pendidikan untuk anak-anak dokter di daerah. Lainnya adalah fasilitas layanan kesehatan yang memadai dan layak bagi pekerjaan dan para dokter itu sendiri.

Karenanya, menurut Grace, tunjangan besar tidak akan banyak menarik minat para dokter untuk mengabdi di daerah terpencil dan tertinggal apabila aspek nonfinansial tidak ikut dibenahi. Belum lagi menyoal potensi kerawanan dalam pengalokasian dan distribusi insentif itu. Pasalnya, fasilitas di daerah itu tidak sama dengan wilayah-wilayah besar.

“Bagaimana uang itu akan sampai tepat waktu pada penerimanya? Dan, ini akan dibayarkan per bulan atau bagaimana? Ingat fasilitas perbankan di daerah terpencil juga terbatas. Uang Rp30 juta per bulan itu mungkin udah perputaran uang di daerah itu sebulan,” ujar dia.

Menurut Grace, pemerataan layanan kesehatan jangan sebatas berfokus pada individu tenaga medis semata. Sampai sekarang, belum ada studi yang melibatkan dokter-dokter di daerah soal insentif dan dukungan seperti apa yang mereka butuhkan dalam mengabdi.

Pembangunan kebijakan kesehatan di daerah terpencil juga harus selaras dengan kehadiran dokter di sana. Harapannya agar para dokter yang mengabdi lebih kerasan dan nyaman tinggal di daerah untuk melayani masyarakat.

“Bangun ekosistemnya agar dokter dan tenaga kesehatan lainnya bisa bekerja nyaman dan maksimal di daerah,” terang Grace.

Pemerataan Akses Layanan Kesehatan

Ketidakmerataan distribusi tenaga medis dan fasilitas kesehatan di Indonesia merupakan problem klasik yang belum sepenuhnya dibereskan hingga saat ini.

Mengacu pada kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), rasio ideal dokter spesialis adalah 0,28 per 1.000 penduduk. Selain itu, rasio standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah 1:1.000—artinya, harus ada 1 dokter untuk melayani 1.000 penduduk.

Jika penduduk Indonesia saat ini berkisar 270 juta jiwa, minimal harus ada 270 ribu dokter di seluruh Tanah Air. Namun, dari segi jumlah dan distribusi, Indonesia masih jauh dari standar ideal itu.

Berdasarkan data pada laman Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), jumlah tenaga medis di Indonesia per Rabu (6/8/2025), mencapai 271.821 ribu. Rinciannya, dokter umum 168.420 orang, dokter gigi 43.941 orang, dokter spesialis 53.629 orang, dan dokter gigi spesialis 5.831 orang.

Menurut Kemenkes, sebanyak 59 persen dokter spesialis masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Di Provinsi Papua Barat hanya ada 21 tenaga medis dan Papua Selatan (32). Bahkan, Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya sama sekali tidak memiliki tenaga medis.

CISDI dalam “Buku Putih Pembangunan Sektor Kesehatan Indonesia 2024-2034: Merancang Masa Depan Kebijakan dan Pelayanan Kesehatan” menyebutkan ada sejumlah faktor yang menyebabkan ketimpangan distribusi tenaga kesehatan di Indonesia. Itu meliputi upah minim, fasilitas kerja terbatas, lemahnya keamanan, ketidakpastian jenjang karier, dan kurangnya ketersediaan fasilitas pendidikan untuk keluarga.

Program dokter spesialis keliling

Warga berkonsultasi dengan dokter spesialis anak saat pelaksanaan program Speling atau Dokter Spesialis Keliling dan dan Cek Kesehatan Gratis (CKG) di Desa Karanggedong, Ngadirejo, Temanggung, Jawa Tengah, Selasa (15/7/2025). ANTARA FOTO/Anis Efizudin/nz

Masih banyak juga puskesmas yang belum memiliki pelayanan kesehatan optimal. CISDI mencatat, puskesmas yang memiliki sembilan jenis SDM kesehatan secara lengkap di Indonesia hanya sekitar 42,67 persen dari total 10.374 puskesmas pada 2022.

Idealnya, setiap puskesmas memang setidaknya memiliki sembilan jenis tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan itu terdiri dari dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga sanitasi lingkungan, ahli teknologi laboratorium medik, tenaga gizi, dan tenaga kefarmasian.

Namun, 9,6 persen puskesmas masih kekurangan dokter, 32,4 persen kekurangan dokter gigi, 10,6 persen kekurangan perawat, dan 6,6 persen kekurangan bidan. Bahkan, 5 persen puskesmas belum memiliki tenaga dokter sama sekali.

Perlu Solusi Jangka Panjang

Pengamat kebijakan kesehatan sekaligus peneliti Griffith University, Dicky Budiman, menilai kebijakan tunjangan Rp30 juta per bulan untuk dokter spesialis di DTPK adalah langkah positif. Namun, itu bukan solusi jangka panjang dalam pemerataan layanan kesehatan di Indonesia.

Menurutnya, insentif finansial dapat jadi daya tarik dalam rekrutmen jangka pendek bagi dokter spesialis di wilayah yang sulit dijangkau. Di negara-negara berkembang, kata Dicky, kebijakan ini memang efektif untuk menarik dokter dalam waktu cepat. Namun, efektivitas retensi atau kemampuan mempertahankan tenaga medis di daerah tersebut masih sangat bergantung pada faktor-faktor nonfinansial, seperti fasilitas kerja, akses alat medis, ketersediaan obat, dukungan karier, hingga kesejahteraan keluarga tenaga medis.

“Insentif tunjangan ini adalah trigger, bukan solusi struktural,” kata Dicky kepada wartawan Tirto, Rabu (6/8/2025).

Dicky mendorong pemerintah mengiringi kebijakan insentif ini dengan reformasi sistem SDM kesehatan nasional secara menyeluruh. Pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit daerah, misalnya, bisa mewajibkan kerja spesialis berbasis DTPK dengan kontrak yang jelas.

Selain itu, RSUD harus ditransformasikan menjadi pusat layanan unggulan regional.

“Sehingga, dokter tidak merasa terbuang ke pinggiran, tapi menjadi pionir pembangunan,” ucapnya.

Sementara itu, pengamat kebijakan kesehatan sekaligus anggota PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Iqbal Mochtar, menilai kebijakan insentif dokter spesialis di daerah terpencil merupakan kemajuan penting. Itu menunjukkan bahwa negara menghargai dokter yang bekerja di daerah terisolasi.

Namun, Iqbal menegaskan bahwa tantangan terbesarnya bukanlah terletak pada isi kebijakan, melainkan pada realisasi teknis dan komitmen pelaksanaannya di lapangan.

Iqbal menyampaikan bahwa selama ini banyak dokter di daerah yang sudah dijanjikan tunjangan serupa, bahkan dengan jumlah yang lebih besar, tetapi tidak pernah benar-benar mereka terima.

“Faktanya, realisasinya itu sering susah untuk diimplementasikan. Terutama, kalau pendanaannya berasal dari daerah,” tegas Iqbal kepada wartawan Tirto, Rabu (6/8/2025).

Iqbal juga menyoroti pentingnya kepastian sumber pendanaan agar kebijakan ini tidak macet di tengah pelaksanaan. Menurut Iqbal, bila tunjangan didanai langsung pemerintah pusat, melalui alokasi Kemenkes secara reguler, peluang keberhasilannya cukup besar.

Iqbal tetap optimistis jika dilaksanakan dengan serius dan sistematis, langkah ini berkontribusi pada pemerataan layanan kesehatan di wilayah terpencil. Iqbal pun mewanti-wanti bahwa kepercayaan para dokter terhadap kebijakan semacam ini sudah beberapa kali tercederai karena kegagalan implementasi.

“Jangan sampai aturan ini hanya menjadi aturan saja yang tujuannya sekadar untuk mengangkat isu politis tertentu dengan tujuan bisa mengangkat imej individu tertentu. Namun, pada akhirnya hanya merupakan aturan yang tidak terimplementasi dengan baik,” kata Iqbal.

Baca juga artikel terkait INSENTIF NAKES atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi