tirto.id - Stigma di masyarakat menempatkan kanker sebagai penyakit mengerikan—kanker berarti kematian. Tapi bagi Manisha Koirala, pejuang kanker ovarium sekaligus aktris Hollywood, perjuangan melawan kanker tak sekelam apa yang dibayangkan orang-orang.
“Saya kenal banyak orang dengan kanker, mereka mendapat perawatan dan hidupnya masih baik-baik saja. Jadi mari melawan!”
Optimisme perlawanan ia sebarkan setiap tahun dalam peringatan World Cancer Day—sebuah gerakan satu suara memerangi kanker, salah satu tantangan besar dalam sejarah kesehatan dunia. World Cancer Day menjadi pengingat bahwa setiap orang punya peran besar dalam mengurangi dampak global kanker.
Peringatan tersebut mulanya diinisiasi oleh Union for International Cancer Control (UICC). Pada 1999 enam ahli kanker, yakni David Kayat, Peter Harper, James F. Holland, Gabriel N. Horobagyi, Lawrence H. Einhorn, dan Sandra Swain berkumpul di Paris.
Pertemuan itu menguraikan tantangan global kanker serta visi pengentasan penderitaan dan peningkatan produktivitas negara terdampak kanker. Ide besar para ahli kanker itu kemudian dikaji Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dibawa dalam pertemuan di Paris pada 4 Februari 2000, tepat hari ini 20 tahun lalu.
“Di sana para pemimpin negara dan organisasi kanker seluruh dunia menandatangani Charter of Paris Against Cancer,” tulis laman World Cancer Day.
Piagam Paris ditandatangani Direktur Jenderal UNESCO Kōichirō Matsuura dan Presiden Perancis saat itu, Jacques Chirac. Isinya memuat 10 poin komitmen global untuk meningkatkan kualitas hidup pasien kanker melalui penelitian, pencegahan, dan pengobatan kanker.
Pasal X Charter of Paris Against Cancer mencantumkan 4 Februari sebagai peringatan Hari Kanker Dunia. Peringatan 20 tahun World Cancer Day kali ini membawa tema “I Am and I Will”. Kampanye tersebut mengajak setiap orang berkomitmen mengurangi sepertiga jumlah kematian dini akibat kanker dan penyakit tidak menular pada 2030.
Mimpi Buruk Dunia
Kematian akibat kanker mulai terdokumentasi sejak masa Yunani kuno. Mumi dari masa itu terdeteksi mengalami pertumbuhan sugestif dari kanker tulang yang disebut osteosarcoma dan kerusakan tulang tengkorak.
Papirus Edwin Smith yang ditulis sekitar 3000 SM mendeskripsikan sebuah penyakit yang ciri-cirinya menjurus kepada kanker. Catatan tersebut menunjukkan upaya pengangkatan tumor payudara dengan alat yang disebut fire drill.
Meski upaya-upaya pengobatan kanker sudah banyak dilakukan, selama ribuan tahun penyakit ini belum memiliki nama hingga seorang dokter Yunani kuno bernama Hippocrates (460-370 SM) menggunakan istilah karsinoid dan karsinoma untuk menggambarkan penyakit tersebut. Dalam bahasa Yunani, istilah itu merujuk pada kepiting dan akhirnya diterjemahkan dalam bahasa Latin menjadi cancer.
Secara global jumlah kasus kanker setiap tahun terus meningkat. Pada 1990 jumlah kasus baru terdiagnosis 8,1 juta. Kemudian angka ini melesat menjadi 14,1 juta di tahun 2012. Data terbaru dari Globocan menyebutkan di tahun 2018 terdapat 18,1 juta kasus kanker baru.
Kasus kematian akibat kanker tak kalah mengerikan, di tahun 1990 angkanya mencapai 5,2 juta orang. Jumlah tersebut naik 8,2 juta orang di tahun 2012, dan menjadi 9,6 juta kematian pada 2018. Statistik terakhir, jika disederhanakan angka kematiannya, menimpa 1 dari 8 laki-laki dan 1 dari 11 perempuan.
“Angka kejadian kanker menimpa satu dari lima laki-laki dan satu dari enam perempuan di dunia,” ungkap Globocan.
Berdasarkan data dari Cancer Statistics 2019, jenis kanker paling mematikan pada pria adalah kanker paru (24 persen) dan prostat (10 persen). Sementara pada perempuan jenis kanker dengan tingkat kematian tertinggi ada pada kelompok kanker paru (23 persen) dan payudara (15 persen).
Insiden kanker baru di semua negara memang meningkat. Tapi yang membuat miris dari fakta tersebut adalah jumlah kematian sebagian besar (72 persen) terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Negara-negara itu tidak memiliki atau terbatas dalam teknologi dan sumber daya pengendalian kanker.
Di negara-negara dengan pendapatan tinggi, tingkat kelangsungan hidup penyintas berangsur membaik. Kondisi tersebut tercapai lantaran kanker terdeteksi sejak dini dan diobati dengan tepat. Sebaliknya, kasus baru dan angka kematian meningkat signifikan di negara-negara kurang makmur.
Angka kejadian penyakit kanker di Indonesia (136.2/100.000 penduduk), misalnya, menduduki posisi 8 di Asia Tenggara dan urutan ke-23 di Asia. Menurut data Riskesdas, prevalensi tumor/kanker di Indonesia menunjukkan peningkatan dari 1,4 per 1.000 penduduk di tahun 2013 menjadi 1,79 per 1.000 penduduk pada 2018.
Prevalensi kanker tertinggi berada di Provinsi Yogyakarta (4,86 per 1.000 penduduk), diikuti Sumatra Barat (2,47 per 1.000), dan Gorontalo (2,44 per 1.000).
Di seluruh dunia, sejak awal abad ke-21, kanker telah menelan nyawa hampir sebanyak korban jiwa pada Perang Dunia II, perang paling mematikan dalam sejarah dunia. Jika kejadian kanker terus tumbuh pada tingkat yang dilaporkan, WHO memprediksi jumlah kematian di seluruh dunia akibat kanker akan meningkat menjadi lebih dari 13,1 juta pada 2030.
Upaya Melawan Kanker
Hingga saat ini obat penyembuh kanker memang belum ditemukan. Tapi seperti kata Koirala, berkat kemajuan ilmu kesehatan kualitas hidup penyintas kanker terus meningkat. Menurut WHO, sebanyak 40 persen angka kematian akibat kanker juga bisa dicegah.
Caranya dengan mengurangi konsumsi tembakau, alkohol, dan paparan karsinogen; melaksanakan program vaksinasi; melakukan diet sehat; serta rutin beraktivitas fisik. Dalam banyak kasus, kanker dapat disembuhkan ketika terdeteksi dini dan diobati dengan tepat.
Perkembangan teknologi terapi kanker yang dimulai pada 1809 sudah mengupayakan peningkatan harapan hidup bagi pasien. Saat itu para dokter biasa melakukan tindakan bedah (operasi) untuk mengambil sel kanker. Kemudian sejak 1896 terapi kanker berkembang menjadi tindakan radiasi (radioterapi).
Kemoterapi mulai diperkenalkan menjadi tindakan medis di tahun 1940-an dan masih dilakukan hingga kini. Lalu, pada 1990-an, evolusi pengobatan kanker sampai pada tindakan terapi target guna memblok sel kanker agar tidak berkembang. Tahun 2000-an metode imunoterapi mulai diperkenalkan sebagai tata laksana medis teranyar untuk kanker.
Bahkan pasien dengan kanker stadium lanjut juga bisa menikmati kualitas hidup yang baik dan mendapat perawatan paliatif untuk meminimalisasi rasa sakit. Kiwari, penggunaan morfin sudah banyak digunakan di Eropa dan Amerika untuk menekan sakit pada pasien kanker.
Tapi lagi-lagi di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah, akses ke analgesik ini masih rendah atau tidak ada. Di Indonesia, banyak keluarga pasien menolak memberikan morfin dengan alasan larangan agama.
Peringatan World Cancer Day berisi ajakan untuk bersama melawan kanker. Tak hanya bagi penyintas dan tenaga kesehatan, tapi semua orang. Agar tak ada lagi penyintas yang harus telat mendapat penanganan lantaran lebih dulu pergi ke pengobatan alternatif. Agar mereka bisa meninggalkan dunia dengan bermartabat, tanpa erangan kesakitan akibat ditolak mendapatkan morfin. Agar tak ada hidup terdampak kanker yang melayang lantaran tidak punya akses vaksin memadai.
Editor: Ivan Aulia Ahsan