tirto.id - Di hadapan petinggi kementerian, lembaga negara, pengusaha dan ekonom dari sejumlah think tank, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengungkap data bahwa jumlah pengangguran akademis di Indonesia mencapai 1,01 juta. Data mengenai pengangguran lulusan perguruan tinggi tersebut merujuk pada hasil survei BPS pada Februari 2025 lalu.
Apabila menilik data yang dipaparkan oleh Yassierli, secara persentase jumlah pengangguran dari kalangan Strata satu (sarjana) sebanyak 4,76 persen dari total 7,28 juta tuna karya yang ada di Indonesia. Meski nominalnya mencapai jutaan, namun persentase jumlah pengangguran masih lebih didominasi oleh lini jenjang pendidikan lainnya.
Menurut data yang dipaparkannya, jumlah pengangguran dari kalangan lulusan SD-SMP sebanyak 2,42 juta, lulusan SMA ada 2,04 juta, lulusan sebanyak SMK 1,63 juta, dan tingkat diploma sebanya 177.399 orang. Bagi Yassierli, jumlah pengangguran di Indonesia tersebut masih dalam batas atau standar aman.
"Kalau penganggguran, standar lah ya," kata Yassierli dalam KTT Indef 2025 di Hotel Aryaduta, Rabu (2/7/2025).
Selain mengenai pengangguran, Yassierli mengungkapkan bahwa terdapat 145,77 juta dari 281,2 juta warga Indonesia yang memiliki pekerjaan. Dari data tersebut, mayoritas atau sekitar 56,67 persen bekerja di sektor informal seperti pedagang kaki lima, gig workers, dan usaha lainnya. Kelompok ini biasanya memiliki akses yang terbatas terhadap program-program kesejahteraan sosial seperi BPJS Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan.
Sedangkan yang terserap sektor formal secara persentase hanya 38,67 persen. "Yang harus kita catat adalah, terkait tentang profil bahwa sektor informal sekarang 60 persen dan ini bisa bertambah, dan ini tergantung definisi sektor informalnya, dan sepertinya tren akan semakin besar," kata Yassierli.

Untuk mengentaskan masalah pengangguran terkhusus bagi mereka yang sudah mengenyam bangku sarjana, Yassieri menawarkan pendekatan ganda. Pertama, meningkatkan supply tenaga kerja melalui pendidikan dan pelatihan, serta yang kedua memperluas demand atau lapangan kerja.
Bagi perguruan tinggi, Yassierli ingin mengoptimalkan Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan Kemnaker dengan perguruan tinggi demi menciptakan alumni yang kompeten dan sesuai dengan kebutuhan industri masa kini.
"Sejauh mana perguruan tinggi itu sudah mampu menjawab kompetensi yang dibutuhkan oleh industri," katanya kemudian.
Bagaimana Seharusnya Upaya Mengentaskan Pengangguran Akademis?
Dalam kesempatan yang sama, Yassierli membandingkan antara pendidikan vokasi dengan perguruan tinggi yang menurutnya kian kehilangan relevansi untuk memenuhi massive skill seperti penggunaan mesin, penggunaan perangkat lunak dasar, hingga kemampuan mengetik cepat. Menurutnya, massive skill menjadi prioritas karena pertumbuhan teknologi dan persaingan industri makin pesat yang ditandai dengan tumbuhnya penggunaan kecerdasan buatan dalam berbagai sektor.
"Bahkan relevansi perguruan tinggi yang semakin berkurang sebenarnya, ketika kondisi future semakin unpredictable, kemudian teknologi, IT, AI semakin berkembang pusat. Bahkan pendidikan yang terlalu kuliah 4 tahun malah sepertinya akan kehilangan relevansinya untuk massive skill, saya nggak bicara tentang selektif atau sebagian yang sifatnya high skill," kata Yassierli.
Juru Bicara Partai Buruh, Hizkia Yosie, menyebut bahwa fenomena tingginya pengangguran akademis di Indonesia bukanlah hal yang mengejutkan apabila menilik dari sistem ketenagakerjaan di Indonesia yang masih menggantungkan pada pemodal. Padahal menurutnya, Undang-udang Dasar 1945 telah mengatur bahwa perekonomian di Indonesia dibangun dan disusun atas usaha bersama atau gotong royong.
"Ini menurut perspektif UUD, yang bilang perekonomian disusun atas usaha bersama," kata Hizkia saat dihubungi Tirto, Jumat (4/7/2025).
Yosie sepakat dengan salah satu poin Yassierli yang menyebut pendidikan di perguruan tinggi mulai tak relevan dengan kondisi industri saat ini. Oleh karenanya, Yosie mendorong adanya revisi sistem pendidikan di Indonesia untuk menyiapkan generasi produktif sehingga siap untuk memasuki dunia kerja.
"Alhasil ijazah mereka hampir bisa dibilang 'bodong' di hadapan pemodal, karena walau mereka berijazah tapi mereka mesti perlu dilatih lagi, yang mana ini kan biaya lagi dari perusahaan," kata dia.

Dia berharap kepada pemerintah untuk memulai perbaikan kurikulum agar pendidikan tidak monoton dan hanya sekedar menyelesaikan kewajiban kurikulum. Meski begitu, Yosie mengakui bahwa penyesuaian pendidikan di perguruan tinggi dengan kondisi industri yang terus berkembang bukanlah hal mudah.
"Jangka menengah, perlu membenahi sistem pendidikan secara mendasar: kualitas, tata-kelola, kurikulum, ini panjang banget sih," kata Yosie.
Sistem pendidikan perguruan tinggi yang tak adaptif terhadap kebutuhan dunia kerja ini juga diakui oleh Anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Purwadi Purwoharsojo. Dia menilai pemerintah belum menaruh perhatian secara serius terhadap perkembangan perguruan tinggi.
Dia menunjukkan peta anggaran 2026 bahwa Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi mencapai Rp 55,45 triliun. Namun tidak berdampak signifikan terhadap pembiayaan riset dan dosen maupun tenaga pendidikan lainnya di perguruan tinggi. Padahal, menurutnya kualitas riset dan kesejahteraan tenaga pendidik itu jadi motor utama untuk menggerakkan kualitas perguruan tinggi agar semakin adaptif.
Purwadi membeberkan bahwa gaji dosen di Indonesia rata-rata di 2025 sekitar Rp 3,3 juta. Jumlah tersebut hanya setengah dari gaji dosen Filipina yang mencapai RP 7,6 juta. Kondisi itu menempatkan Indonesia di urutan ke-8 tingkat gaji dosen di ASEAN.
"Kita harus suarakan salah satu poin yang kita hari ini dorong banget yaitu kesejahteraan kampus, karena menurut saya pekerja kampus ini bagian dari mesin produksi pengetahuan di kampus, jadi nggak bisa berdiri sendiri," kata Purwadi pada Jumat (4/7/2025).
Potret pahit pekerja kampus ini menjadi hal yang saat ini tengah banyak disuarakan, terutama oleh Serikat Pekerja Kampus. Sebab, kondisi tersebut dinilai memengaruhi fokus para tenaga pendidik saat mengajar.

Selain karena aspek pembiayaan yang dianggap tidak berpihak pada dunia kampus, Purwadi menilai bahwa kementerian dan lembaga tidak sinkron dan kompak dalam menghadapi masalah pengangguran di Indonesia.
Menurutnya, pemaparan dan retorika Yassierli adalah bentuk kegagapan pemerintah dalam mengentaskan pengangguran di Indonesia.
"Itu kan pejabat publik yang sedang bingung setengah mati menghadapi situasi hari ini, itu artinya apa? Kementerian Pendidikan dan Kementerian Ketenagakerjaan memang belum satu frekuensi," kata dia.
Purwadi menilai bahwa saat ini pemerintah belum bisa mengadvokasi tenaga kerja di Indonesia. Salah satu indikatornya adalah jumlah tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia begitu banyak padahal masih banyak tenaga produktif berpendidikan namun belum memiliki pekerjaan.
"Yang tidak kalah penting dan bikin kita sedih itu adalah migrasi tenaga kerja asing yang sebenarnya bisa diisi oleh tenaga kerja dalam negeri," kata Purwadi.
Tirto telah menghubungi Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Stella Christie, untuk dimintai pendapat dan rencana pemerintah untuk menghadapi permasalahan 1,01 juta pengangguran dari alumni perguruan tinggi. Namun hingga artikel ini diunggah, Stella belum memberikan jawaban.
Sementara dikutip dari Antara, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Fauzan menegaskan pentingnya kerja sama antara perguruan tinggi dengan dunia usaha dan industri.
"Perguruan tinggi dapat ikut serta dalam memecahkan masalah ini, seperti menyediakan Lembaga Pelatihan Kerja -LPK- yang berperan melakukan upskilling dan reskilling," kata Wamendiktisaintek saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin (7/7/2025).
Menurutnya, penyesuaian kurikulum dan pembukaan program studi yang relevan dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan daya saing lulusan perguruan tinggi.
"Untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja, lulusan perguruan tinggi butuh keterampilan yang lebih spesifik," ujar Fauzan.

Pakar Ketenagakerjaan UGM, Tadjudin Nur Effendi, merekomendasikan solusi pengentasan pengangguran bersarjana di Indonesia adalah dengan membuka kesempatan bekerja di level global dan lintas negara.
Dia mendukung rencana Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding yang mendorong peluang anak muda Indonesia untuk bekerja di berbagai negara keluar negeri.
"Silakan mereka bekerja di luar negeri kita buka saja, kenapa? kalau mereka dibiarkan menganggur nggak ada gunanya, tapi kalau dia bekerja di luar negeri, mereka bisa menyumbang devisi untuk negara," kata Tadjudin saat dihubungi tirto.id pada Jumat lalu.
Menurutnya, pemerintah harus mendorong kesempatan untuk bekerja di luar negeri. Karena jika tenaga produktif terutama yang tak berijazah perguruan tinggi dibiarkan saja tanpa pekerjaan, hal itu akan membuat rugi pemerintah yang telah mengalokasikan APBN untuk pendidikan.
"Harusnya pemerintah, kalau mereka kerja kan kita bisa dapat devisa," kata dia.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Rina Nurjanah
Masuk tirto.id


































