tirto.id - Setelah Soeharto didampingi Hamengkubuwana IX (1973-1978) dan Adam Malik (1978-1983) yang notabene adalah Wakil Presiden (Wapres) dari kalangan sipil, pada 1983 Soeharto didampingi Umar Wirahadikusumah, Wapres dari kaumnya sendiri: Angkatan Darat. Jika dua Wapres sebelumnya adalah senior Soeharto, Umar yang menjabat pada periode 1983-1988 adalah junior Soeharto, baik secara usia maupun pengalaman di dunia militer.
Umar sempat lebih dulu dilatih oleh Yanagawa Munenari, perwira intelijen Jepang yang melatih PETA. Dia kemudian dilatih di Boei Gyugun Rensentai, Bogor untuk menjadi komandan peleton PETA. Soeharto juga menjalani pelatihan yang sama. Namun, pengalaman Soeharto sebagai sersan KNIL, ditambah kecerdasannya, membuat Soeharto punya pangkat terakhir lebih tinggi dari Umar di PETA. Di masa revolusi, Soeharto bisa mencapai pangkat Letnan Kolonel, sementara Umar tidak lebih dari Mayor.
Seperti Soeharto, Umar juga mantan pejabat di lingkungan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Waktu G30S 1965 pecah, Umar termasuk jenderal Angkatan Darat yang tidak diculik. Seperti Soeharto, Umar juga punya jabatan penting. Jika Soeharto adalah Panglima Kostrad, maka Umar adalah Panglima KODAM Jakarta Raya. Jenjang karier militer yang dilalui Umar juga agak mirip Soeharto.
Umar juga pernah jadi Panglima Kostrad. Setelah Soeharto naik jadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Umar melepaskan jabatannya sebagai panglima Kostrad. Seperti Soeharto, Umar juga akhirnya menjadi KSAD, dari 1969 hingga 1973. Sebelum mengisi jabatan itu, Umar menjadi Wakil KSAD Jenderal Maraden Panggabean.
Dalam sejarah militer Indonesia, Umar adalah orang Sunda pertama yang pernah menjadi orang nomor satu di Angkatan Darat. Umar, seperti kebanyakan Wapres Indonesia zaman Orde Baru, terlibat dalam revolusi sebagai Angkatan 45.
Ketika Adam Malik tidak lagi menjadi Wakil Presiden setelah 1983, Umar disebut-sebut yang jadi calon kuat untuk menggantikannya. Harry Gendut Janarto dalam Karlinah Umar Wirahadikusumah: Bukan Sekadar Istri Prajurit (156), menyebut potensi naiknya Umar jadi Wapres ini tidak lain karena Umar menjadi orang dekat Soeharto ketika G30S meletus. Pengangkatan Umar sebagai Wapres dianggap sebagai balas budi Soeharto.
“Saat itu (Umar) sedang memangku jabatan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),” tulis Solichin Salam dalam Umar Wirahadikusumah: Dari Peristiwa ke Peristiwa (1983:297).
Ketua BPK bukan jabatan prestisius bagi seorang jenderal. Posisi itu kerap diisi oleh jenderal yang dianggap "buangan". Umar berada di BPK selama 10 tahun.
Sepengakuan Soeharto dalam dalam Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989:372), calon Wapres selain Umar adalah: Adam Malik, M Jusuf, Amir Machmud, dan Maraden Panggabean. Semuanya orang kuat. Namun pada akhirnya, Umar yang dipilih. Apalagi, dalam pencalonannya, Umar didukung oleh fraksi-fraksi di DPR: mulai dari Karya Pembangunan (Golkar), Persatuan Pembangunan (PPP), Demokrasi Indonesia (PDI), ABRI, dan Utusan Daerah. Pada masa itu, Golkar adalah partai terkuat di antara yang lain. Dukungan Golkar sangat signifikan, dan biasanya dianggap sebagai dukungan Soeharto juga.
Umar dilantik sebagai Wapres di hari yang keramat bagi Orde Baru: Jumat, 11 Maret 1983—tepat 17 tahun setelah Soeharto dapat surat perintah yang dianggap pengalihan mandat kekuasaan (Supersemar) itu. Bertindak sebagai Ketua DPR/MPR di masa itu adalah Jenderal Amirmachmud. Seperti Umar, Amirmachmud termasuk orang dekat dengan Soeharto juga sejak 1960-an.
“Saya tidak akan menjanjikan apa-apa pada permulaan memangku jabatan ini, kecuali kesediaan bekerja keras membantu Presiden terpilih,” kata Umar dalam pidatonya di hari pelantikannya, di depan Sidang Umum MPR, 11 Maret 1983.
Di zaman Soeharto, seseorang calon pejabat pun tidak perlu bikin janji-janji, karena semua sudah diatur oleh yang berkuasa. Umar hanya perlu melaksanakan apa yang sudah digariskan padanya sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, itu saja. Jika Umar mengerjakannya berlebihan dari apa yang telah ditetapkan, Umar bisa membuat Presiden Soeharto "terbawa perasaan".
Jadilah orang Sunda yang kalem yang akhirnya jadi Wakil Presiden daripada Soeharto. Sebelum Umar, ada orang Batak (Sumatra Utara) dan sebelumnya lagi Orang Jawa (malahan berstatus Raja Jawa) yang mendampingi Soeharto. Duduk di dalam kabinet Soeharto ini orang kuat, dan terhitung setia, bernama Leonardus Benyamin Moerdani sebagai pengganti M Jusuf sebagai Panglima ABRI.
Di masa Umar jadi Wapres, Soeharto menginginkan pemerintahannya kuat. Pada 1980, Soeharto pernah bermasalah dengan beberapa purnawirawan jenderal dan tokoh-tokoh sipil yang kritis—dikenal sebagai tokoh-tokoh Petisi 50. Maka Soeharto mulai menunjukkan pemerintahan berwajah militer. Selain mengangkat jenderal sebagai Wapres untuk pertama kalinya, wajah militer yang ditampakkan Soeharto adalah penembakan misterius.
Bisa dibilang Umar adalah pilihan "aman". Sebab meski Umar adalah pensiunan jenderal, dia tidak punya banyak pengikut di kalangan militer yang masih aktif kala itu. Walau dirinya pernah menjadi orang nomor satu di Angkatan Darat, Umar sudah bukan lagi jadi orang kuat di militer pada era 1980-an. Apalagi Umar sempat satu dekade berada di BPK. Maka Umar dianggap tidak akan membahayakan kekuasaan Soeharto, ataupun bikin pening.
“Kerjasama dengan Pak Umar terasa lancar. Lagi pula saya tidak mengajukan pernyataan yang sulit. Selama mengetahui kewajibannya masing-masing, siapa saja bisa bekerjasama dengan saya,” aku Soeharto (1989:372).
Umar, seperti kebanyakan orang Sunda yang dikenal kalem, memang tidak banyak tingkah, pun sebagai orang militer dia taat kepada atasannya: Soeharto. Maka wajar saja Soeharto bilang dia tak punya kesulitan dengan Wapres barunya ini. Soeharto tidak lagi pusing seperti kala Adam Malik menjabat, yang kadang tidak seperti kehendaknya.
Editor: Nuran Wibisono