Menuju konten utama

Sejarah Gugatan Sengketa Pilpres ke MK: dari 2004 Hingga 2019

Sejarah mencatat, gugatan sengketa hasil pilpres selalu terjadi di setiap perhelatan pemilu, dari 2004, 2009, 2014, hingga 2019.

Sejarah Gugatan Sengketa Pilpres ke MK: dari 2004 Hingga 2019
Prabowo Subianto bersama Cawapres Sandiaga Uno dan petinggi partai pendukung mendeklarasikan kemenangan pada Pilpres 2019, Kamis (18/4/2019). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/pd.

tirto.id - Pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena merasa telah terjadi kecurangan pada Pilpres 2019. Sejak 2004 atau pilpres pertama dalam sejarah pemilu di Indonesia, kemudian tahun 2009, 2014, serta 2019, selalu ada gugatan yang diajukan ke MK.

Untuk pertama kalinya, rakyat Indonesia memilih presiden dan wakil presiden secara langsung pada Pilpres 2004. Pesertanya ada 5 pasangan: Wiranto dan Salahuddin Wahid (Gus Sholah), Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi, Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK), serta Hamzah Haz dan Agum Gumelar.

Sebenarnya masih ada satu pasangan calon lagi, yakni Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Marwah Daud Ibrahim. Namun, pasangan ini gagal mengikuti Pilpres 2004 karena Gus Dur yang juga Presiden RI ke-4 dinyatakan tidak lolos tes kesehatan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

2004: Wiranto Menggugat KPU

Pasangan Wiranto-Gus Sholah, Amien-Siswono, dan Hamzah-Agum tersingkir di putaran pertama. Yang berhak bertarung di putaran kedua Pilpres 2004 sebagai dua pasangan capres-cawapres dengan suara tertinggi adalah SBY-JK (33,57 persen) dan Mega-Hasyim (26,61 persen).

Di putaran kedua, SBY-JK menjadi pemenang dengan meraih 69.266.350 suara atau 60,62 persen, mengalahkan Mega-Hasyim yang hanya mengumpulkan 44.990.704 suara atau 39,38 persen. Dari total jumlah suara, 114.257.054 suara atau 97,94 persen dinyatakan sah.

Pesta demokrasi sebenarnya telah usai, namun ada yang tidak puas dengan hasil Pilpres 2004. Pasangan Wiranto-Gus Sholah yang tersingkir di putaran pertama menggugat KPU ke MK dengan mengajukan setidaknya 9 poin keberatan.

Mereka menilai, ada berbagai jenis kecurangan, termasuk penambahan suara untuk salah satu paslon, pengurangan suara untuk salah satu paslon, hingga penambahan suara untuk semua paslon dengan persentase beragam. Kubu Wiranto-Gus Sholah meyakini jebloknya perolehan suara mereka di beberapa daerah karena adanya praktik kecurangan.

Dikutip dari pemberitaan Detik.com pada 29 Juli 2004, Wiranto-Gus Sholah mengajukan 2 tuntutan, yaitu: mendesak pembatalan SK KPU 79/2004 tentang penetapan hasil perhitungan suara capres cawapres dan menuntut perhitungan ulang.

Namun, MK yang kala itu dipimpin Jimly Asshiddiqie tidak mengabulkan gugatan tersebut. Peraih suara terbanyak di Pilpres 2004, SBY-JK, pun ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pertama yang dipilih langsung oleh rakyat.

Pasangan Mega-Hasyim yang kalah di putaran kedua Pilpres 2004 justru tidak terlalu mempermasalahkan kemenangan SBY-JK dan tidak mengajukan gugatan ke MK.

"Saya, kan, juga pernah ikut pemilihan presiden. Waktu kalah, ya, saya ndak ribut. Ya, sudah, ketawa saja, 'ayo, kita makan-makan'. Itu pilihan rakyat," kenang Megawati kepada media di Jakarta, Rabu (17/4/2019) lalu.

Kendati tidak mengajukan gugatan, Ketua Umum PDIP yang juga putri Presiden RI pertama Sukarno sekaligus Presiden RI ke-5 ini tidak menghadiri pelantikan SBY dan JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada 20 Oktober 2004.

Dilansir Tempo.co pada 18 Oktober 2004, PDIP beralasan, tak ada aturan konstitusional yang mewajibkan presiden sebelumnya menghadiri pelantikan presiden baru. Lagipula, Megawati sudah mengucapkan selamat secara formal kepada SBY saat peringatan hari lahir TNI tanggal 5 Oktober 2004.

2009: JK-Wiranto & Mega-Prabowo ke MK

Nama-nama lama kembali maju di Pilpres 2009. Megawati berpasangan dengan Prabowo Subianto, SBY berpasangan dengan Boediono, serta JK berdampingan dengan Wiranto. Hasilnya, SBY selaku petahana menang dengan keunggulan yang cukup besar, yakni 60,80 persen atau 15.081.814 suara.

Dua pasangan capres-cawapres yang kalah sama-sama tidak terima dan mengajukan gugatan ke MK. Perolehan Megawati-Prabowo hanya menembus 32.548.105 suara atau 26,79 persen, sedangkan JK-Wiranto mengumpulkan 15.081.814 suara atau 12,41 persen.

Wiranto lagi-lagi merasa dicurangi. Dilaporkan Kontan, tim kuasa hukum JK-Wiranto menyerahkan sekitar 58 berkas yang menjadi bukti kecurangan di Pilpres 2009, salah satunya berisi dugaan manipulasi dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Tim bentukan JK-Wiranto juga mengklaim menemukan bentuk kecurangan di beberapa daerah, yakni berupa kertas suara yang telah tercoblos, formulir C1 ganda, serta formulir C1 yang sudah ditandatangani.

Berbeda dengan Pilpres 2004, Megawati kali ini menganggap ada hal-hal yang tidak wajar di Pilpres 2009. "Soal Pemilu, saya kira banyak kecurangan," kata Prabowo, cawapres Megawati, seperti dilaporkan Antara, pada 11 April 2009.

Sekjen PDIP kala itu, Pramono Anung, menyatakan hal serupa, "Di seluruh Indonesia terjadi persoalan DPT. Ini [semestinya] sudah harus di-clear-kan sebelum masuk pilpres. Supaya tidak ada keragu-raguan atau kekhawatiran bahwa DPT ini digunakan untuk memenangkan kekuatan tertentu."

Pasangan JK-Wiranto dan Mega-Prabowo kemudian mengajukan gugatan ke MK. Namun, Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin Mahfud MD menolak gugatan kedua paslon capres-cawapres itu karena tudingan bahwa telah terjadi kecurangan di Pilpres 2009 tidak terbukti.

2014 & 2019: Klaim Kemenangan Prabowo

Pilpres 2014 yang mempertemukan paslon Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa melawan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) berlangsung sengit. Hasil quick count dari sebagian besar lembaga survei menunjukkan keunggulan Jokowi-JK.

Pada sisi lain, Prabowo-Hatta tak mau kalah. Berdasarkan hasil dari lembaga survei lain dan penghitungan tim internal, mereka mengklaim sebagai pemenang. Bahkan, Prabowo dan para pendukungnya sempat melakukan sujud syukur atas "kemenangan" itu.

Kubu Prabowo-Hatta juga menuding telah terjadi kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam Pilpres 2014. Mereka mendesak KPU menunda pengumuman hasil penghitungan selama 2 minggu agar dugaan manipulasi proses pemungutan suara bisa dibuktikan.

Selain itu, dilaporkan Bloomberg, kubu Prabowo-Hatta menuntut pemungutan suara ulang di sejumlah wilayah. Namun, KPU menolak dua permintaan itu. KPU akhirnya mengumumkan Jokowi-JK sebagai pemenang Pilpres 2014 dengan 70.99 juta suara atau 53,15 persen. Sedangkan Prabowo-Hatta meraih 46,85 persen suara atau 62.57 juta pemilih.

Pihak Prabowo-Hatta menarik diri dan menolak hasil Pilpres 2014 yang dimenangkan Jokowi-JK. Dikutip dari CNN pada 22 Juli 2014, Prabowo menyebut bahwa pelaksanaan Pilpres 2014 adalah "cacat hukum".

Kendati begitu, kubu Prabowo-Hatta pada akhirnya mengajukan gugatan. Tidak hanya ke MK, namun juga ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ketua DKPP, Jimly Asshiddiqie, menyatakan gugatan ini hanya terkait masalah kode etik di KPU sehingga tidak akan mempengaruhi hasil Pilpres 2014.

Tanggal 21 Agustus 2014, MK memutuskan menolak secara keseluruhan seluruh gugatan tim hukum Prabowo-Hatta. Jokowi pun dilantik sebagai Presiden RI ke-7 dengan Jusuf Kalla sebagai wakilnya.

Fenomena yang nyaris mirip terjadi lagi pada Pilpres 2019. Prabowo yang kali ini berpasangan dengan Sandiaga Uno kembali menghadapi Jokowi yang menggandeng K.H. Ma’ruf Amin.

Meskipun hasil quick count hampir semua lembaga survei memenangkan Jokowi-Ma’ruf, tapi kubu Prabowo-Sandi yang lebih dulu mengklaim kemenangan. Seperti pada Pilpres 2014, Prabowo juga bersujud syukur setelah menyatakan klaim tersebut.

Tak hanya klaim kemenangan yang didasarkan atas hasil penghitungan internal oleh Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, kubu paslon bernomor 02 ini berkali-kali juga menuduh kubu lawan dan KPU telah melakukan kecurangan untuk memenangkan Jokowi-Ma’ruf.

KPU secara resmi akhirnya mengumumkan hasil Pilpres 2019 pada 21 Mei 2019 dini hari. Jokowi-Ma’ruf dinyatakan menang dengan perolehan 85.607.362 suara atau 55,50 persen. Sedangkan Prabowo-Sandi mendapatkan 68.650.239 suara atau 44,50 persen.

Malam harinya, dilancarkan aksi protes ke depan Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang berlanjut pada keesokan hari tanggal 22 Mei 2019. Namun, aksi ini terindikasi disusupi para perusuh. Terjadi bentrokan dengan aparat keamanan dalam dua hari itu hingga menelan korban jiwa dan banyak kerusakan di Jakarta.

Selanjutnya, BPN yang terus menolak hasil Pilpres 2019, kendati menerima hasil pileg dalam pemilu serentak itu, mengajukan gugatan ke MK. Sebelumnya, gugatan serupa sudah ditolak Bawaslu karena bukti-bukti yang diajukan dirasa tidak cukup kuat. Sidang MK perdana untuk perkara gugatan yang diajukan kubu Prabowo-Sandi akan digelar Jumat, 14 Juni 2019.

Baca juga artikel terkait SEJARAH PEMILU atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Politik
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Mufti Sholih