tirto.id - Persiapan vaksin COVID-19 di Indonesia belum rampung, bahkan hasil uji klinis baru diumumkan awal tahun depan. Oleh karena itu pemerintah pun bahkan belum dapat memastikan kapan persisnya bakal menggelar vaksinasi massal. Dalam konteks itu Rumah Sakit Universitas Islam Indonesia (RS UII) Yogyakarta telah membuka pendaftaran vaksin mandiri alias berbayar.
Hal ini mereka umumkan di Instagram resmi pada 11 Desember lalu. Pendaftaran telah ditutup hari ini, Senin 14 Desember.
Manajer Public Relations & Marketing RS UII Jogja Saeffudin Sudarmadi mengatakan pembukaan pendaftaran vaksinasi COVID-19 dilakukan setelah mereka mendapatkan “lampu kuning” dari salah satu distributor vaksin--yang ia enggan sebut namanya. “Sekitar satu minggu lalu sudah diberi lampu kuning oleh perusahaan distributor vaksin, bahwa jika RS UII ingin memesan vaksin COVID-19 sudah bisa dilakukan,” kata Saeffudin saat dihubungi reporter Tirto, Senin (14/12/2020).
Manajemen paham vaksin masih dalam proses, katanya, termasuk izin edar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan sertifikasi halal di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Oleh karena itulah mereka juga tak menyebutkan waktu persis kapan vaksinasi dilakukan. Di pengumuman resmi, RS UII Jogja hanya menyebut estimasi kedatangan vaksin antara satu hingga dua bulan ke depan.
Dalam diskusi daring, 7 Desember lalu, Kepala BPOM Penny Lukito bilang tengah menguji efikasi Sinovac--vaksin pertama yang masuk Indonesia. Dia bilang izin edar dapat diberikan jika efikasi mencapai 50 persen. Sementara pada tanggal yang sama Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan tim audit dari MUI telah memberikan beberapa catatan yang perlu didalami informasinya kepada produsen vaksin. Pembahasan kehalalan dilanjutkan saat informasi didapat.
Saeffudin bilang RS UII Jogja membuka pendaftaran vaksin via Instagram sekadar untuk keperluan pendataan. Dengan membuka pendaftaran, mereka berharap dapat mengetahui seberapa besar animo masyarakat, lalu dapat menghitung keperluan yang harus disiapkan, termasuk tempat penyimpanan vaksin yang memadai.
Rumah sakit lain yang sudah membuka pendaftaran vaksin COVID-19 adalah Rumah Sakit Primaya sejak 9 Desember lalu. Tak dijelaskan kapan program vaksin bisa dimulai. Mereka hanya menyebut “pelaksanaan vaksinasi dapat dilakukan di seluruh cabang.” Sementara dalam keterangan di laman resmi, disebutkan spesifikasi produk dan harga vaksin akan menyesuaikan dengan kebijakan pemerintah.
Menanggapi berbagai iklan dan promosi vaksinasi ini, PT Bio Farma (Persero), salah satu BUMN yang akan mengelola vaksin, menyatakan “masih mengembangkan sistem yang akan digunakan untuk pemesanan preorder vaksinasi COVID-19 khusus jalur mandiri.” Sampai saat ini, menurut Juru Bicara Bio Farma Bambang Heriyanto, Sabtu (12/12/2020), seperti dilansir Antara, “belum ada ketentuan maupun pengaturan teknis dari pemerintah terkait hal tersebut.”
Dia juga menegaskan lagi bahwa “yang terpenting adalah pelaksanaan vaksinasinya sendiri tetap menunggu izin penggunaan dari Badan POM” yang belum pasti kapan.
Desakan Vaksin Gratis
Menteri Kesehatan Terawan Putranto menyebut pemerintah membuat dua skema vaksinasi COVID-19. Dari total 107 juta warga yang harus divaksin, 35 juta di antaranya masuk program vaksinasi pemerintah alias gratis. Sedangkan sisanya, 75 juta orang, membeli vaksin sendiri. 35 juta orang yang dimaksud merupakan tenaga kesehatan, pelayan publik, dan masyarakat miskin atau rentan tertular.
“Kalau program [vaksinasi] dilakukan Kementerian Kesehatan, sementara vaksinasi mandiri dilakukan oleh Kementerian BUMN yang bekerja sama dengan Kementerian kesehatan,” kata Terawan dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI, di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (10/12/2020).
Skema realisasi vaksinasi akan disesuaikan dengan sistem satu data yang terintegrasi. Sistem itu saat ini tengah dimatangkan oleh Kementerian BUMN, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Banyak pihak kecewa dengan rencana vaksin mandiri ini dan menyebut vaksin semestinya gratis. Dosen Sosiologi Bencana Nanyang Technological University asal Indonesia Sulfikar Amir bahkan membuat petisi online melalui laman change.org yang mendesak pemerintah menggratiskan vaksin. Per Senin pukul 14.00 WIB, petisi ini sudah ditandatangani sebanyak 5.601 orang.
Sulfikar menyebut program vaksin mandiri adalah komersialisasi yang dapat menggagalkan upaya menghentikan penyebaran Corona, yang telah masuk Indonesia hampir 10 bulan. Alasannya sederhana, jika tak gratis, maka tidak ada jaminannya setiap warga mau dan mampu membayar. “Vaksin harus digratiskan jika ingin program berhasil,” kata Sulfikar saat dihubungi reporter Tirto, Senin.
Minimal 70 persen warga harus diberi vaksin agar pandemi bisa ditekan. Dan itu harus dilakukan secara serentak agar efektif menghentikan penularan.
Menurutnya tidak ada kendala apa pun untuk menggratiskan vaksin, termasuk soal anggaran. Dia memberikan hitung-hitungan kasar: jika minimal 70 persen masyarakat Indonesia diberikan vaksin secara gratis dengan biaya Rp400 ribu, maka ongkosnya adalah Rp70-90 triliun. Anggaran itu tak jauh lebih besar dibandingkan dengan bantuan sosial yang mencapai ratusan triliun.
“Bansos tidak pernah akan selesai kalau pandemi masih terus berlangsung. Logika pemerintah tidak masuk akal. Vaksinasi yang mestinya jadi harapan, harusnya dilakukan secara sistematis dan efektif, tapi malah dijadikan komersial,” ujar Sulfikar.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino