Menuju konten utama

AI di Bidang Kesehatan Penting, tapi Bukan untuk Gantikan Dokter

Tantangan utama penerapan AI bukan hanya teknologis, tapi juga berkaitan dengan regulasi, etika, dan kesiapan SDM.

AI di Bidang Kesehatan Penting, tapi Bukan untuk Gantikan Dokter
Petugas medis mengoperasikan teknologi robotik saat operasi reseksi hati di RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Kamis (24/10/2024). ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan/agr

tirto.id - Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, kembali mendorong tenaga medis, khususnya dokter, untuk beradaptasi dengan teknologi akal imitasi (artificial intelligence/AI). Dia bahkan menyebut bahwa dokter yang memusuhi AI berisiko tertinggal atau terbelakang dari perkembangan teknologi.

Pernyataan tersebut dia sampaikan usai menghadiri peluncuran The First da Vici Xi in Indonesia RS Siloam di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Rabu (16/7/2025) kemarin.

“Dokter harus pakai AI. AI enggak mungkin tanpa dokter, tapi dokter yang memusuhi AI justru akan terbelakang,” kata Budi seperti dikutip Kompas.com.

Menurut Menkes, penerapan AI dalam dunia kedokteran dapat membantu meningkatkan akurasi, khususnya dalam tindakan medis seperti operasi. Dia menjelaskan bahwa teknologi AI mulai banyak diterapkan pada berbagai perangkat yang dirancang untuk meningkatkan akurasi prosedur bedah.

Salah satunya adalah peranti Mako Spine yang digunakan dalam operasi tulang belakang. Mako Spine memanfaatkan AI untuk menentukan titik-titik pembedahan secara akurat.

Meski demikian, menurut Budi, penggunaan peranti teknologi bertenaga AI tidak akan menggantikan peran dokter secara utuh.

Itu bukan kali pertama Menkes mendorong penggunaan teknologi AI bagi layanan kesehatan di Indonesia. Dalam kesempatan lain, dia sudah pernah menyatakan bahwa teknologi AI, termasuk AI generatif, berpotensi membawa perubahan signifikan dalam meningkatkan mutu layanan kesehatan nasional.

“Saya percaya bahwa saat ini teknologi terus berkembang, yang pada akhirnya juga akan mengubah humanity,” kata Budi saat menjadi pembicara dalam acara “Google AI untuk Indonesia Emas” di Jakarta, Senin (3/6/2024).

Raker Komisi IX DPR dengan Menteri Kesehatan

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan paparan pada rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/2/2025). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/nym.

Menurut Budi, kompleksitas sistem biologis manusia yang terdiri dari 30 juta lebih gen, 87 miliar neuron, 300 triliun sel, dan 37 triliun mikrobioma menuntut pendekatan yang lebih canggih daripada metode empiris konvensional. Dalam konteks ini, akal imitasi dinilai dapat memberikan analisis menyeluruh dan akurat guna menunjang pengambilan keputusan klinis.

Menkes juga menambahkan bahwa teknologi AI memiliki potensi untuk mengubah praktik kedokteran, termasuk dalam membantu dokter mendeteksi penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung, dengan lebih cepat, presisi dan efisien.

“Bisa dibayangkan kalau kita menggunakan metode empirik seperti pada umumnya untuk mempelajari ini semua. Makanya teknologi AI harus digunakan secara maksimal, lebih dari bermain catur atau bahkan bahasa program ChatGPT, untuk mengetahui bagaimana sistem tubuh bekerja secara ilmiah,” tutur Menkes.

Seiring dengan pernyataan-pernyataan Budi tersebut, Kemenkes RI juga telah menggandeng Qure.ai—perusahaan teknologi bidang kesehatan asal India—untuk mengembangkan pemanfaatan akal imitasi dalam deteksi dini tuberkulosis (TB).

Teknologi AI itu rencananya akan digunakan dalam pengoperasian pencitraan sinar X di dada untuk mendeteksi TB. Teknologi yang dikembangkan Qure.ai itu bakal diaplikasikan di fasilitas kesehatan yang ditunjuk oleh Kemenkes.

Kemenkes juga berencana membangun sistem manajemen dan pelaporan pasien terpusat yang dikembangkan untuk memperkuat surveilans penyakit secara nasional. Sistem ini nantinya akan mendukung layanan teleradiologi sehingga tenaga medis dari berbagai daerah dapat mengakses hasil skrining pasien secara real-time.

Secara umum, pemanfaatan akal imitasi di sektor kesehatan memang mengalami perkembangan pesat. Disrupsi AI di sektor kesehatan ini cukup diterima baik oleh tenaga kesehatan profesional maupun para penerima manfaat atau pasien

Hasil survei Future Health Index yang dilaporkan Philips menyebutkan bahwa sebanyak 74 persen pimpinan fasilitas kesehatan (faskes) akan berinvestasi ke AI generatif dalam tiga tahun ke depan.

Bersamaan dengan tingginya animo pemanfaatan AI dalam layanan kesehatan, kesadaran bahwa AI harus diterapkan secara bertanggung jawab demi menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan juga meningkat.

Dalam laporan yang diterbitkan Philips, ditemukan 9 dari 10 pimpinan faskes Indonesia (96 persen) khawatir bahwa bias data dalam pengaplikasian AI akan melebarkan disparitas yang sudah ada. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata kekhawatiran global (87 persen).

AI Bukan Substitusi Dokter

Dokter, epidemiolog, sekaligus pakar kesehatan global dari Griffith University, Australia, dr. Dicky Budiman, menilai pernyataan Menkes mengenai pemanfaatan AI dalam dunia kedokteran perlu disambut dengan sikap terbuka. Meski demikian, pemanfaatan AI tetap harus disikapi secara proporsional.

Dicky menegaskan bahwa pendekatan terhadap AI tidak boleh bersifat dikotomis, seolah hanya terdapat pilihan antara mendukung sepenuhnya atau menolaknya.

“Dunia kedokteran itu dan salah satu aspek research yang sering saya kembangkan adalah ethicpublic health. Dunia kedokteran itu adalah dunia etik, dunia empati, dan dunia kehati-hatian, dan dunia ilmiah. Jadi, semua itu akhirnya terkait atau khususnya merespon AI, kita harus adaptasi dalam bentuk atau dilakukan secara etis, bertahap, berbasis bukti, serta dengan prinsip kehati-hatian yang tinggi,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (17/7/2025).

Lebih lanjut, Dicky mengakui bahwa AI telah menunjukkan kontribusi nyata dalam berbagai aspek pelayanan kesehatan. Di bidang radiologi dan patologi digital, misalnya, AI telah digunakan untuk diagnosis berbasis citra medis dengan tingkat akurasi yang tinggi. Dalam beberapa kasus, AI bahkan melebihi rata-rata akurasi dokter manusia.

Selain itu, AI telah dimanfaatkan untuk memprediksi penyakit kronis dan komplikasi melalui pemrosesan mahadata (big data) dan integrasi dengan rekam medis elektronik.

Dicky juga mengungkapkan pengalamannya saat menghadiri konvensi global di Cina beberapa waktu lalu. Saat itu, dia menyaksikan langsung bagaimana rumah sakit di negara tersebut telah menerapkan AI dalam tindakan bedah presisi melalui teknologi robot-assisted surgery. Menurutnya, teknologi ini merupakan bentuk augmentasi terhadap kapasitas tenaga medis, bukan bentuk substitusi.

“Semua itu adalah bentuk augmentasi atau peningkatan kemampuan manusia, tapi bukan substitusi. Jadi, dokter tetap menjadi pengambil keputusan utama dalam konteks itu,” ujarnya.

Layanan mobil klinik gratis di pelosok Banten

Dokter memeriksa kandungan ibu hamil di dalam mobil klinik telemedicine di Desa Kurungkambing, Pandeglang, Banten, Selasa (8/7/2025). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/tom.

Hal senada diungkapkan oleh Dewan Pengawas DPP Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), dr. Mahesa Paranadipa.Menurut Mahesa, pernyataan Menkes mengenai perlunya dokter beradaptasi dengan AI merupakan hal yang tepat dan relevan dengan perkembangan teknologi di bidang kesehatan.

Dia menyebut bahwa dalam banyak studi, AI terbukti bisa membantu meningkatkan akurasi diagnosis dan efisiensi kerja dokter. Misalnya dalam radiologi, bedah, & deteksi penyakit kronis.

“Namun, AI bukan pengganti dokter, melainkan alat bantu. Kita tetap membutuhkan kehadiran manusia dalam pengambilan keputusan klinis yang kompleks dan bernuansa etik,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (17/7/2025).

Lalu, aspek apa yang mesti diperhatikan dari pemanfaatan teknologi AI bagi dokter?

Regulasi, Etika, dan Kesiapan SDM

Associate Professor Digital Strategy and Data Science Monash University Indonesia, Arif Perdana, menilai pernyataan Menkes terkait penggunaan AI tersebut relevan dengan perkembangan teknologi saat ini. Namun, Arif mengingatkan bahwa dunia kesehatan merupakan bidang berisiko tinggi yang sarat dengan dimensi etika dan hukum yang kompleks.

“Dokter harus paham dan bisa menggunakan AI, tapi mereka juga harus tetap terlibat aktif dalam siklus otomatisasi ini. AI bisa membantu, tapi keputusan akhir tetap harus ada di tangan manusia,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (17/7/2025).

Senada dengan Dokter Dicky, Arif mengungkapkan bahwa pemanfaatan AI dalam dunia medis secara global telah berkembang pesat. Ia mencakup berbagai fungsi, mulai dari asistensi dalam diagnosis, penelitian pengembangan obat, hingga dukungan layanan kesehatan mental.

Meski demikian, tantangan utama dari penerapan AI bukan hanya bersifat teknologis, tetapi juga berkaitan erat dengan regulasi, etika, dan kesiapan sumber daya manusia.

“Teknologi akan terus maju, tapi tanpa pengawasan manusia dan aturan yang jelas, dampaknya bisa berbahaya. Sama seperti pesawat atau mobil, AI juga perlu dikendalikan agar manfaatnya terasa, risikonya terkendali,” ujarnya.

Dokter Dicky yang saat ini juga menjabat sebagai Penanggung Jawab Mutu di Program Magister Administrasi Rumah Sakit (MARS) Sekolah Pascasarjana Universitas Yarsi menyoroti sejumlah risiko dan tantangan etis yang harus dipertimbangkan secara serius dalam implementasi AI di dunia medis.

Salah satu kekhawatiran adalah terkait potensi bias algoritma yang dapat menghasilkan ketidakadilan dalam diagnosis, khususnya terhadap kelompok tertentu seperti perempuan atau minoritas etnis. Dia juga menekankan pentingnya perlindungan data medis, mengingat tingginya risiko kebocoran informasi pribadi pasien.

Layanan kateterisasi jantung dan bedah minimal invasif di Papua

Petugas kesehatan memeriksa peralatan di ruang operasi saat peresmian layanan kateterisasi jantung dan bedah minimal invasif di Rumah Sakit Provita, Kota Jayapura, Papua, Selasa (13/6/2023).ANTARA FOTO/Sakti Karuru/aww.

“Kalau terjadi kesalahan diagnosis atau tindakan oleh AI, ini ada isu atau risiko atau tantangan terkait tanggung jawab hukumnya siapa. Selain itu, juga ada overdependency pada sistem otomatis yang berisiko mengurangi clinical reasoning-nya dan kemandirian dokter muda. Jadi, ini yang, terutama untuk dokter-dokter generasi muda, akan berpotensi mengurangi critical thinking mereka, clinical reasoning mereka,” ujarnya.

Menimbang hal tersebut, Dicky menegaskan bahwa etika dan perlindungan pasien harus menjadi fondasi utama dalam pemanfaatan AI di sektor medis. Oleh karena itu, dia turut mendorong percepatan penyusunan regulasi yang komprehensif dan sistem governance yang memadai oleh lembaga kredibel, seperti Kemenkes atau lembaga independen lain. Itu mencakup pula standar penggunaan AI di rumah sakit dan klinik.

“Selain itu juga sertifikasi dan audit algoritma AI medis ini yang harus dilakukan secara berkala. Ya ini kan tetap, ini kan tools yang harus dipantau, diaudit. Termasuk, juga hal lain adalah kita harus siapkan perlindungan data pribadi pasien. Sudah ada UU PDP, nah ini harus ditinjau keterkaitannya dengan posisi AI ini. Kemudian, juga harus ada kewajiban informed consent kalau AI digunakan dalam pengambilan keputusan klinis,” ujarnya.

Terpisah, Dokter Mahesa dari MHKI menekankan bahwa hal terpenting dalam penerapan AI di bidang kesehatan adalah pengembangan regulasi yang jelas. Dia menyoroti pentingnya kejelasan mengenai tanggung jawab hukum apabila terjadi kesalahan medis, serta perlindungan terhadap data pasien.

“Adaptasi terhadap AI harus dibarengi dengan pelatihan, standar etik, dan sistem hukum yg mendukung, agar teknologi ini benar-benar meningkatkan kualitas layanan kesehatan tanpa menimbulkan risiko baru,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait KECERDASAN BUATAN atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News Plus
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi