tirto.id - Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) adalah karier puncak Jenderal Umar Wirahadikusumah (1924-2003). Ia dilantik pada 4 Desember 1969 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 135/M/1969 dan jabatan itu berakhir pada 2 April 1973. Setelahnya jabatan tersebut jatuh ke Jenderal Surono Reksodimedjo (1923-2010). Umar dan Surono sama-sama Angkatan 45.
Seorang mantan Kasad biasanya berpeluang jadi Panglima ABRI (Pangab) atau Menteri Pertahanan Keamanan (Menhankam). Tapi dua jabatan itu tak pernah berada di tangan Umar. Lepas dari jabatan Kasad, Umar dijadikan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tugas badan ini adalah memeriksa tanggung jawab pemerintah soal keuangan negara, memeriksa APBN, dan melaporkan temuannya ke DPR.
“Mengingat pentingnya badan ini, maka personel yang duduk di dalamnya khususnya pimpinan haruslah bersih terlebih dulu, berwibawa dan cepat tanggap,” tulis Kolonel R.A. Hidayat dan kawan-kawan dalam Umar Wirahadikusumah: Dari Peristiwa Ke Peristiwa (1983: 291).
Umar kala itu menggantikan Letnan Jenderal Dadang Suprayogi (1914-1998).
Dari Jenderal Umar ke Jenderal Jusuf
Dadang Suprayogi sudah cukup senior. Mantan Panglima Divisi Siliwangi (Jawa Barat) ini dijadikan Ketua BPK sejak 1966. Sebelumnya dia pernah beberapa kali menjadi menteri. Seperti Umar, Dadang juga berasal dari Jawa Barat.
Sebelum Dadang, Ketua BPK antara 1964 hingga 1966 adalah Dorodjatun alias Hamengkubuwana IX, yang bersama Soeharto dan Adam Malik menjadi Triumvirat Orde Baru. Sejak pendirian BPK pada 1947 hingga Dadang menjabat, tak ada militer berpangkat jenderal yang mengisi jabatan ketuanya.
Kata koran Berita Yudha (16/4/1973), “tahun 1965 BPK sama sekali bobrok, tidak ada administrasi keuangan yang dengan sendirinya tidak mungkin dapat memeriksa tugas-tugas pemeriksaan keuangan negara.” Begitulah versi koran militer sebelum Dadang jadi Ketua BPK.
Sebelum masuk TNI pada 1945, Dadang pernah bekerja sebagai Boekhouder (pemegang buku) Kotapraja Bandung di zaman kolonial dan pengawas keuangan di Bandung pada zaman Jepang. Dadang tampak cocok di situ. Setelah di BPK, Dadang dimasukkan ke Dewan Pertimbangan Agung (DPA), yang kerap diplesetkan sebagai Dewan Pensiunan Agung.
Umar Wirahadikusumah tidak sebentar jadi Ketua BPK. Sepuluh tahun dia memeriksa keuangan negara di zaman Orde Baru. Sampai akhirnya nama Umar muncul sebagai kandidat untuk mendampingi Soeharto sebagai wakil presiden.
Herry Gendut Janarto dalam Karlinah Umar Wirahadikusumah: Bukan Sekadar Istri Prajurit (2010: 156) menyebut naiknya Umar jadi wapres karena Umar menjadi orang dekat Soeharto ketika G30S meletus. Ini dianggap sebagai balas budi Soeharto. Jenderal yang tidak banyak tingkah ini menyanggupi maju sebagai pendamping Soeharto. Dan yang terjadi terjadilah: Umar dilantik menjadi wapres pada Jumat, 1 Maret 1983.
Setelah naiknya Umar sebagai wapres, posisi Ketua BPK kemudian diberikan kepada Jenderal M. Jusuf (1928-2004). Sebelum jadi Ketua BPK, Jusuf adalah Pangab merangkap Menhankam. Sebelum mengisi dua jabatan itu, Jusuf, salah satu jenderal pembawa Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), adalah Menteri Perindustrian dari 1968 hingga 1978. Pada 1965 Jusuf sudah jadi Menteri Perindustrian Ringan, lalu Menteri Perindustrian Dasar.
Keturunan Bangsawan Bugis Bone yang ogah pakai gelar Andi ini merupakan panglima paling populer di ABRI. Dia doyan melakukan perjalanan dinas menemui para prajurit hingga pangkat terbawah. Bahkan tidak berat untuk memberi kenaikan pangkat secara langsung kepada prajurit di lapangan. Jusuf juga memberi kenaikan pangkat luar biasa bagi anggota korps baret merah yang ikut dalam pembebasan sandera pembajakan pesawat Garuda Woyla di Bangkok.
Kepopulerannya itu diselingi isu bahwa Jusuf hendak menggantikan Soeharto. Hingga suatu kali dia “disidang” Soeharto dan para pembantunya. Jenderal Amirmachmud, Menteri Dalam Negeri, bilang ada suara-suara yang menyebut Jusuf punya "ambisi-ambisi tertentu". Jusuf marah dan menggebrak meja di muka Soeharto dan para pembantunya.
“Bohong! Itu tidak benar semua! Saya ini diminta untuk jadi Menhankam/Pangab karena perintah Bapak Presiden. Saya ini orang Bugis. Jadi saya sendiri tidak tahu arti kata kemanunggalan yang bahasa Jawa itu. Tapi saya laksanakan tugas itu sebaik-baiknya tanpa tujuan apa-apa,” kata Jusuf yang marah, seperti dicatat Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit (2006: 269).
Setelah peristiwa itu, Soeharto dan Jusuf tetap berhubungan baik. Jusuf lalu digantikan oleh Letnan Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani sebagai Pangab dan Jenderal Poniman sebagai Menhankam.
Jusuf kemudian “diparkir” ke BPK sebagai ketuanya. Awal-awal jadi Ketua BPK, Jusuf berkonsultasi dengan mantan Ketua BPK Dadan Suprayogi, guru besar FEUI Widjojo Nitisastro, Ruslan Abdulgani, dan lainnya. Dia tak ragu memanggil Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan Industri (Menko Ekuin) Ali Wardhana dan Menteri Keuangan Radius Prawiro untuk bicara soal keuangan negara.
Meski jadi sorotan, menurut Jusuf sebagaimana dicatat Atmadji Sumarkidjo, "pemanggilan para pejabat tinggi sebetulnya dilakukan sesuai dengan yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang BPK sendiri" (hlm. 408).
Ketika Jusuf menjabat Ketua BPK, ada juga jenderal yang sebelumnya perwira tinggi di Markas Besar ABRI yang jadi anggotanya. Dia adalah Letnan Jenderal Julius Henuhili. Menurut catatan Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (1988: 134), Henuhili adalah taruna angkatan pertama Akademi Militer Yogyakarta, yang kemudian jadi perwira artileri. Dia juga pernah menjadi Komandan Jenderal Akademi ABRI (Danjen Akabri).
Seperti Umar Wirahadikusumah, M. Jusuf mengisi jabatan Ketua BPK selama 10 tahun, dari 1983 hingga 1993. Setelah Jusuf tak "diparkir" lagi, di masa tuanya dia aktif dalam kehidupan sosial di Makassar, kota di mana dia pernah berkantor sebagai Panglima Kodam Hasanuddin.
Editor: Ivan Aulia Ahsan