tirto.id - Ini kisah yang dituturkan berulang kali sehingga sudah menjadi semacam pengetahuan umum, sama seperti nama ibu kota negara, atau mata uang negara, yang diajarkan ketika kita masih duduk di sekolah dasar.
Brian Harold May masuk ke Hampton Grammar School di usia remaja, saat sedang jatuh cinta pada gitar. Namun di sekolah itu, semua murid dilarang memainkan gitar. Yang wajib didengar adalah musik klasik. Mau tak mau, suka tak suka, Brian wajib dengar karena nanti ada semacam diskusi. Para murid akan memberikan pendapat tentang musik klasik yang mereka dengar.
"Aku sudah berkawan dengan musik sejak masih amat belia, tapi musik di sekolah bukanlah pengalaman bagus buatku: kami dipaksa mendengar musik klasik," kata Brian.
Brian murid cerdas di sekolah. Dia mendapat tiga nilai A untuk mata pelajaran Fisika, Matematika, dan Matematika Terapan. Angka bagus itu mendorong Brian untuk belajar Matematika dan Fisika di Imperial College London. Bidang kesukaannya adalah astronomi, yang memang ia sukai sejak kecil. Di usia 7 tahun, ia dan ayahnya membuat teleskop, nyaris bersamaan dengan waktu ia mendapatkan gitar pertamanya.
Kecintaannya pada musik dan astronomi terus berjalan bersamaan. Bedanya, ia bermain musik informal alias amatir alias belum bisa mendapat uang. Sedangkan pendidikannya terus jalan di jalur formal, melaju hingga program doktoral. Brian mengambil topik debu kosmik (stardust) sebagai disertasi.
Empat tahun berjalan. Disertasi sudah selesai. Namun, kata Brian, "Aku berdebat dengan dosen pembimbingku yang berpikir disertasiku bisa lebih baik. Antusiasmeku meluntur." Kebetulan pada 1970, dia bertemu dengan Roger Taylor, Farrokh Bulsara, dan John Deacon (pada 1971). Mereka punya selera musik yang sama, dan membentuk grup band bernama Queen. Merasa memiliki kesamaan visi musikal, mereka lanjut terus. Brian menepikan ambisinya jadi doktor astrofisika untuk berkarir bersama Queen.
"Melepaskan karir akademik untuk musik adalah hal berisiko tinggi di tahun 1972. Tapi sekali pintu terbuka, pilihannya adalah masuk atau tidak," kata Brian pada Independent.
Pilihan Bryan tak salah. Sekarang kita mengenal Queen sebagai salah satu band terbesar dalam buku suci bernama rock n roll, dan Brian amat sering didapuk sebagai salah satu gitaris paling berpengaruh sepanjang masa.
Dunia Rock yang Penuh Anomali
Brian mengalami pengalaman musik tak menyenangkan di sekolah karena sistem sekolahan yang ketat bin kolot. Mari berandai sesuatu yang buruk: Brian trauma pada musik dan tak mau menyentuh musik, apalagi berkarir dan mencipta musik. Kalau itu terjadi, kita tak akan pernah bisa mendengarkan kudusnya "Bohemian Rhapsody," eksplosifnya "Don't Stop Me Now," dan menggugahnya "We Are the Champion."
Sistem sekolah kolot, terutama di Inggris, memang kerap jadi sasaran kritik para musisi. Pada 1979, Pink Floyd, grup rock asal Inggris merilis "Another Brick in the Wall (Part 2)", sebuah lagu sepanjang 3 menit yang berisi tentang protes keras terhadap sistem pendidikan. Ada beberapa versi video klip lagu yang masuk dalam album The Wall ini.
Salah satu yang paling terkenal adalah cuplikan dari film pendek Pink Floyd The Wall. Isinya penuh dengan wajah murid yang ketakutan, guru dengan penjalin dan berwajah galak dan mempermalukan murid di depan kelas dan takut pada istri yang lebih galak. Film ini memberikan gambaran murid hasil didikan keras sekolah dan asrama di Inggris: sistem yang membuat murid berakhir sebagai "robot" berwajah dingin dan seragam. Hanya jadi batu bata lain dalam tembok. Hanya sekrup dalam sebuah mesin besar bernama kapitalisme.
Roger Waters, pemain bass Pink Floyd, menulis lirik protes yang amat kuat. Kelak di Afrika Selatan, pada 1980, sekelompok demonstran pendukung boikot sekolah yang menerapkan diskriminasi ras, menggunakan lagu ini sebagai anthem. Itulah musabab "Another Brick in the Wall" dan The Wall dilarang beredar di sana.
We don't need no education
We dont need no thought control
No dark sarcasm in the classroom
Teachers leave them kids alone
Lagu ini kemudian melahirkan citra yang memang kerap sukar dibantah: musisi rock benci sekolah. Apalagi setelah Frank Zappa membuat kalimat yang banyak dikutip para pembenci institusi sekolah formal.
"Kalau kamu mau bercinta, pergilah ke kampus. Tapi kalau mau belajar dan dapat pendidikan, pergilah ke perpustakaan."
Karena itu dalam dunia rock, pendidikan dianggap bukan hal penting. Tak banyak bintang rock yang memiliki pencapaian bagus dalam bidang akademik. Sebagian besar dari mereka adalah pembuat onar di sekolah. Sebagian lainnya tak lulus SMA untuk kemudian mengejar karir sebagai musisi.
Namun selalu ada anomali, bahkan di dunia rock sekalipun. Ada segelintir bintang rock yang merasa bahwa di kampus kamu bisa bercinta sekaligus belajar. Atau belajar sekaligus bercinta. Tergantung yang mana prioritasmu. Salah satu kasus yang paling menarik tentu adalah Ralph Saenz. Nama ini asing bagimu? Amat mungkin. Sebab Ralph Saenz adalah nama asli Michael Starr, vokalis band rock-komikal Steel Panther. Nama band ini juga asing? Bisa jadi kamu memang kurang bersenang-senang.
Steel Panther adalah band yang dibentuk tahun 1997 oleh Michael Starr (vokal), Satchel (gitar), Lexxi Foxx (bass), dan Stix Zadinia (drum). Mereka sempat menamakan diri sebagai Metal Shop, lalu jadi Danger Kitty, kemudian jadi Metal Skool, sebelum kemudian menetapkan diri sebagai Steel Panther.
Sesuai aura namanya, band ini memainkan musik heavy metal dengan dandanan ala band hair metal 80-an. Mereka berbasis di Los Angeles, California, memainkan lagu band rock lawas, dan mendapat banyak basis massa, termasuk para pesohor seperti Kat Von D, Dee Snider, Corey Taylor, hingga Miley Cyrus.
Band ini kemudian dikenal lebih luas berkat album kedua, Feel the Steel (2009). Album ini memuat lagu seperti "Asian Hooker," "Fat Girl (Thar She Blows)," "Party All Day (Fuck All Night)," "Stripper Girl," hingga "Death to All But Metal." Iya betul, dilihat dari judulnya saja, Steel Panther adalah tipikal band yang paling dibenci oleh para feminis. Lirik lagu mereka dianggap seksis, rasis, merendahkan perempuan, dan tak jauh-jauh dari seks dengan narasi komedi.
Caroline Sullivan pernah menulis tentang band ini untuk The Guardian. "Semua hal tentang seks yang dimainkan oleh Steel Panther," tulisnya, "seperti bentuk protes berlapis komedi melawan semua political correctness."
Tapi, tulis Caroline lebih lanjut, "mereka terlalu antusias untuk orang yang satir."
Sedangkan Satchel mengatakan bahwa apa yang mereka tulis dan komedikan sejatinya bukan hal baru. Ia memberikan beberapa contoh serial televisi era 70-an seperti All in the Family dan The Jeffersons yang humornya dipenuhi muatan rasisme dan seksualitas.
"Komedi seperti itu tak akan bisa tampil di TV era sekarang. Benar, kita memang tinggal di masyarakat yang amat bebas, kita hidup di era internet yang membebaskanmu mencari informasi apa saja kapan saja. Tapi semakin banyak aturan. Sekarang kamu tak akan bisa ngoceh apapun tanpa diprotes dan diboikot oleh masyarakat. Itu yang membuat kami sangar. Kami menulis lagu dan tak peduli apa kata orang," kata Satchel, pria bernama asli Rush Parrish yang pernah menjadi pengajar di sekolah gitar beken, The Guitar Institute of Technology, Amerika Serikat.
Apa yang diucapkan Satchel ada benarnya. Personel Steel Panther menjalani hidup yang amat berbeda di luar band. Yang paling kontras mungkin adalah yang dilakoni Michael.
Meski suka melontarkan humor gelap dan seksis dan menulis lirik tentang "Cintaku boleh buat kamu, tapi si Otong ini milik bersama," ia menikah dengan satu perempuan dan hidup bahagia. Selain itu, ia lahir dari keluarga akademis di California. Ayahnya adalah seorang profesor, walau Ralph tak pernah mau menyebutkan di mana ayahnya mengajar. Sedangkan Ralph sendiri bersekolah formal hingga jenjang doktoral. Gelar PhD bidang Sastra Inggris ia raih dari University of California, Berkeley pada 1991. Bahkan Ralph sempat menjadi asisten dosen di mata kuliah Literature and Cultural Studies di Texas A&M Commerce.
"Untuk soal pendidikan dan gelar, aku menggunakannya untuk beli apartemen. Karena bank harus verifikasi alamat, dan seorang Michael Starr jelas tak mungkin lolos verifikasi KPR," katanya saat diwawancara oleh Shane Pinnegar. Ia juga merendah ketika ditanya soal gelar akademisnya. "Kalau soal gelar di bidang sastra, bapakku itu cukup pandai. Walau, yah, kepintaran itu tidak diwariskan padaku."
Selain Michael, kita juga bisa melihat anomali itu pada Greg Graffin, vokalis band punk rock Bad Religion. Bahkan di laman profil Wikipedia, yang pertama kali ditulis adalah pencapaiannya sebagai seorang akademisi. Ia ditulis sebagai Gregory Walter Graffin, Ph.D.
Graffin mendapatkan dua gelar sarjana, yakni di bidang antropologi dan geologi dari University of California, Los Angeles. Gelar master di bidang geologi diraihnya di kampus yang sama. Sedangkan untuk gelar PhD bidang zoology diraih dari kampus Universitas Cornell. Judul disertasinya mentereng: Evolution Monism, Atheism, and the Naturalist World-View: Perspectives from Evolutionary Biology.
Selain masih aktif ngerock bersama Bad Religion, Graffin juga aktif mengajar di beberapa kampus, menulis buku, dan pernah membuat program televisi berjudul Punk Professor.
Apa yang ditulis oleh Roger Waters dalam "Another Brick in the Wall (Part 2)" ada benarnya. Bahkan hingga sekarang, sekolah dan pendidikan formal kerap dianggap sebagai institusi yang mengekang. Termasuk di Indonesia. Namun, menarik melihat beberapa orang musisi menganggap pendidikan di bangku sekolah formal adalah hal yang layak dikejar, hingga setinggi-tingginya. Pengetahuan memang kerap seperti belantara yang menggoda para petualang untuk menelusurinya.
Itu pula yang dilakukan oleh Brian May sendiri. Setelah 36 tahun tertunda, Brian akhirnya mendaftarkan disertasinya ke kampus dan bisa ujian. Pada 2007, Brian May akhirnya menyandang gelar PhD di belakang namanya, ketika ia sudah berusia 60 tahun. Pencapaiannya tambah manis ketika NASA mengajaknya bergabung dalam tim New Horizons dari NASA untuk penjelajahan luar angkasa baru.
Ketika ditanya tentang pencapaiannya di bidang akademis, Greg Graffin mengatakan bahwa sejatinya manusia terus belajar. Ada yang dari jalur informal, ada yang dari formal. Graffin, Brian May, juga Michael Starr, hanya tiga dari jutaan manusia yang belajar dari dua dunia itu secara bersamaan. Atau menyitir istilah Frank Zappa: bercinta dan belajar sekaligus di kampus.
"Aku percaya kita bisa terus belajar hingga di usia amat sangat tua. Kamu harus bisa melihat kesalahan di masa lalu sebagai proses belajar," kata Graffin.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani