Menuju konten utama

Sejarah Tanah Merah Dekat Depo Plumpang & Awal Mula Sengketa

Sejarah berdirinya Tanah Merah serta awal mula sengketa tanah warga setempat diperkirakan telah berlangsung sejak tahun 1960-an.

Sejarah Tanah Merah Dekat Depo Plumpang & Awal Mula Sengketa
Foto udara permukiman penduduk yang hangus terbakar dampak kebakaran Depo Pertamina Plumpang di Jalan Koramil, Rawa Badak Selatan, Koja, Jakarta, Sabtu (4/3/2023). Kejadian tersebut merenggut 14 nyawa warga dan melukai puluhan lainnya. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/foc.

tirto.id - Kawasan Tanah Merah, Jakarta Utara menjadi lokasi yang terdampak langsung kebakaran pipa bahan bakar minyak (BBM) Depo Pertamina Plumpang.

Kebakaran hebat yang terjadi pada Jumat (4/3/2023) malam itu menyebabkan 19 orang tewas, 49 orang luka-luka, dan ribuan orang terpaksa mengungsi.

Sebagian besar korban yang terdampak merupakan warga yang bermukim di kawasan Tanah Merah. Lokasinya sendiri sangat dekat dengan Depo Pertamina yang hanya dipisahkan jajaran tembok beton.

Pada saat kejadian, api muncul dari pipa penyalur BBM di Depo Plumpang dan dengan cepat berkobar. Tidak butuh waktu lama untuk api menyambar rumah-rumah warga yang berada di dekatnya.

Hal ini kemudian memicu kebakaran semakin besar, karena api menyebar dengan cepat di pemukiman padat penduduk. Api baru bisa dipadamkan pada Sabtu (5/3/2023) dini hari sekitar pukul 02.20 WIB.

Sejarah Kawasan Tanah Merah & Awal Mula Sengketa

Dikutip dari Antara, kawasan Tanah Merah dipercaya sudah dihuni beberapa warga sejak tahun 1960-an dan menjadi awal mula sengketa tanah.

Ribuan warga yang bermukim di Tanah Merah kesulitan mendapat surat kepemillikan lahan, karena lahan tersebut memang dilarang untuk dihuni. Akibatnya, banyak warga yang tinggal secara ilegal di wilayah tersebut.

Kawasan pemukiman Tanah Merah sendiri berada di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Koja dan Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Kawasannya diapit oleh Depo Pertamina Plumpang dan sebuah kompleks perumahan mewah.

Sepanjang tahun 1960-an hingga 1990-an warga Tanah Merah sering mengalami pembebasan lahan. Area lahan yang digusur ditimpa dengan tanah merah, sehingga kini kata 'tanah merah' dipakai sebagai nama kawasan tersebut.

Satu dekade sejak awal mula pembebasan lahan pertama, tepatnya pada 1974 perusahaan PT Pertamina (Persero) mendirikan terminal tangki BBM yang kini dikenal sebagai Depo Pertamina Plumpang.

Depo Pertamina Plumpang dibangun di atas tanah seluas 14 hektare. Lahan di sekeliling depo yang sebelumnya telah dibebaskan, kembali didatangi warga dan dibangun pemukiman-pemukiman semi permanen.

Sementara itu, tidak jauh dari lokasi dibangun sebuah kawasan perumahan. Akibatnya, persoalan mengenai hak kepemilikan tanah di kawasan Tanah Merah semakin sulit ditentukan.

Warga yang bermukim di Tanah Merah tidak memiliki legalitas izin tinggal, sehingga juga sulit mengurus administrasi sebagai warga DKI Jakarta. Hal ini menyebabkan warga kesulitan mengakses layanan publik seperti air bersih dan listrik.

Di sisi lain, sulit memberikan izin tinggal kepada warga karena lahan tersebut seharusnya kosong karena termasuk zona berbahaya.

Upaya relokasi telah beberapa kali dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Tidak lama setelah peristiwa kebakaran Depo Plumpang 2009, Gubernur DKI Jakarta yang menjabat saat itu, Fauzi Bowo mencoba berdialog kepada warga Tanah Merah untuk mau direlokasi.

Sayangnya, upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Kemudian, di masa Gubernur Joko Widodo dan digantikan Basuki Tjahja Purnama (Ahok), sengketa lahan Tanah Merah juga tak kunjung diselesaikan.

Saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi menyebutkan pemerintah daerah saat itu mengusulkan buffer zone atau zona penyangga di sekitar Depo Pertamina Plumpang.

Kemudian pada 2014, jelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta baru, Anies Baswedan menandatangani kontrak politik dengan warga untuk memberikan izin tinggal di wilayah tersebut.

Setelah terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta, Anies menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sementara untuk warga Tanah Merah.

Menurut Anies penerbitan IMB tersebut dilakukan sebagai jalan tengah yang diambil untuk menyelesaikan masalah bangunan yang status legalnya belum tuntas.

Solusi Pemerintah Mengatasi Sengketa Tanah Merah

Menyusul tragedi kebakaran yang menewaskan belasan warga pada Jumat lalu, memaksa pemerintah harus segera menyelesaikan permasalahan sengketa lahan.

Solusi yang disorot saat ini ada dua, pertama adalah PT Pertamina memindahkan Depo atau solusi kedua pemerintah merelokasi warga Tanah Merah ke kawasan yang lebih aman.

Wakil Presiden Ma'ruf Amin sebelumnya menegaskan bahwa penataan kembali kawasan Depo Pertamina Plumpang harus dilakukan. Ini termasuk alternatif memindahan depo ke daerah pelabuhan Tanjuk Priok.

"Saya berharap supaya depo ini lebih aman, itu bisa direlokasi di daerah pelabuhan, di daerah Pelindo," kata Ma'ruf saat kunjungannya ke lokasi kebakaran Depo Pertamina Plumpang, Sabtu (4/3/2023) seperti dalam rilis Wapres RI.

Sementara itu, anggota DPRD DKI Jakarta, Gilbert Simanjuntak mengusulkan supaya masyarakat yang tinggal di kawasan Tanah Merah direlokasi di rumah susun (rusun).

"Lebih baik masyarakat sekitar direlokasi ke rusunawa atau rusunami, dan membatasi pemukiman dengan jarak tertentu sesuai peraturan," kata Gilbert dalam keterangan tertulisnya dikutip Minggu (5/3/2023).

Sementara itu, saat ini Presiden Jokowi meminta Menteri BUMN Erick Thohir untuk mengkaji sistem pengamanan Depo Pertamina Plumpang. Kendati demikian, solusi apakah penduduk atau Depo Plumpang yang akan direlokasi belum secara jelas ditentukan.

"Saya sudah perintahkan Menteri BUMN dan Gubernur DKI segera mencarikan solusi kejadian di Plumpang, terutama, karena ini zona yang bahaya. Tidak bisa lagi ditinggali, tetapi harus ada solusinya. Bisa saja Plumpang-nya digeser ke reklamasi atau penduduknya yang digeser ke relokasi," kata Jokowi seperti yang dikutip dari Antara.

Baca juga artikel terkait TANAH MERAH atau tulisan lainnya dari Yonada Nancy

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Iswara N Raditya