Menuju konten utama

Masa Depan Penerapan AI di Sektor Kesehatan Indonesia

Pemanfaatan AI bisa memperkuat sektor kesehatan, namun persoalan literasi digital hingga disparitas teknologi jadi tantangan.

Masa Depan Penerapan AI di Sektor Kesehatan Indonesia
Ilustrasi penggunaan AI di sektor kesehatan. AFP/ NELSON ALMEIDA

tirto.id - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI resmi menggandeng Qure.ai, perusahaan teknologi bidang kesehatan asal India, untuk mengembangkan pemanfaatan artificial intelligence atau akal imitasi (AI) dalam mendeteksi dini tuberkulosis (TB).

Teknologi AI ini rencananya akan digunakan dalam pengoperasian pencitraan sinar X di dada untuk mendeteksi TB. Teknologi yang dikembangkan Qure.ai ini bakal diaplikasikan di fasilitas kesehatan yang ditunjuk oleh Kemenkes.

Selain itu, akan dibangun sistem manajemen dan pelaporan pasien terpusat yang dikembangkan untuk memperkuat surveilans penyakit secara nasional. Sistem ini nantinya akan mendukung layanan teleradiologi, sehingga tenaga medis dari berbagai daerah dapat mengakses hasil skrining pasien secara real-time.

Kerja sama yang diresmikan melalui penandatangan nota kesepahaman ini juga mencakup pengembangan kapasitas lewat pelatihan dan dukungan teknis, bagi tenaga kesehatan dan profesional teknologi informasi. Dalam pers rilisnya, Kamis (27/2/2025), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan bahwa teknologi berbasis AI akan membuka peluang besar untuk menganalisis data medis dengan lebih cepat dan akurat.

“Memberikan dampak positif baik bagi pasien maupun tenaga medis,” kata Menkes Budi.

Pemanfaatan akal imitasi di sektor kesehatan memang mengalami perkembangan pesat. Tidak hanya dimanfaatkan di bidang administrasi, AI sudah digunakan dalam layanan untuk pasien. Disrupsi AI di sektor kesehatan ini cukup diterima baik oleh tenaga kesehatan profesional, maupun para penerima manfaat atau pasien.

Hasil survei Future Health Index yang dilaporkan Philips menyebutkan bahwa sebanyak 74 persen pimpinan fasilitas kesehatan (faskes) akan berinvestasi ke AI generatif dalam tiga tahun ke depan. Bersama dengan tingginya animo pemanfaatan AI dalam layanan kesehatan, kesadaran bahwa AI harus diterapkan secara bertanggung jawab demi menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan juga meningkat.

Dalam laporan yang diterbitkan Philips, ditemukan 9 dari 10 pimpinan faskes Indonesia (96%) khawatir bahwa bias data dalam pengaplikasian AI akan melebarkan disparitas yang sudah ada. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata kekhawatiran global (87%).

Dengan begitu, pemanfaatan akal imitasi (AI) pada bidang kesehatan sebetulnya membawa prospek besar dengan tantangan yang harus dibenahi. Di berbagai belahan dunia, AI telah menunjukkan potensinya dalam meningkatkan efisiensi layanan kesehatan. Misalnya, sistem berbasis machine learning yang diproyeksi bisa mendiagnosis kanker lebih cepat daripada dokter spesialis.

Sementara teknologi pemrosesan bahasa alami (NLP) juga bisa menyaring informasi medis dengan akurasi tinggi. Robot bedah yang dikendalikan AI, turut menjadi asisten andal dalam operasi berpresisi tinggi. Kembali lagi, keberhasilan ini tetap bergantung pada kualitas data medis, kebijakan kesehatan, serta sistem yang dapat memitigasi risiko.

Peneliti Global Health Security dari Griffith University, Dicky Budiman, menilai secara umum adopsi AI dalam sektor kesehatan di Indonesia masih dalam tahap awal tetapi menunjukkan perkembangan yang positif. Sejumlah inisiatif sudah berjalan, seperti pemanfaatan AI untuk deteksi Tuberkulosis (TB) yang baru diresmikan Kemenkes. Dicky melihat upaya itu sebagai komitmen pemerintah dalam mengintegrasikan AI untuk meningkatkan layanan kesehatan.

Akan tetapi kesiapan sektor kesehatan Indonesia sendiri menghadapi beberapa tantangan. Dicky menuturkan contohnya, seperti infrastruktur digital yang belum merata. Terlebih, masih ada keterbatasan pada tenaga kesehatan terkait pemahaman mendalam tentang AI.

Terpenting, dibutuhkan data kesehatan yang terstruktur serta terstandarisasi keamanannya. Meskipun sejumlah rumah sakit di kota besar sudah mengadopsi teknologi digital, fasilitas kesehatan di daerah-daerah terpencil justru mengalami keterbatasan baik dari sisi teknologi maupun sumber daya manusia.

Ilustrasi penggunaan AI di sektor kesehatan

Ilustrasi penggunaan AI di sektor kesehatan. AFP/ NELSON ALMEIDA

Penting untuk mempertimbangkan respons masyarakat terhadap pemanfaatan AI di bidang kesehatan. Pasalnya, banyak masyarakat, terutama di daerah pedesaan, belum memahami bagaimana cara AI bekerja dalam pelayanan kesehatan.

“Ini menimbulkan ketidakpercayaan terhadap sistem AI, terutama jika pasien lebih nyaman dengan pendekatan konvensional dari dokter atau tenaga kesehatan,” kata Dicky kepada wartawan Tirto, Kamis (27/2/2025).

Menurut Dicky, pemanfaatan AI pada sektor kesehatan amat bergantung pada data pasien. Masalahnya, perlindungan data di Indonesia masih menjadi tantangan dengan maraknya kebocoran data publik dan lemahnya regulasi terkait data pribadi dalam layanan kesehatan.

Sebagian besar fasilitas kesehatan di Indonesia masih menggunakan sistem pencatatan manual atau sistem elektronik yang belum seragam. Sementara AI membutuhkan data yang jelas dan terstruktur agar bisa berfungsi optimal. Integrasi AI dengan sistem yang sudah ada diprediksi membutuhkan investasi besar dalam infrastruktur dan interoperabilitas data.

“Keputusan yang diambil oleh AI dalam mendiagnosis atau merekomendasikan pengobatan harus tetap dalam kendali tenaga medis. Ketergantungan penuh pada AI tanpa supervisi manusia dapat menimbulkan risiko kesalahan diagnosis dan aspek etika lainnya,” ujar Dicky.

Regulasi dan Literasi Terkait AI Perlu Dipersiapkan

Dosen Fakultas Teknologi Informasi Monash University Indonesia, Arif Perdana, merasa adopsi AI pada sektor kesehatan Indonesia memang tumbuh pesat. Namun, riset lokal perlu didanai agar AI dapat sesuai karakteristik populasi. Integrasi dengan JKN, kata Arif, dapat memperluas manfaat penggunaan AI di bidang kesehatan.

Perkembangan pesat ini juga bukan tanpa tantangan. Selain literasi soal AI di masyarakat masih rendah, resistensi tenaga kesehatan juga bisa menjadi kendala terutama soal peran manusia dan ketergantungan teknologi.

Kurikulum pendidikan kedokteran dirasa Arif belum banyak mengakomodasi AI. Sementara kesenjangan infrastruktur telekomunikasi dan digital antara wilayah Barat dan Timur dapat memperparah ketimpangan pelaksanaan akses layanan kesehatan berbasis AI.

“Tantangan infrastruktur, SDM, dan interoperabilitas data tetap perlu diatasi,” kata Arif kepada wartawan Tirto, Kamis.

Regulasi juga menjadi aspek mendesak untuk memastikan AI aman, akurat, dan etis. Badan pengawas independen dibutuhkan untuk sertifikasi dan evaluasi berkala. Standar keamanan siber juga harus diperkuat untuk melindungi data kesehatan masyarakat dari potensi penyalahgunaan atau kebocoran informasi.

KEBOCORAN DATA INTERNET DAN SELULAR

Seorang karyawan menunjukkan jumlah kebocoran data di internet melalui situs web www.periksadata.com di Jakarta, Senin (5/9/2022). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.

Kasus kebocoran data di berbagai sektor, termasuk kesehatan, menunjukkan bahwa masih ada celah dalam perlindungan informasi sensitif. Regulasi terkait perlindungan data pribadi di Indonesia memang terus diperkuat, namun belum menjawab tantangan kompleksitas AI jika ingin dikembangkan dalam sistem kesehatan.

Di sisi lain, etika medis penggunaan AI juga harus menjadi perhatian. Keputusan klinis yang diambil oleh AI harus tetap berada dalam pengawasan tenaga medis manusia. Kepercayaan pasien terhadap dokter tidak boleh tergantikan oleh kecerdasan buatan yang bekerja secara hitam-putih berdasarkan data. Akal imitasi hanya menjadi alat bantu, bukan pengganti.

Wakil Ketua Umum II Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Mahesa Paranadipa Maikel, menilai UU Nomor 17/2023 tentang Kesehatan dan peraturan turunan yang ada saat ini belum mengatur spesifik soal pemanfaatan AI. Sehingga diperlukan peraturan lebih lanjut yang detail soal penggunaan AI di layanan kesehatan yang mencakup etika, audit teknologi, dan sanksi pelanggaran.

Regulasi tersebut diperlukan demi memastikan algoritma AI tidak bias dan dapat akurat, terutama dalam diagnosis. Amerika Serikat sudah memiliki pedoman validasi AI medis yang bisa diadopsi, sementara di Indonesia belum ada pedoman demikian.

Sebab, kata Mahesa, terdapat risiko penyalahgunaan AI serta diagnosis tanpa pengawasan dokter yang bisa membahayakan pasien. Walaupun demikian, Mahesa menyatakan bahwa sektor kesehatan di Indonesia memang sudah menggunakan AI dalam pelayanannya.

“Beberapa rumah sakit di Jakarta, Surabaya, dan Bandung telah mulai mengintegrasikan AI untuk diagnosis dini, misalnya deteksi kanker melalui citra radiologi dan manajemen data pasien,” kata Mahesa kepada wartawan Tirto, Kamis.

Dihubungi terpisah, Chief Digital Transformation Office (DTO) Kemenkes, Setiaji, mengaku sektor kesehatan Indonesia mulai menunjukkan kesiapan dalam mengadopsi teknologi AI. Beberapa rumah sakit besar dan klinik kesehatan mulai mengimplementasikan teknologi AI dalam proses diagnostik dan pelayanan kesehatan.

Beberapa teknologi AI yang digunakan yakni pembacaan gambar medis, prediksi penyakit, dan otomatisasi administrasi. Setiaji melihat hal itu digunakan untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi pelayanan kesehatan.

Namun, ia tidak menampik memang ada beberapa tantangan pemanfaatan AI pada sektor kesehatan di Indonesia. Seperti isu ketidakpercayaan, kurangnya literasi digital, infrastruktur, dan keterbatasan sumber daya manusia.

“Beberapa pihak masih ragu untuk bergantung pada sistem otomatis atau teknologi AI dalam keputusan medis, terutama jika mereka lebih terbiasa dengan cara tradisional,” kata Setiaji kepada wartawan Tirto, Kamis malam.

Ia setuju bahwa peraturan dan regulasi khusus mengenai penggunaan teknologi AI di sektor kesehatan amat diperlukan. Saat ini, ungkap Setiaji, Kemenkes telah membentuk pokja AI untuk menyiapkan regulasi dan beberapa use case AI di bidang imaging, LLM & genomik.

Setiaji menyampaikan urgensi adanya regulasi khusus agar keamanan data dan pasien bisa terjamin. Selain itu, supaya pemanfaatan AI akurat dan bertanggung jawab. Regulasi akan membantu menciptakan standar operasional dan kualitas yang dapat diikuti seluruh fasilitas kesehatan dalam mengimplementasikan teknologi AI.

“Adanya regulasi yang jelas tentang etika penggunaan AI dalam keputusan medis sangat penting, misalnya, bagaimana teknologi ini digunakan dengan cara yang tidak diskriminatif dan tetap menghormati hak pasien,” terang Setiaji.

Baca juga artikel terkait ARTIFICIAL INTELLIGENCE atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Rina Nurjanah