tirto.id - Koesyono adalah anak Koeswoyo--seorang amtenar asal Tuban yang bekerja di Departemen Dalam Negeri--yang ikut pindah bersama keluarganya ke Jakarta pada 1952. Saat itu, bocah yang biasa dipanggil Yon ini umurnya sekitar 12 tahun.
Menurut pengakuannya dalam Panggung Kehidupan Yon Koeswoyo (2005: 28-31), ketika kecil dia cengeng dan sakit-sakitan. Menonton film India Boot Polish (1954), yang ceritanya sedih saja dia menangis. Yon remaja adalah pemuda yang payah dalam urusan akademis di sekolah. Dia berhasil lulus SMP, tapi sulit diterima di SMA Negeri. Yon mengaku dia lemah dan labil di masa SMA-nya. Lulus SMA bukan hal mudah baginya.
“Ujian kedua kalinya aku tidak lulus lagi. Akhirnya aku putus asa dan berhenti belajar sampai dua tahun. Aku merasa frustasi,” ujarnya dalam Panggung Kehidupan Yon Koeswoyo (2005: 35). Beruntunglah dia punya kakak macam Tonny Koeswoyo. Waktu luang Yon pun diisi dengan main gitar dan bernyanyi. Dimulai dengan lagu-lagu sederhana. Tak peduli jari-jarinya bengkak.
Jika Tonny dikenal dalam band dengan peran sebagai pemimpin dan pencipta banyak lagu, Yon lebih sering berperan sebagai penyanyi, sambil bermain gitar pengiring. Baik sejak di Koes Bersaudara maupun Koes Plus. Sedari awal, Yon dilatih oleh Tonny untuk menyanyi bersama Koesroyo alias Yok.
“Ia melatih saya dan Yok bernyanyi dari jam 09.00 pagi sampai 03.00 pagi. Sampai suara saya ini mau habis,” tutur Yon Koeswoyo dalam Koes Plus: Dari Pagi yang Indah Hingga Menjelang Senja (2000: 52) yang disusun Jacky Chauzaky dkk. Yon ingat, "sampai-sampai mulai mengangkat nafas dan mengeluarkan nafas pun saya dan Yok harus sama."
Tonny hendak menjadikan duet Yon dan Yok mirip Everly Brothers, band yang kondang di akhir dekade 1950-an. Tonny berharap dan berjuang agar Yok dan Yon mirip Isaac Donald "Don" Everly dan Phillip "Phil" Everly—duet ala Everly Brothers harus kompak.
Bermula dari Pesta ke Pesta
Tonny juga tidak main-main dalam bermusik bersama adik-adiknya. Yon dan Yok akhirnya menyanyikan lagu-lagu ciptaan Tonny untuk direkam. “Sebelum direkam, aku dan adikku, Yok, harus latihan vokal mati-matian sambil memetik gitar pengiring sampai sempurna,” kata Yon. Ia pun terseret ke dunia anak band era 1960-an.
Ayah mereka, Koeswoyo senior, tak senang. Sang ayah hanya membolehkan main musik untuk bersenang-senang agar tidak jadi anak-anak Cross Boy. Anak-anak Koeswoyo itu, menurut Denny Sakrie dalam 100 Tahun Musik Indonesia (2015: 74-75), sudah manggung dari pesta ke pesta pada awal 1960-an. Entah pesta kawinan atau sunatan. Mereka memakai nama Koes Bros—dari kata Koes Brothers yang terkesan kebarat-baratan seperti Everly Brothers. Nama Koes Bros belakangan diganti menjadi Koes Bersaudara.
Menurut Danny Sakrie, titik cerah anak-anak Koeswoyo terlihat di tahun 1962 ketika pemilik Irama Record, Soejoso Karsono, bersedia merekam lagu-lagu mereka dan Jack Lesmana menjadi supervisornya.
Di sampul album pertama mereka ditulis: “Kalau seandainya dalam penyajian musik saya, Saudara menemukan pengaruh-pengaruh dari penyanyi Barat terkenal seperti Kalin Twin dan Everly Brothers, atau barangkali asosiasi saudara dalam mendengar musik kami tertuju ke arah mereka, itu tidak kami sangkal dan salahkan mereka karena memang merekalah yang mengilhami kami.”
Anak-anak Koeswoyo itu tak langsung kaya raya. Di masa kepresidenan Sukarno, tak semua orang suka lagu-lagu mereka. Meski demikian, mereka tetap main dari panggung ke panggung.
Pada tahun 1965, ketika sentimen anti-Barat sedang merebak, Yon juga bernasib seperti saudara-saudaranya: masuk penjara. Mereka dianggap membawakan lagu-lagu bernuansa Barat yang dicap sebagai musik "ngak-ngik-ngok". Koes Bersaudara macet di pengujung kekuasaan Sukarno. Nomo yang doyan bisnis cabut dari band. Koes Bersaudara pun vakum. Mereka tak punya pemain drum.
Vakumnya Koes Bersaudara membuat Tonny pusing. Pemain drum pun dicari. Yon kebetulan diberitahu Tommy Darmo, yang punya kawan asal Surabaya yang bisa main drum. Namanya Kasmuri alias Murry. Dia pernah bermain di Patas Band. Dan ketika itu Murry tinggal di Cikini. Murry pun dites oleh Tonny untuk mengiringi beberapa lagu.
Pukulan drum Tommy yang lebih keras ketimbang Nomo membuat personil Koes Bersaudara yang tersisa terperangah. “Murry waktu itu benar-benar hebat," kata Yon dalam Koes Plus: Dari Pagi yang Indah Hingga Menjelang Senja (2000: 17). Murry masuk, nama band ganti lagi menjadi Koes Plus. Nama Koes Plus muncul setelah Tonny secara tak sengaja melihat reklame obat sakit kepala APC Plus. Kebetulan mereka pernah mengalami pusing ketika mencari pengganti Nomo.
Sebelum rekaman lagi, latihan panjang dilakukan. Album pertama mereka sangat legendaris, tapi tak begitu meledak ketika dirilis: Dheg Dheg Plas (1969). Padahal ada "Manis dan Sayang", "Derita", "Cintamu Tlah Berlalu", juga "Kembali Ke Jakarta"di album tersebut. Tonny dan adik-adiknya tidak banyak berubah. Mereka tak hanya terlihat seperti Everly Brothers atau Kalin Twin, kadang juga seperti The Beatles.
Legenda Musik Pop Indonesia
Suara vokal Yon Koeswoyo tetap dominan di banyak lagu. Ia bernyanyi sambil bermain gitar pengiring. Dalam beberapa lagu, Yok yang bermain bass ikut menjadi penyanyi latar bersama Tonny. Namun dalam "Maria"—lagu untuk mengenang istri Yok yang meninggal karena kecelakaan mobil yang dikendarai Yon—Yok bernyanyi. Sementara Murry bernyanyi dalam lagu "Mobil Tua".
Seperti yang lain, Yon ikut berkontribusi menulis lagu pada 1970-an—ketika Koes Plus menjadi band rekaman yang dalam setahun bisa menghasilkan dua album. Dominasi suara Yon sama pentingnya dengan kepemimpinan Tonny di band. Suara Yon sangat familier di telinga para penggemar Koes Plus.
Setelah Tonny Koeswoyo meninggal dunia pada 27 Maret 1986, Koes Plus tak sejaya tahun 1970-an. Meski Koes Plus sudah jadi legenda musik pop Indonesia, Yon tetap nge-band dan masih bernyanyi sambil bergitar. Kadang dengan Murry di drum, tapi Yok tak banyak muncul lagi. Nama Koes Plus juga tetap dipakai.
Nama besar seperti Abadi Soesman pernah ikut memperkuat Koes Plus. Setelah Murry meninggal, ketika Yon semakin tua, Koes Plus tetap manggung. Berkali-kali Yon terlihat manggung di acara televisi. Dia masih bernyanyi sambil menenteng gitarnya.
Yon terus bernyanyi, seperti yang dilatihkan Tonny ketika remaja, hingga tua. Dia menjadi satu-satunya personil Koes Plus yang tersisa hingga 5 Januari 2018. Setelah kematiannya, Koes Plus tak mungkin lagi manggung atau rekaman. Tanpa suara Yon, Koes Plus tinggal legenda.
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 6 Januari 2018. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Irfan Teguh Pribadi