tirto.id - Ketika masih duduk di bangku TK, saya kerap menghabiskan masa liburan sekolah di rumah Nenek di Karanganyar, Jawa Tengah. Saat itu, momen-momen menyenangkan yang saya ingat salah satunya berasal dari acara syukuran (selametan) yang diselenggarakan oleh tetangga-tetangga sekitar.
“Jangan makan dulu, nanti ada berkatan lho…” ujar Om saya setiap akan berangkat ke acara syukuran.
Acara syukuran atau selametan ini biasanya diadakan ketika ada tetangga yang memiliki hajat. Ada yang mengirim doa untuk leluhurnya yang sudah meninggal, ada yang untuk mengawali kegiatan membangun rumah, kelahiran anak, hingga pernikahan. Kalau di acara pernikahan, sego berkatan ini diberikan layaknya suvenir, tapi berisi nasi dan lauk-pauknya.
Sejauh ingatan saya, isi dan bentuk sego berkatan yang dibawa Om ini cukup beragam. Ini karena undangan yang dihadiri Om saya bermacam-macam. Namun, yang paling sering saat itu adalah sego berkatan yang hadir dalam bungkusan daun jati, dilipat bentuk segitiga menyerupai kerucut.
Begitu menerima sego berkatan dari Om saya, Nenek selaku yang tertua di rumah, biasanya akan langsung membongkarnya. Elemen lauk dan nasi yang sudah terlanjur beradu menjadi satu akan dipisahkan satu per satu. Anggota keluarga yang lain akan menunggu giliran untuk mengambil bagian dengan sabar.
“Ini kubagi sama rata, nasi lauknya sedikit-sedikit tidak apa-apa, yang penting sama-sama mberkahi,” ujar Nenek sembari meletakkan nasi dan komponen pelengkapnya di piring-piring kami.
Rangkaian isi sego berkatan ini janganlah ditanya rasanya. Karena dimasak dalam jumlah besar, dengan menggunakan tenaga rewangan, rasanya pun berada di level ‘cukupan’. Beberapa kerat ayam ingkung hambar, kerupuk merah melempem dan lemes, beberapa bulir kedelai hitam, dan dua potong tahu tempe yang kurang garam ada di dalam satu bungkus sego berkatan. Kadang, ada tambahan sayur buncis atau oseng so’un yang menyertai.
Saya amati selama ini, lauk pauk dalam sego berkatan ini cukup beragam, tapi ada beberapa yang bisa ditarik benang merahnya. Jika datang dari acara kirim doa, lauk pauknya cenderung tak berwarna. Misal: ayam ingkung polosan, tahu tempe goreng, dan satu macam sayur yang tak kalah pucat – entah itu oseng tahu atau buncis kacang panjang yang telah hilang warna hijaunya.
Lain halnya dengan sego berkatan dari hajatan pernikahan atau kelahiran, lauknya lebih beragam jenis dan warnanya. Selain ayam goreng dan telur rebus, kadang disisipkan ikan asin goreng. Sayuran urap berwarna cerah lagi segar pun kerap turut memeriahkan isi bungkusan. Tak lupa sambel goreng dan capcay yang banyak tepungannya.
Nasinya sendiri bisa berupa nasi gurih atau nasi putih biasa, tergantung dari pemberian si empunya acara. Saya pribadi paling gemar jika menerima sego berkatan yang berisi nasi gurih. Walau terkadang komponen pelengkapnya tak banyak tapi nasinya sendiri sudah nglawuhi. Tapi, nasi biasa pun tak masalah. Apalagi jika nasinya masih hangat terbungkus daun jati, saya akan mendapatkan nasi pulen bercorak kemerahan karena jejak daun jati yang mengenai nasi panas.
Perbedaan ini membuat saya menandai ketika menerima berkatan dari dua jenis acara yang berbeda. Saya bisa memprediksi lauk-pauk apa yang akan hadir di sebungkus sego berkatan, hanya dari melihat acaranya. Ini bikin saya bisa mengelola harapan terhadap isi sego berkatan.
Kali lain, sego berkatan hadir dalam wadah besek atau keranjang plastik. Biasanya ini dibawakan selepas menghadiri pesta pernikahan. Sego berkatan versi pernikahan ini memiliki jumlah nasi dua kali lipat dibanding yang dibungkus daun jati. Tiap Nenek dan Tante saya pulang dari hajatan pernikahan, mereka pasti membawa kantong plastik berisi nasi dan lauk komplit.
“Yang pergi kondangan biasanya tidak sempat masak di rumah, jadi sego berkatan ini bisa untuk makan yang di rumah,” ujar Tante saya menjelaskan alasan nasi porsi besar tersebut.
Sego berkatan yang dibawa dari pernikahan umumnya dipisah antara nasi dengan lauk pauknya. Entah itu diwadahi dalam takir-takir, atau dibungkus daun masing-masing. Ini memudahkan pekerjaan Nenek, tentu saja.
Perjalanan menggemari sego berkatan ini tanpa sadar saya bawa sampai dewasa. Rasa penasaran saya tiap kali menerima sego berkatan masih terus muncul. Namun sego berkatan makin ke sini, makin jarang ditemui – hanya di acara-acara tertentu. Apalagi sego berkatan yang masih menggunakan bungkus daun jati. Kalaupun ada sego berkatan, umumnya sudah diganti dengan kemasan kardus atau keranjang plastik.
Meski begitu, setiap ada sego berkatan yang hadir di rumah, kegiatan membagikan sego berkatan ke seluruh anggota keluarga masih terus saya nantikan. Kali ini, posisi Nenek sudah digantikan Ibu. Beliau yang kini mengemban tugas mengatur distribusi sego berkatan di rumah.
“Tunggu lauknya dibagi rata dulu, baru boleh makan. Biar berkahnya rata,” perintah Ibu tak bosan-bosannya pada saya dan Kakak. Beliau dengan sigap memindahkan ayam goreng, oseng so’un, sambal goreng, telur rebus dan segala lauk lainnya ke piring.
Perihal kebiasaan membagi sego berkatan sejak saya kecil hingga sekarang, bukanlah sekadar tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bagi saya, ini adalah perwujudan pemberian contoh tentang berkah, dari generasi yang lebih tua kepada yang lebih muda.
Maka kedatangan sego berkatan di rumah bukan lagi jadi sekadar hak individu, tapi lebih kepada datangnya keberkahan bagi seluruh penghuni rumah. Mulai dari jumlah nasinya yang “kadang kurang bagi satu orang, kadang kebanyakan”, hingga komposisi jumlah lauk yang sering tak proporsional.
Jadi, apa yang Nenek dan Ibu lakukan, yakni membagi isian sego berkatan, menjadi bukan hanya soal membagi rata nasi dan lauk pauk, tetapi juga perkara membagi berkah untuk seluruh anggota rumah. []
Editor: Nuran Wibisono