tirto.id - Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Amerika Serikat dan Uni Soviet membagi Semenanjung Korea menjadi dua zona. Wilayah selatan berada di bawah pengaruh AS dan utara dikuasai Uni Soviet.
Tahun 1948, wilayah selatan mendeklarasikan berdirinya Republic of Korea yang dipimpim oleh Syngman Rhee yang sangat anti-komunis. Sementara di wilayah utara, Uni Soviet memilih seorang gerilyawan muda komunis Kim Il-sung untuk mendeklarasikan berdirinya Democratic People's Republic of Korea (DPRK).
Pada 9 September 1948, tepat hari ini 72 tahun silam, Korea Utara berdiri. Pemerintah Korea Utara saat itu berbentuk Federasi yang terdiri atas berbagai fraksi. Sementara Kim Il-sung menjadi perdana menteri.
Akhir 1972, Kim terpilih sebagai presiden Korea Utara. Oleh warga Korea Utara ia dikenal sebagai Great Leader. Sementara dunia mengenalnya sebagai presiden abadi dan diktator. Kim Il-sung meninggal tahun 1994 dan posisinya digantikan oleh anaknya Kim Jong-il.
Dari Rakyat Jelata hingga Perdana Menteri
Kim Il-sung yang paling dihormati dari Dinasti Kim, dianggap memainkan peran kunci dalam kemerdekaan Korea. Dalam sejarah yang dibangun pemerintah, Kim adalah pahlawan yang berhasil membebaskan Korea dari jajahan Jepang (Korea dijajah Jepang dari 1910-1945).
Kim Il-sung lahir pada 5 April 1912 di Mangyondae, dekat Pyongyang. Ayahnya seorang guru dan penatua di gereja. Pada 1920, Kim dan keluarganya mengungsi ke Manchuria untuk menghindari Jepang dan kelaparan. Manchuria berada di timur laut Tiongkok dekat perbatasan Soviet dan Korea.
Ada yang menyebut nama aslinya Kim Song-ju, ada juga yang mencatat Kim Sung-kye. Siapapun nama aslinya, Kim mulai bergabung dengan pasukan gerilya melawan Jepang pada 1935 saat ia berusia 23 tahun.
Salah satu momen terbesar Kim yang dicatat dalam sejarah Korea adalah saat 200 pasukan yang ia pimpin berhasil merebut sebuah kota kecil yang dikuasai Jepang, sekitar Juni 1937. Namun pada 1940, tentara Jepang memukul mundur Kim dan pasukannya. Kim Il-sung terpaksa menyeberangi Sungai Amur menuju Uni Soviet.
Di negara itu, Kim ditempatkan di pangkalan militer Soviet dekat Khabarovsk. Ia dilatih khusus oleh Soviet menjadi kapten di Red Army. Menurut Britannica, Red Army merupakan tentara Soviet yang diciptakan Leon Trotsky setelah Revolusi Bolshevik tahun 1917.
Red Army juga merekrut petani dan buruh untuk mengikuti wajib militer. Unit pertama Red Army bertempur melawan Jerman di Narva dan Pskov pada Februari 1918. Red Army terus berkembang hingga menjadi salah satu pasukan andalan Soviet.
Pada 1945, Red Army memanfaatkan kekalahan Jepang dengan menginvasi Manchuria. Dari Manchuria, pasukan ini bergerak ke wilayah utara Semenanjung Korea. Dan kota Pyongyang akhirnya dikuasai Red Army.
Setelah Jepang meninggalkan Korea, Soviet mulai membahas calon potensial untuk memimpin Korea Utara. Letnan Kolonel Grigoriy Mekler menerima perintah untuk menemui Kim Il-sung, berbicara dengannya, dan melapor kepada Marsekal Kirill Meretskov.
Kim memberi Mekler kesan yang sangat positif, yang kemudian direfleksikan oleh Letnan Kolonel tersebut dalam laporannya. Laporan Mekler memainkan peran besar dalam proses berkuasanya Kim di Korea Utara.
Menurut sejarawan Rusia, Gavriil Korotkov, setelah kekalahan Jepang, Red Army menyusun laporan untuk diajukan kepada Joseph Stalin (pemimpin Uni Soviet). Laporan itu terkait rekomendasi lima jenis kandidat potensial pemimpin Korea Utara, yakni mantan pekerja Komintern, nasionalis Korea di Cina, nasionalis Korea di Korea, campuran Soviet Korea, dan mantan partisan anti-Jepang. Salah satu kandidat tentunya Kim Il-sung.
Sembari menunggu keputusan Stalin, Red Army mempersiapkan beberapa kandidat cadangan. Namun Stalin cepat memberi keputusan dengan memilih Kim Il-sung. Awalnya Kim belum mengetahui apa yang akan dia lakukan di Korea Utara, hingga saat dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dan berbicara di depan ribuan warga di Pyongyang 14 Oktober 1945, saat itu ia mulai menikmati kekuasaan yang ia dapatkan dari Soviet.
Berkat dukungan Soviet, Kim memegang kekuatan politik, menguasai posisi strategis hingga memperkokoh posisinya dengan memimpin Partai Butuh Korea Utara pada 1946. Kim juga menjadi ketua sidang Panitia Rakyak Korea Utara yang nantinya menjadi Badan Administratif di 5 provinsi.
Pada pertemuan pertama Sidang Rakyat Tertinggi yang digelar mulai 2 September 1948, rancangan konstitusi nasional diresmikan dan pengumuman pendirian Republik Rakyat Demokrasi Korea yang diketuai Kim Il-sung pada 9 September 1948.
Tyler Lutz dalam tulisannya Cult of Personality: North Korea under Kim Il-sung mengatakan, Kim Il-sung mampu berkuasa di Korea Utara karena kombinasi dari pengaruh asing, manipulasi politik yang cerdik, dan sedikit keberuntungan daripada “perjuangan revolusioner”, seperti yang digaungkan media pemerintah Korea Utara.
Sejumlah pihak meyakini Kim Il-sung lebih banyak menghabiskan waktunya di kamp militer Soviet, berlatih dengan Soviet ketimbang berperang melawan Jepang. Kisah perjuangan Kim dianggap hasil propaganda.
Bradley Martin, penulis biografi keluarga Kim, meyakini ia pertama kali berperang melawan Jepang di Manchuria, tetapi tidak terlibat dalam perjuangan pembebasan Korea.
"Orang Korea Utara saat ini tak ingin mengakui bahwa dia (Kim Il-sung) tidak ikut dalam perang, dan kenyataannya dia mengenakan seragam Soviet dan dilatih oleh Soviet," kata Martin.
Menjelma Diktator
Yong-Pyo Hong dalam tulisannya North Korea in the 1950s: The Post Korean War Policies and Their Implications menyebut, ada tiga hal yang dilakukan Kim pasca Perang Korea: membangun kembali basis politik, merekonstruksi sistem ekonomi, dan memperkuat militer. Semua dalam kendalinya.
Menurut laporan intelijen AS, Kim Il-sung membangun kembali Partai Buruh yang hancur saat Perang Korea dengan melakukan pelatihan dan pendidikan kembali bagi pejabat partai. Sementara Inggris melihat Kim tak sekadar melakukan pelatihan, tetapi ada upaya indoktrinasi politik untuk menumbuhkan ideologi komunis dalam rangka meningkatkan cengkeraman komunisme di Korea Utara.
Rezim Kim juga mencoba memperbesar massa Partai Buruh. Ia mengorganisasi massa di bawah kendali ketatnya. Jumlah anggota partai meningkat dari 725.762 pada akhir Perang Korea menjadi 1.164.945, atau sekitar 12 persen dari total populasi Korea Utara pada tahun 1956.
Kim menyingkirkan faksi lain, lawan politik, dan anggota Partai Buruh yang mengancam posisi politiknya. Sebagai pemimpin, Kim memastikan hanya ada satu partai politik yang berkuasa di Korea Utara.
Pada sektor militer, Kim tidak berfokus pada memperkuat kemampuan tempur tetapi indoktrinasi politik untuk menanamkan kesetiaan mutlak kepada dirinya dan Partai Buruh. Kim juga menghilangkan faksi dalam militer sehingga menghasilkan militer yang loyal. Semua tunduk kepadanya.
Kim juga memperkenalkan filosofi Juche yang kemudian diresmikan sebagai ideologi Korea Utara dengan mengusung semangat Chaju (penentuan nasib sendiri), Charip (kemandirian ekonomi), dan Chawi (menjaga kedaulatan negara).
Tak hanya itu, Kim juga membangun kultus pribadi yang menjadi bagian dalam sistem propagandanya. Foto dirinya wajib dipasang di setiap rumah penduduk. Hari lahirnya menjadi hari libur nasional dan disebut Day of the Sun.
"Tingkat pemujaan dan penghormatan kepada keluarga Kim melampaui apa yang dilakukan kepada kaisar-kaisar kuno di manapun," kata Tyler Lutz.
"Sekte keluarga Kim menyebar dalam kehidupan setiap orang di Korea Utara. Kemanapun mereka pergi, mereka akan diingatkan akan kebesaran pemimpinnya dan semua hal menakjubkan yang ia lakukan untuk rakyat," imbuhnya.
Warga juga selalu diingatkan akan teror yang ada di luar Korea Utara, kekuatan imperialis Jepang dan Amerika Serikat yang dapat menghancurkan hidup mereka. Kultus pribadi ini membuat semua perkataan dan tindakan Kim seperti sabda dalam kitab suci, wajib dilakukan.
Stalin mungkin tidak pernah membayangkan bahwa orang yang dia anugerahkan sebuah negara akan menciptakan dinasti kekuasaan yang telah berlangsung lebih dari 70 tahun. Korea Utara menjelma menjadi negara dengan satu partai, kekuasaan tunggal, dan bisa diwariskan.
Editor: Irfan Teguh Pribadi