tirto.id - Pemerintah masih mempertahankan skema vaksinasi COVID-19 berbayar dan gratis. Tak tanggung-tanggung, jumlah vaksinasi berbayar mendominasi, persentasenya 70 persen dari target 107 juta penduduk.
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan mengatakan vaksin COVID-19 mau tak mau harus digratiskan. Ia bilang Indonesia dan dunia tengah menghadapi kedaruratan kesehatan sehingga vaksin sudah sewajarnya menjadi barang publik yang ditanggung oleh pemerintah.
Vaksin gratis penting agar ia tak diambil alih hukum rimba. Pendeknya, siapa punya uang, maka dialah yang bisa lebih dulu mendapatkan. “Vaksin itu harus bisa diakses semua orang. Jika berbayar-subsidi itu bikin masalah,” ucap Ede kepada reporter Tirto, Senin (14/12/2020)
Pendapat Ede bisa dimengerti jika merujuk studi Bank Dunia yang dirilis pada Januari lalu. Mereka menyebut tidak semua masyarakat Indonesia yang tidak miskin berada dalam tahap mampu. Bank Dunia mencatat, per 2016, sekitar 115 juta orang belum berhasil masuk ke taraf kelas menengah atau aspiring middle class--hampir sama banyaknya dengan target vaksinasi pemerintah, 107 juta orang.
Meski tak lagi miskin, mereka memiliki peluang untuk turun ke level rentan miskin. Rentan miskin didefinisikan sebagai mereka yang punya peluang di atas 10 persen untuk turun level menjadi miskin di tahun berikutnya.
Rentang pengeluaran aspiring middle class juga terbatas, yaitu hanya Rp532.000-1.200.000 per bulan. Sebaliknya, jumlah kelas menengah per 2016 menurut Bank Dunia berada di kisaran 52 juta orang. Jika angka ini saja yang diandalkan, tentu baru mencapai separuh dari yang dibutuhkan agar vaksinasi maksimal.
Selain menggratiskan vaksin, Ede bilang pemerintah juga harus mengatur prioritas. “Urutkan dari paling berisiko sampai risiko paling rendah,” ucap Ede. Prioritas penting karena turut menentukan keberhasilan pengendalian pandemi.
Kelompok pertama yang harus lekas divaksin adalah tenaga kesehatan karena mereka yang merawat pasien COVID-19 sekaligus yang bertanggung jawab memberi imunisasi kepada masyarakat. Kedua, mereka yang paling sering berinteraksi dengan banyak orang. Ede bilang semakin tinggi intensitas interaksi seseorang, semakin besar juga potensi untuk menularkan maupun tertular.
Siapa saja yang masuk dalam kelompok ini? Mereka adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) di bidang pelayanan publik, pedagang pasar, sampai guru.
Jika dua kategori itu sudah dibereskan, vaksinasi dapat dilakukan untuk masyarakat lain.
Epidemiolog dari Universitas Airlangga Surabaya Laura Navika juga sepakat kalau vaksin masuk ke dalam anggaran pemerintah. “Kalau ingin cepat buat herd immunity, ya, digratiskan,” ucap Laura kepada reporter Tirto, Senin.
Herd immunity hanya bisa dicapai bila sejumlah besar orang telah terinfeksi COVID-19 dan membentuk kekebalan dalam skala besar. Sayangnya tanpa akses vaksin yang memadai, konsep herd immunity bisa berbahaya.
Menggratiskan vaksin menurut Laura juga penting lantaran saat ini vaksin yang didatangkan dari Cina, Sinovac, belum bisa menjangkau kelompok rentan, misalnya mereka yang memiliki rekam jejak komorbid (penyakit turunan) sampai berusia lanjut. Uji klinis Sinovac belum melibatkan kelompok tersebut, padahal untuk usia anak saja perlu ada uji klinis tersendiri.
Di sisi lain, Vaksin seperti Pfizer dan Moderna buatan perusahaan farmasi asal AS sudah bisa digunakan untuk kelompok rentan. Masalahnya, vaksin Pfizer dan Moderna dibanderol Rp300-500 ribu per dosis alias lebih mahal dibanding Sinovac yang diperkirakan Rp200.000 per dosis.
Oleh karena itu, selain gratis, pemerintah juga harus mengelompokkan penerima vaksin dengan cara lain. “Kalau mau kelompok rentan bisa pakai Pfizzer dan Moderna,” ucap Laura.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino