tirto.id - Malam itu, Jumat (29/5/2009), Pasar Gede Surakarta dilanda hujan lebat. Padahal akan ada gelaran raya malam itu. Orang-orang besar akan berkumpul di sana, mengantar deklarasi kampanye pasangan capres-cawapres Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto.
Semua mafhum belaka, sejak lama PDI-P senantiasa mendaku sebagai partainya wong cilik. Demi menjaga citra itu, maka tampillah Megawati dengan segala simbolisasi rakyat bawah, caping, dan bakul nasi. Prabowo tak ketinggalan, ia naik panggung deklarasi dengan mengangkat pikulan.
Meski sudah berdandan maksimal, bukan mereka yang hendak membacakan deklarasi kampanye yang ditajuki “Ekonomi Kerakyatan” itu. Pembaca deklarasi adalah Wali Kota Surakarta Joko Widodo dan Wakil Wali Kota F.X. Hadi Rudyatmo. Keduanya sama-sama kader PDI-P.
Deklarasi Ekonomi Kerakyatan memertelakan poin-poin penting yang hendak diperjuangkan pasangan Megawati-Prabowo. Poin-poinnya berfokus pada penguatan lembaga ekonomi rakyat seperti koperasi dan perbankan. Nelayan, petani, serta usaha mikro dan kecil menjadi sasaran program ini.
Lain itu pasangan Megawati-Prabowo juga berjanji mengangkat budaya tradisional untuk dikembangkan menjadi potensi ekonomi rakyat. Karena itulah mereka memilih pasar tradisional sebagai tempat deklarasi untuk memperkuat pesan tersebut.
"Saudara-saudara sekalian. Kalian mengetahui pasar bukan sekadar tempat menjual barang, tetapi sebenarnya suatu tempat komunikasi secara gotong royong dari masyarakat Indonesia," ujar Megawati sebagaimana dikutip laman warta Kompas.
Itulah panggung pertama bagi Prabowo Subianto berlaga dalam gelanggang pilpres. Sebagai cawapres, Prabowo sepenuhnya menjadi penyokong kampanye ekonomi kerakyatan. Ke mana-mana ia menjadi juru bicara ekonomi kerakyatan yang diusungnya bersama Megawati.
Sebagaimana diwartakan pula oleh Kompas, visi-misi Megawati-Prabowo dalam Pilpres 2009 bertumpu pada tiga pokok: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian budaya.
Dalam kampanye terpisah, kata kunci “berdikari” menjadi jualan Prabowo yang paling utama. Ia menandaskan bahwa konsep berdikari dalam ekonomi kerakyatan berhulu dari evaluasi atas sistem ekonomi ala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menurutnya gagal.
Tengok misalnya ketika Prabowo berorasi di hadapan simpatisan Partai Gerindra di Gelora Bung Karno pada Selasa (31/3/2009). Kala itu Prabowo menyebut bahwa pemerintahan SBY adalah penganut ekonomi neoliberal yang gagal memakmurkan rakyat. Sistem ekonomi saat itu dinilainya pula terlalu tergantung pada utang luar negeri.
"Pemerintah kita bisanya pinjam uang dari negara lain. Bangsa Indonesia menjadi tertawaan bangsa lain, bangsa yang lemah dan tidak bisa menjaga kekayaannya. Kalau strateginya salah, apa harus dilanjutkan? Kalau strateginya tidak membawa kemakmuran, apa harus dilanjutkan?" kata Prabowo seperti dikutip Kompas.
Prabowo memosisikan ekonomi kerakyatan sebagai solusi atas masalah ketergantungan utang. Sederhana saja, pemerintah semestinya memanfaatkan sumber daya ekonomi dalam negeri. Ia juga menganjurkan penerapan sistem ekonomi campuran; karena jika sistem liberal dibiarkan tanpa kontrol, maka rakyat miskin dan lemah akan makin tertinggal.
“Kalau kita mau jujur hampir semua sistem ekonomi di dunia saat ini adalah kompromi antara yang terbaik dari sistem sosialis dan kapitalis. Sistem kerakyatan mengambil jalan tengah, campuran, the third way. Tidak ada yang murni sosialis," terang putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo ini sebagaimana dikutip Viva.
2014: Itu Lagi
Retorika-retorika serupa kembali ia gunakan ketika maju untuk kali pertama sebagai presiden pada Pilpres 2014. Saat itu, Joko Widodo yang pada 2009 menjadi pembaca deklarasi ekonominya berubah posisi jadi penantang merebut kursi RI 1. Berpasangan dengan Hatta Rajasa, Prabowo mengusung visi "Membangun Indonesia Yang Bersatu, Berdaulat, Adil, dan Makmur Serta Bermartabat".
Sebagaimana diwartakan laman Viva, visi itu diterjemahkan Prabowo-Hatta melalui agenda-agenda seperti pelaksanaan ekonomi kerakyatan dan membangun kembali kedaulatan pangan, energi dan sumber daya alam.
Berdikari di bidang ekonomi lagi-lagi digaungkan. Narasinya nisbi mirip: ia memosisikan Indonesia berada dalam sistem ekonomi yang salah. Jika sebelumnya kesalahan ditumpukan pada ketergantungan utang luar negeri, kini ketergantungan akan impor jadi ancaman.
Prabowo mendaku selama bertahun-tahun tidak ada accumulation of national wealth di Indonesia. Indonesia jatuh jadi negeri konsumtif dan hanya jadi pasar bagi produk-produk asing. Baginya itu memalukan.
“Indonesia belum bisa bikin mobil setelah 68 tahun merdeka, sedangkan Malaysia sudah bisa bikin mobil 20 tahun lalu. Kenapa kita kalah? Kalau pemimpinnya nasionalis, seperti Mahathir Mohamad di Malaysia, satu juta mobil yang dijual di Indonesia pasti produk dalam negeri semua. Okelah, tidak sebesar itu, nanti kita dimusuhi Jepang. Sepuluh persennya saja masak enggak bisa? Jangan-jangan masyarakat kita yang enggak nasionalis? Korea, misalnya, semua produknya dari sana. Jepang juga begitu. Di sini orang suka mencemooh produk domestik,” ujar Prabowo sebagaimana dikutip majalah Tempo edisi 30 Juni-6 Juli 2014.
2019: Itu Lagi Itu Lagi
Adakah yang berubah dari retorika-retorika itu dalam Pilpres 2019 ini?
Agaknya tidak. “Ekonomi kerakyatan”, “menolak impor dan utang luar negeri”, dan “salah sistem ekonomi” masih jadi retorika utama Prabowo Subianto. Setidaknya itu terlihat dalam Debat Capres putaran kedua pada Minggu (17/2/2019).
Dalam sesi pemaparan visi-misi Prabowo lagi-lagi mengonstatasikan bahwa masalah inti negara sekarang ini adalah bagaimana membangun suatu kemandirian ekonomi, swasembada pangan, energi, dan air. Ia menyitir PBB bahwa suatu negara dikatakan berhasil jika bisa memenuhi pangan untuk rakyat, energi untuk rakyat, dan air tanpa impor.
“Ini komitmen kami, kami yakin Indonesia bisa berdiri di atas kaki kita sendiri. Kita akan mengamankan semua sumber-sumber ekonomi bangsa Indonesia, kita akan menjaga pundi-pundi bangsa Indonesia supaya kekayaan kita tidak mengalir ke luar negeri,” tutur capres nomor urut 02 itu.
Alih-alih menunjukkan komitmen yang kokoh dan konsisten, retorika-retorika itu justru menunjukkan gagasannya tidak berkembang. Tebalnya konsep ekonomi itu tak dibarengi dengan solusi konkret dan data-data pendukung. Prabowo juga terlihat kedodoran menanggapi perkembangan ekonomi digital dewasa ini. Selain memberi kesan tak peka perkembangan, kegagapan itu juga membuat gagasan-gagasannya tampak usang.
Kegagapan itu terlihat misalnya ketika menanggapi pernyataan Joko Widodo soal perlunya petani diperkenalkan dengan market place dan pentingnya ekosistem online bagi mereka untuk menyongsong era industri 4.0.
Prabowo justru menjawab dengan jawaban yang melebar dari topik semula. “Bagus kita bicara industri 4.0 tapi saya lebih ingin menjamin bahwa Indonesia bisa menyediakan pangannya sendiri tanpa impor-impor dari negara manapun,” tegas Prabowo.
Pendapat itu dengan mudah dipatahkan oleh Joko Widodo bahwa industri 4.0 yang berbasis digital justru bisa jadi cara konkret membantu petani. Joko Widodo juga mencontohkan Tani Hub yang dapat menghindari kecurangan tengkulak karena petani berhubungan langsung dengan konsumen.
“Coba dilihat Tani Hub sudah memasarkan produk-produk petani dari produsen langsung ke konsumen sehingga harganya bisa di angkat [...] saya kira itu sudah hal yang konkret yang justru membuka kesempatan bagi petani-petani kita untuk melompat dalam berproduksi karena diberikan harga yang lebih baik, tidak lewat agen-agen di tengah,” jawab capres nomor urut 01 itu.
Demikian pula ketika Prabowo menjawab pertanyaan Joko Widodo tentang bagaimana mendukung pengembangan startup unicorn di Indonesia. Prabowo mulanya menunjukkan komitmen untuk mempermudah regulasi dan mengurangi pembatasan bagi mereka. Namun kemudian Prabowo juga menyatakan kekhawatirannya bahwa unicorn-unicorn baru akan membikin disparitas ekonomi kian menganga dan larinya kekayaan Indonesia ke luar negeri.
“Kekayaan Indonesia tidak tinggal di Indonesia, menteri bapak sendiri mengatakan bahwa ada 11.400 triliun uang Indonesia di luar negeri. Di seluruh bank di Indonesia uangnya hanya 5.465 triliun. Berarti lebih banyak uang kita di luar daripada di Indonesia. Nah kalau kita tidak hati-hati dengan antusiasme untuk internet, e-commerce, saya khawatir ini juga bisa mempercepat arus larinya uang keluar negeri,” tegas bekas menantu Soeharto itu.
Pepesan Kosong
Menurut Koordinator Kaukus Hijau Nasional Dimitri Dwi Putra, jawaban Prabowo tersebut menunjukkan ketimpangan pengetahuan antara Jokowi dan dirinya soal revolusi industri 4.0.
"Bisa kelihatan capres paham soal unicorn apa enggak. Dia [Jokowi] memahami ekosistemnya," kata Dimitri kepada Tirto.
Tampak sekali bahwa Prabowo tak menguasai persoalan. Padahal pernyataan-pernyataan Joko Widodo pun punya banyak celah untuk ditelisik lebih dalam dan dikritisi.
Misalnya soal program seribu startup yang disinggung Jokowi. Menurut Dimitri, hingga sekarang tidak ada bukti kesuksesan dari program tersebut. Apalagi, unicorn yang ada di Indonesia seperti Gojek, Bukalapak, Tokopedia, dan Traveloka tidak ada yang berasal dari program itu.
"Jadi kami masih bertanya juga sebenarnya, 1.000 startup ini apa. Dan bagaimana progresnya, kami enggak pernah tahu. Bagaimana Kementerian Komunikasi dan Informatika menjangkau program ini, ini jadi salah satu catatan kami," kata Dimitri.
Hal-hal macam inilah yang membikin segala konsep yang didengungkan Prabowo sejak 2009 menjadi pepesan kosong, karena ia sendiri tak memahami perkembangan ekonomi digital selama sepuluh tahun belakangan. Ia malah berpaku pada gagasan-gagasan lama yang mengawang-awang dan kehilangan momentum untuk mematahkan argumen Joko Widodo.
Editor: Ivan Aulia Ahsan