Menuju konten utama

Risiko Nyawa: Nakes Pedalaman Khawatir Caesar oleh Dokter Umum

Dokter di pedalaman menilai wacana Menkes soal dokter umum boleh operasi caesar berisiko dan bukan solusi atas tingginya kematian ibu dan bayi.

Risiko Nyawa: Nakes Pedalaman Khawatir Caesar oleh Dokter Umum
Ilustrasi melahirkan dengan operasi caesar. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Di sebuah puskesmas terpencil di ujung utara Indonesia, Ian —bukan nama sebenarnya— menjalani tugasnya sebagai dokter umum seperti biasa. Namun bagai petir di siang bolong, ia dikejutkan dengan sebuah rencana pemerintah: Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin (BGS), tengah menyusun aturan baru yang akan memperbolehkan dokter umum melakukan operasi caesar atau seksio sesarea.

Kebijakan ini, menurut Menkes, dimaksudkan untuk menekan angka kematian ibu dan bayi yang masih tinggi di daerah-daerah terpencil.

Tempat Ian bekerja, sebuah fasilitas kesehatan di Kalimantan Utara, termasuk dalam kategori “daerah terpencil” seperti yang disebut oleh BGS. Bahkan menurut data Kementerian Sosial, wilayah itu masuk dalam kategori 3T: terdepan, terluar, dan tertinggal.

Ian khawatir. Jika wacana Menkes diimplementasikan menjadi kebijakan, justru akan timbul bahaya bagi masyarakat, terutama ibu dan anak yang melahirkan.

"Menurut saya, untuk dokter umum yang melakukan (operasi caesar) bukanlah kompetensinya," katanya saat dihubungi Tirto, Minggu (8/6/2025).

Dia juga berpendapat operasi caesar bukan satu-satunya opsi menekan angka kematian ibu dan bayi. Dengan segala keterbatasan, puskesmas tempat Ian bekerja telah melakukan upaya mitigasi.

Dia dan rekan-rekan kerjanya di puskesmas berupaya agar tidak semua proses kelahiran harus dijalankan di rumah sakit. Berbagai penanganan diupayakan cukup dilaksanakan di puskesmas.

"Program ibu hamil untuk deteksi yang berisiko juga sudah dijalankan. Jadi masih bisa pasien yang risiko persiapan melahirkan di rumah sakit," kata dia.

Dia mengakui bahwa saat ini kondisi Rumah Sakit Pratama di wilayah tugasnya masih kekurangan personel tenaga kesehatan. Walaupun memiliki dokter spesialis obstetri ginekologi (obgyn) atau kandungan, namun secara jumlah belum memadai.

Selain itu dokter spesialis lain, untuk mendukung proses operasi, juga masih minim. Akibatnya apa yang mereka bisa upayakan juga sangat terbatas

"Tidak hanya dokter obgyn, sekarang belum ada dokter anestesi dan SDM lainnya. Jadi untuk tindakan operasi belum bisa dilakukan," kata dia.

Sulitnya dokter kandungan di wilayah pedalaman juga dirasakan oleh Yac –juga nama samaran. Di tempat dia praktik, di daerah Kalimantan Tengah, masalah sumber daya dokter spesialis juga dialami.

Namun, dia berpendapat, ide Menkes untuk melatih dokter demi bisa terlibat dalam proses operasi caesar tidak bijak. Menurut, Yac hal tersebut rentan menimbulkan malpraktik bagi ibu maupun bayi yang melalui proses persalinan.

"Sementar kita kan sebagai dokter umum tidak mempunyai kompetensi untuk membuat tindakan operasi caesar, itu bisa beresiko menimbulkan infeksi yang bisa berbahaya bagi pasien," kata Yac kepada Tirto, Minggu (8/6/2025).

Dia menyampaikan seorang dokter spesialis membutuhkan sekolah yang tak singkat, untuk memantapkan ilmunya. Oleh karenanya dia mempertanyakan jika ada dokter umum yang mau melakukan operasi caesar dengan bekal hanya semacam pelatihan.

"Dokter spesialis sama dokter umum saja sudah berbeda sekolah, mereka bertahun-tahun sekolah untuk mendapatkan ilmu. Operasi caesar nggak bisa hanya dilakukan dengan pelatihan semata," tegas Yac.

ilustrasi ibu melahirkan

ilustrasi ibu melahirkan. FOTO/iStockphoto

Dibandingkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) harus repot-repot melatih dokter umum untuk bisa melakukan operasi caesar, menurut dia, perbaikan seharusnya dilakukan di akar masalah: kesejahteraan dokter. Menurut Yac, ada banyak dokter kandungan di Indonesia, namun yang mau dan bersedia untuk ditugaskan di wilayah pedalaman minim peminat.

"Cara untuk menarik minat ya dengan meningkatkan kesejahteraan para tenaga kesehatan itu sendiri. Mungkin agak sedikit dibedakan untuk tunjangan yang bekerja di kota dan di pelosok," kata Yac.

Menurut dia Kemenkes juga sebaiknya punya beasiswa putra daerah untuk dokter. Yac menjelaskan bahwa kebanyakan dokter yang bertugas di tempatnya saat ini, berasal dari luar kota, luar provinsi, bahkan luar pulau. Hal itu menjadi masalah sebab, umumnya mereka lebih memilih untuk bekerja di kampung halaman masing-masing.

"Karena kebanyakan yang kerja spesialis di sini itu orang dari luar, yang memungkinkan mereka bisa pindah suatu waktu ke tempat asal mereka," ujarnya.

Masalah Kematian Ibu dan Bayi dari Timur Indonesia, Terkait Minim Fasilitas

Bicara soal kematian ibu dan bayi, ada tren yang mengkhawatirkan dari Indonesia Timur, terutama di Tanah Papua. Di dua provinsi di sana, angka kematian ibu dan bayi melebihi rata-rata nasional.

Mengutip sensus penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020, angka kematian ibu (AKI) di Provinsi Papua dari 565 per 100 ribu kelahiran hidup. Di wilayah Provinsi Papua Barat, sebesar 343 per 100 ribu kelahiran hidup. Bandingkan dengan angka AKI nasional 189/ 100 ribu kelahiran hidup.

Hal serupa juga terjadi bagi angka kematian bayi (AKB). Dengan hitungan per 1.000 kelahiran, di Papua, indeksnya 38,17. Sementara di Papua Barat 37,06 per-seribu kelahiran hidup. Kembali angkanya jauh dibandingkan dengan rata-rata nasional, 16,85 per 1.000 kelahiran hidup.

Ketua Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Papua, Apter E. Patai, mencoba memberi tanggapan. Menurut dia tingginya angka kematian ibu dan bayi di Papua, tidak bisa diselesaikan hanya dengan menjalankan program pelatihan operasi caesar untuk dokter umum.

Menurut dia, Kemenkes lebih baik fokus menyediakan fasilitas dan alat kesehatan untuk melakukan operasi. "Bukan dokter yang kurang, tetapi fasilitas untuk tidak tersedia dengan merata," kata Apter, saat dihubungi Tirto, Minggu (8/6/2025).

Apter mengambil contoh kejadian di Rumah Sakit Hendrik Fintay, Kabupaten Sarmi, Papua. Dokter kandungan yang bertugas di sana tidak bisa menjalankan operasi, bukan karena kekurangan tenaga, namun akibat kekurangan alat di meja operasi.

"Di Sarmi ada dua dokter spesialis obstetri dan ginekologi, yang tidak bisa melakukan operasi, karena tidak ada fasilitas operasi, padahal di (RS tingkat) kabupaten," kata dia.

Ilustrasi Dokter dan Perawat

Ilustrasi Dokter dan Perawat. FOTO/iStockphoto

POGI Papua juga sempat mengirimkan segala keluh kesah dokter kandungan kepada Presiden Prabowo Subianto. Apter menjelaskan bahwa surat tersebut berisi keluhan mengenai dokter di wilayah 3T, karena jumlahnya yang sedikit.

Selain itu pendidikan kedokteran dipaksa mengikuti mekanisme birokrasi yang tidak adaptif dengan kebutuhan di wilayah tersebut. Profesi tenaga kesehatan juga kerap dianggap hanya sebagai pelaksana dan bukan mitra dalam pembangunan.

Oleh karenanya, dalam surat tersebut, POGI Papua meminta agar Presiden Prabowo mendengarkan suara dari dokter-dokter yang bekerja di pelosok mengenai permasalahan mereka, salah satunya mengenai insentif. Apter juga menyebut POGI Papua meminta Prabowo mengevaluasi kinerja Kementerian Kesehatan yang menurutnya tak mau menyimak aspirasi dari dokter yang bertugas di pelosok Indonesia.

"Menkes kalau mau niat membangun, datang ke tempat-tempat yang belum ada dokter obgyn dan dilengkapi fasilitasnya. Bukan dokter umum dilatih. Akhirnya menjadi tidak connect," kata Apter lagi.

Perbaikan Manajemen Dokter Kandungan atau Pengawasan yang Ketat

Ketua Umum Pengurus Pusat POGI, Yudi Mulyana Hidayat, mendorong Kementerian Kesehatan melakukan perbaikan manajemen pengelolaan dokter kandungan, dibandingkan membuat wacana melatih dokter umum untuk melakukan operasi caesar. Dia mendorong perbaikan dilakukan dari hulu, dengan distribusi dokter yang sudah senior ke seluruh wilayah Indonesia.

"Dokter residen peserta PPDS yang sudah senior dan memiliki kompetensi mandiri bekerjasama dengan fakultas kedokteran di seluruh Indonesia dikirim ke daerah 3T," ujar Yudi menjabarkan solusi kepada Tirto, Minggu (8/6/2025).

Yudi mengusulkan agar dokter spesialis memiliki ikatan bakti kerja selama satu tahun usai lulus dalam program spesialisasi. Dia harap program ini terus berkelanjutan dan dikaderkan kepada setiap dokter baru.

"Distribusi dokter spesialis baru lulus untuk didayagunakan selama satu tahun dengan program bakti kerja dokter spesialis di daerah 3T dan terus berkesinambungan jika ada lulusan baru," katanya.

Sama dengan dokter lainnya, Yudi meminta Menkes untuk meningkatkan insentif kepada dokter yang bertugas di daerah pedalaman. Bahkan, dia meminta pemerintah untuk memberikan sejumlah insentif bagi dokter kandungan yang ada di pelosok Indonesia.

"Insentif dari daerah harus diperhatikan, ditingkatkan, insentif pusat dan fasilitas untuk tempat tinggal, kendaraan dan lain-lain," kata dia.

Sementara Guru Besar Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia, Ede Surya Darmawan, berharap ada upaya Kemenkes untuk memperbaiki hubungan dengan Kolegium Dokter Indonesia.

Ede menyebut hal ini penting, jika memang ingin merealisasikan pelatihan dokter umum untuk mendapat pelatihan operasi caesar. Nantinya Kolegium Dokter yang akan mengawal. Sebab menurutnya merekalah yang paling paham dengan kondisi di lapangan.

"Tapi saran saya, kalaupun itu dilakukan, tetap dalam pemantauan. Kalau dalam pemantauan itu artinya posisinya –misalnya, ya ada konsultasi online, antara dokter umum di daerah 3T di puskesmas iu dengan dokter obgyn di rumah sakit," kata Ede saat dihubungi Tirto, Minggu (8/6/2025).

Ilustrasi USG

Ilustrasi USG. foto/istockphoto

Sebelum melaksanakan wacananya, Menkes didesak untuk memperbaiki dan memperkuat sistem pelayanan kesehatan di seluruh daerah di Indonesia. Sehingga komunikasi antara fasilitas pelayanan kesehatan di setiap tingkat dapat terjaga tanpa kendala satu sama lain.

Karena menurutnya, jika ada dokter umum yang di daerah terpencil yang melakukan operasi caesar harus dengan pengawasan ketat dokter kandungan di rumah sakit daerah, sehingga segala risiko dapat diminimalisir dan dihindari.

"Jadi mekanisme koordinasi komunikasi ini harus dibangun, itu artinya lebih besarnya lagi adalah penguatan sistem pelayanan kesehatan di setiap kabupaten yang terluar itu diperbaiki," kata Ede.

Merespons keluhan dokter dan kolegium obstetri dan ginekologi, Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani, akan memanggil Menkes BGS untuk mengklarifikasi perihal wacana pelatihan dokter umum untuk bisa melakukan operasi caesar.

"Pada masa sidang yang akan datang ada kemungkinan ditanyakan kepada Menkes terkait wacana yang dilontarkan," kata Netty saat dihubungi Tirto, Senin (9/6/2025).

Tirto juga mencoba menghubungi pihak Kemenkes baik Menkes BGS dan Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, untuk mendapat tanggapan terkait polemik ini. Namun sampai laporan ini naik, Selasa (10/6/20225), keduanya tidak menjawab pesan ataupun telepon kami.

Baca juga artikel terkait PERSALINAN CAESAR atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - News Plus
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Alfons Yoshio Hartanto