Menuju konten utama

Sejarah Perang Saudara di Sri Lanka Sebelum Ledakan Minggu Paskah

Perang saudara menjadi salah satu sejarah kelam di Sri Lanka yang berlangsung selama hampir 30 tahun.

Sejarah Perang Saudara di Sri Lanka Sebelum Ledakan Minggu Paskah
Polisi berjaga di daerah sekitar gereja St. Anthony setelah ledakan di Kolombo, Sri Lanka, Minggu, 21 April 2019. AP Photo/Eranga Jayawardena

tirto.id - Serangkaian ledakan bom yang menghantam gereja dan hotel mewah di Sri Lanka pada Minggu (21/4/2019), menuai berbagai kecaman dari segala penjuru dunia.

Jumlah korban tewas dalam serangan tersebut meningkat tajam menjadi 290 orang, sementara korban luka-luka mencapai sekitar 500 orang, kata kepolisian, Senin (22/4/2018).

Banyak yang menyalahkan ekstrimis agama atas kejadian itu, dan mengingatkan perang saudara yang terjadi 26 tahun lalu di negara itu.

Melansir dari AP News, hal yang dikaitkan dengan tragedi tersebut adalah perbedaan etnis dan agama.

Lalu sebenarnya bagaimana sejarah perang dan perbedaan etnis yang terjadi di negara tersebut?

Tahun Perang

Sri Lanka adalah negara dengan sekitar 23 juta orang penduduk, yang didominasi selama beberapa dekade oleh perbedaan tajam antara mayoritas Sinhala yang beragama Buddha, dan minoritas Tamil, yang beragama Hindu, Muslim dan Kristen.

Perlakuan buruk terhadap orang-orang Tamil membantu memelihara pertumbuhan separatis bersenjata dan menyebabkan perang saudara yang berlangsung selama hampir 30 tahun, dengan para pejuang Macan Tamil akhirnya menciptakan tanah air yang mandiri secara de facto di utara negara itu.

Macan dihancurkan dalam serangan pemerintah tahun 2009, dan beberapa pengamat percaya bahwa puluhan ribu orang Tamil tewas dalam beberapa bulan terakhir yang berperang sendirian.

Perpecahan Agama

Tidak ada sejarah militan Muslim yang kejam di Sri Lanka. Namun, setelah perang saudara berakhir, perpecahan kembali terjadi dengan para biarawan Buddha garis keras.

Mereka mengerahkan orang-orang Sri Lanka untuk menentang apa yang mereka katakan sebagai ancaman berbahaya: Muslim, yang jumlahnya sekitar 10 persen dari populasi.

Para pemimpin nasionalis Buddhis dan laporan media sosial palsu menuduh orang-orang Muslim merekrut anak-anak, berusaha menumbuhkan pangkat mereka dengan menikahi wanita-wanita Buddha dan menyerang tempat-tempat suci umat Buddha.

Ekonomi kota kecil juga memainkan peran penting, karena Muslim memiliki banyak toko kecil di negara itu.

Adapun minoritas kecil Kristen di negara itu: Sementara ada insiden pelecehan anti-Kristen yang tersebar dalam beberapa tahun terakhir, namun belum diketahui apakah ada hubungannya dengan tragedi yang terjadi pada Minggu kemarin.

Perang Media Sosial

Pada tahun 2018, kekerasan anti-Muslim berkobar di Sri Lanka tengah, dipicu oleh desas-desus yang tersebar di media sosial tentang serangan terhadap umat Buddha.

Dengan adanya desas-desus itu, massa dari umat Buddha tersulut emosinya dan menyapu kota-kota kecil, menyerang masjid dan toko-toko kecil milik umat Muslim.

Pemerintah secara singkat mengumumkan keadaan darurat dan memerintahkan jaringan media sosial populer seperti Facebook, Viber dan WhatsApp, untuk diblokir sementara waktu untuk menghentikan peyebaran konten yang bisa memprovokasi.

Situs media sosial pun akhirnya mendapat pemblokiran sementara lagi setelah kejadian tragedi bom hari Minggu kemarin, dengan pemerintah mengatakan, hal itu dilakukan untuk mengurangi ketegangan dan mengurangi rumor yang bisa memperkeruh suasana.

Serangan yang terjadi bertepatan dengan Paskah tersebut merupakan serangan mematikan yang terlihat pertama kalinya di Kepulauan Asia Selatan setelah berakhirnya perang sipil sepuluh tahun lalu.

Sejumlah warga Sri Lanka masih trauma dengan perang satu dekade lalu, meskipun di kawasan Colombo, tempat terjadinya ledakan tersebut tidak begitu terdampak perang sipil, tetapi saat ini kekhawatiran warga Sri Lanka kembali muncul.

Korban mayoritas warga asli Sri Lanka dan 27 warga asing. Menteri Luar Negeri Sri Lanka mengatakan 3 orang korban adalah orang India, satu Portugis, dua Turki, dan tiga berkebangsaan Inggris. Ada dua korban yang memiliki identitas ganda, Inggris dan Amerika Serikat.

Seorang Belanda juga dilaporkan termasuk sebagai korban. Menurut Aljazeera, 13 orang terduga pelaku telah ditangkap aparat kepolisian, dan investigasi sedang dilakukan.

Sementara itu, masyarakat dunia diminta tidak mengaitkan aksi peledakan bom di hotel dan gereja di Sri Lanka dengan agama para pelakunya.

"Ini jelas-jelas merupakan perbuatan tercela dan tidak beradab serta harus ditindak dan dihentikan. Jangan dikaitkan dengan agama pelakunya agar masalah tidak melebar kemana-mana," kata Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas di Jakarta, dikutip dari Antara, Senin (22/4/2019).

Anwar mengatakan MUI mengutuk keras peledakan bom tersebut, yang menewaskan sekitar 200 orang dan menyebabkan setidaknya 450 orang terluka.

"MUI menyampaikan belasungkawa kepada para keluarga korban, agar mereka tetap tabah dan sabar menghadapi cobaan ini," tambah dia.

MUI berharap aparat kepolisian setempat bisa secepatnya mengungkap dan menangkap para pelaku tindakan tidak berperikemanusiaan tersebut dan menyeret mereka ke pengadilan supaya bisa diadili dan dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya.

Baca juga artikel terkait BOM DI SRI LANKA atau tulisan lainnya dari Irsandy Dwi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irsandy Dwi
Editor: Yandri Daniel Damaledo