tirto.id - Seni tradisional asal Betawi, tanjidor, tidak asing lagi di telinga sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini karena tanjidor sering kali ditampilkan dalam berbagai pertunjukkan dan perayaan budaya Betawi.
Sudah menjadi tradisi di kota-kota dengan komunitas suku Betawi yang besar untuk menampilkan tanjidor di berbagai acara seperti pernikahan, syukuran, ulang tahun kota/kabupaten, hingga festival.
Kesenian tanjidor berupa permainan musik yang dimainkan secara berkelompok. Agar lebih meriah, biasanya permainan tanjidor diiringi tarian hingga ondel-ondel.
Jenis alat musik yang dipakai untuk memainkan tanjidor berupa bedug (bass drum), tambur, simbal, klarinet, trombone, tenor, dan saksofon. Jika dilihat hampir seluruh alat musik yang digunakan dalam tanjidor tidak berasal dari Indonesia.
Lalu, mengapa tanjidor bisa dinobatkan sebagai kesenian khas Betawi? Ini ada kaitannya dengan sejarah tanjidor yang menjadikannya salah satu kesenian yang unik di Indonesia.
Sejarah dan Asal-Usul Tanjidor Sebagai Kesenian Khas Betawi
Ada beberapa versi terkait sejarah tanjidor yang kini dikenal sebagai kesenian khas Betawi. Sebagian menyebutkan bahwa kesenian ini diadaptasi dari seni Belanda, namun ada juga yang percaya bahwa tanjidor berasal dari Portugis.
Sejarah versi Portugis mengungkapkan bahwa tanjidor masuk ke Indonesia pertama kali di Batavia. Merujuk studi yang dilakukan oleh Royhan El Fikri di tahun 2017, seni tersebut mulai diperkenalkan oleh Portugis di abad ke-14 hingga abad ke-16.
Musik tanjidor kemudian semakin eksis di kalangan masyarakat Betawi yang tinggal di sekitar Batavia. Kesenian ini terus dilakukan bahkan setelah Belanda datang. Selanjutnya, di zaman Belanda, tanjidor digunakan sebagai alat hiburan dalam acara pawai militer dan upacara keagamaan.
Berdasarkan sejarah versi Portugis, kata 'tanjidor' berasal dari istilah Portugis, yaitu 'tangedor.' Merurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kata 'tangedor' sulit diucapkan oleh pribumi, sehingga pengejaannya berubah menjadi tanjidor.
Sementara itu, sejarah versi Belanda mengatakan bahwa tanjidor dibawa oleh keturunan Belanda kaya yang tinggal di Indonesia. Menurut Dinas Kebudayaan Jakarta, tokoh Belanda yang memperkenalkan tanjidor bernama Augustjin Michiels atau Mayor Jantje yang tinggal di daerah Citrap (Citeureup).
Di masa itu Mayor Jantje yang memiliki banyak aset dan tanah mempekerjakan banyak sekali budak pribumi. Ia sangat mencintai musik dan membawa banyak sekali peralatan musik khas Eropa ke kediamannya.
Ia membuat kelompok musik bernama Het Muziek Corps der Papangers untuk memainkan musik saat pesta atau jamuan makan. Kelompok musik tersebut dibentuk dari budak-budak pribumi yang bekerja kepadanya.
Para budak diajari bermain musik oleh guru khusus yang dipanggil Mayor Jantje dari Belanda. Pelajaran musik yang diterima oleh para budak pribumi akhirnya membuat mereka mahir bermain alat musik khas Eropa.
Kebijakan penghapusan budak di tahun 1860, menyebabkan para pekerja Mayor Jantje akhirnya merdeka dan menyebar ke berbagai wilayah, termasuk Jakarta, Depok, Cibinong, Citeureup, Jonggol, Parung, Bogor, Bekasi dan Tangerang.
Mereka yang dulunya mahir bermain musik akhirnya membentuk perkumpulan yang dinamakan tanjidor. Tentu musik yang mereka mainkan tidak jauh-jauh dari gaya bermusik khas Belanda namun dibawakan dengan logat Betawi.
Pada sejarah versi ini, asal usul kata tanjidor berasal dari kata 'tanji' dan 'dor.' Tanji adalah sejenis alat musik drum atau beduk, sedangkan dor merujuk pada bunyi tanji ketika ditabuh.