Menuju konten utama

Vaksin COVID-19 Semestinya Gratis. Jika Tidak, "Negara Berbisnis."

Vaksin tak tersedia gratis bagi semua orang. Pemerintah meminta yang mampu bisa bayar. Kebijakan ini dianggap bakal melahirkan diskriminasi.

Vaksin COVID-19 Semestinya Gratis. Jika Tidak,
Ilustrasi penelitian vaksin virus Corona. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Ketua Pelaksana Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Erick Thohir mau masyarakat membantu pemerintah untuk menanggulangi pandemi secepatnya dengan “membayar vaksin sendiri”--jika telah tersedia. “Ini kontribusi yang tak kalah penting karena penduduk Indonesia sangat besar,” katanya dalam webinar, Selasa 24 November 2020.

Rencana ini sebetulnya telah ia nyatakan berkali-kali. Dalam diskusi virtual Persiapan Infrastruktur Data Vaksinasi COVID-19, Selasa 1 Desember, misalnya, Erick bilang jika sekadar mengandalkan rumah sakit dan fasilitas kesehatan milik BUMN, vaksinasi hanya dapat dilakukan untuk 2,3 juta penduduk/bulan. Sementara jika swasta terlibat, maka bisa bertambah 11 juta penduduk/bulan.

“Kalau gotong royong kita mampu 13-15 juta per bulan. Kalau kita ditugaskan 75 juta, ya, insya Allah 8-9 bulan selesai,” katanya.

Beberapa bulan sebelum itu, tepatnya pada Rabu 2 September, dia mengatakan pemerintah “tahu banyak juga pihak-pihak yang mampu beli [vaksin].” Oleh karena itu dia bilang “kami tidak mau nanti beban keseluruhan jadi beban pemerintah.”

Untuk memuluskan rencana itu, Erick bilang pemerintah tengah membuat pangkalan data satu data vaksin. Fajrin Rasyid, Direktur Digital Bisnis PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk, yang ditugaskan untuk membuat pangkalan data, mengatakan produk akhirnya adalah aplikasi pendaftaran vaksin baik yang berasal dari program pemerintah maupun program mandiri atau bayar sendiri.

Dengan pangkalan data ini diharapkan vaksin tepat sasaran dan tak ada duplikasi. “Vaksin tidak bisa sekaligus untuk satu waktu, sehingga butuh dashboard filtering penduduk mana yang diprioritaskan. Apabila sudah terdaftar dalam satu sistem, nanti tidak bisa terdaftar dalam sistem lainnya,” katanya.

Head of Corporate Communication Bio Farma Iwan Setiawan mengatakan mereka telah diperkenankan untuk kelak menjual vaksin bagi yang tidak ditanggung negara. Kepada reporter Tirto, Rabu (2/12/2020), dia bilang perkiraan harganya Rp400-600 ribu, mencakup dua dosis vaksin Sinovac untuk satu orang.

Berdasarkan penelitian Bio Farma, vaksin asal Cina ini dapat membuat tubuh kebal dari Corona selama enam bulan.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah tidak sepakat dengan program vaksin mandiri. “Akan runyam ini, karena enggak ada batasan yang vaksin untuk mandiri berapa persen. Bisa-bisa yang enggak punya uang dan enggak ter-cover sama pemerintah enggak dilayani. Kan ini jadi diskriminasi,” kata dia kepada reporter Tirto, Rabu.

Kekhawatiran Trubus beralasan karena vaksin tak bakal tersedia bagi semua orang dalam waktu bersamaan. PT Bio Farma, perusahaan pelat merah yang ditunjuk pemerintah untuk menguji klinis calon vaksin, bilang bisa memenuhi kuota vaksin terhadap 130 juta penduduk dari kewajiban setidaknya 170 juta. Untuk menutup sisa kebutuhan, pemerintah mengimpor pula beberapa jenis vaksin lain.

Trubus bilang sebaiknya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, memenuhi seluruh kebutuhan vaksin warga tanpa terkecuali. Toh berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 12 Tahun 2020, COVID-19 telah ditetapkan sebagai bencana nasional non-alam. “Kalau konteksnya itu (bencana nasional non-alam), sebenarnya pemberian vaksin itu harusnya gratis. Kan, program nasional.”

Pemerintah sebetulnya sudah berkomitmen untuk memberikan vaksin gratis. Tapi hanya pada 93 juta peserta BPJS Kesehatan yang miskin. Trubus bilang semestinya itu diperluas, bukan malah kelompok lain didorong bayar sendiri. “Ada peserta BPJS Kesehatan yang enggak dapat, ada juga yang bukan peserta BPJS.”

Penolakan juga datang dari kalangan pengusaha. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani bilang mereka “mendengar untuk dunia usaha ada pemikiran dibikin vaksin mandiri” untuk para pekerjanya. Dia menolak itu dan bilang “seharusnya tetap jadi tanggungan negara.”

“Karena bagaimanapun juga kami berada dalam kondisi terdampak cukup berat dengan kondisi seperti ini,” katanya dalam diskusi, Selasa.

Bagi Trubus, jika skema vaksin mandiri dijalankan, itu sama saja seperti negara sedang berbisnis. Ia pun bertanya retoris: “Masak negara berbisnis sama masyarakatnya sendiri?”

Baca juga artikel terkait VAKSIN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino