tirto.id - Kabar kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite dan Solar semakin kencang. Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia, dan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terus memberikan sinyal kepada masyarakat agar bersiap.
Dalam catatan Tirto, Jokowi sering mengeluhkan besaran subsidi yang membengkak pada tahun ini. Saat itu, kepala negara curhat bahwa subsidi BBM membuat APBN berat. Karena harus menanggung biaya pembelian BBM seperti Pertalite, Pertamax, dan Solar.
"Sampai kapan kita bisa bertahan dengan subsidi sebesar ini? Kalau kita nggak ngerti, kita tidak merasakan betapa sangat beratnya persoalan saat ini," keluh Jokowi kala itu.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengatakan besaran subsidi energi dialokasikan saat ini begitu besar jika dibandingkan dengan negara lain. Merujuk data Badan Energi Dunia (IEA) pada 2020 menunjukkan Indonesia sebagai negara urutan ke-8 terbesar yang memberikan anggaran subsidi energi. Sementara di urutan pertama ada Iran, diikuti Cina dan India.
"Gede sekali tapi apakah angka Rp502 triliun itu terus kuat kita pertahankan? Kalau bisa Alhamdulilah artinya rakyat tidak terbebani. tetapi kalau APBN tidak kuat bagaimana?" kata Jokowi di Istana, Jakarta, Jumat lalu.
Namun jika APBN tidak kuat, maka seluruh masyarakat harus mengerti dan memahami. Terlebih negara-negara lain harga BBM-nya sudah berada di Rp17.000 - Rp18.000 per liter atau dua kali lipat dari harga bahan bakar di Indonesia.
"Iya memang harga keekonomiannya seperti itu," ungkap Jokowi.
Kenaikan Harga Minyak Mentah Indonesia
Tak lama berselang, sinyal kenaikan BBM subsidi kembali disampaikan oleh Bahlil. Salah satu penyebab dan urgensi pemerintah menyesuaikan harga BBM karena rata-rata kenaikan harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) sudah berada di atas 106,73 dolar AS per barel di Juli 2022. Angka itu melesat dari proyeksi awal ditetapkan pemerintah di dalam APBN 2022 yang hanya sebesar 63 - 70 dolar AS per barel.
Bahlil menuturkan adanya gap tersebut otomatis akan membuat APBN jebol. Karena dalam hitungannya, jika hari ini minyak mentah berada di 100 dolar AS per barel saja, maka pemerintah akan menanggung biaya subsidi mencapai Rp500 triliun.
Namun, jika harga minyak berada di level 105 dolar AS per barel dengan asumsi kurs dolar di APBN rata-rata Rp14.750 dan kuota Pertalite bertambah menjadi 29 juta Kilo Liter (KL) dari kuota 23 juta KL, maka subsidi yang harus ditanggung pemerintah bisa tembus hingga Rp600 triliun.
"Karena Rp500 - Rp600 triliun sama dengan 25 persen total pendapatan APBN kita dipakai untuk subsidi. Dan ini menurut saya agak tidak sehat jadi mohon pengertian baiknya," ujar Bahlil.
Untuk tahun ini, pemerintah sendiri hanya menyiapkan alokasi subsidi energi sebesar Rp502 triliun dari APBN. Subsidi ini meningkat tajam dari anggaran subsidi energi awal yang 'hanya' Rp134,03 triliun. Besaran subsidi juga menjadi yang tertinggi sejak beberapa tahun terakhir.
Pada 2014, subsidi energi sempat menyentuh Rp341,8 triliun, dan selanjutnya subsidi energi berada di bawah Rp200 triliun. Bahkan pada 2017 subsidi energi berada di Rpp97,6 triliun, menjadi terendah sejak 2005.
Lebih lanjut, dia meminta kepada masyarakat untuk bersiap-siap jika kemungkinan terjadi penyesuaian harga BBM subsidi dalam waktu dekat. Terlebih penyesuaian ini dilakukan bertujuan untuk sedikit meringankan beban APBN 2022.
"Rasa-rasanya untuk menahan terus dengan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) seperti sekarang, feeling saya harus kita siap-siap, kalau kenaikan BBM itu terjadi," ujarnya.
Jokowi akan Umumkan Kenaikan Harga BBM
Terbaru, Luhut bahkan menyebut Jokowi akan mengumumkan kenaikan harga BBM pada minggu ini. Menurut presiden, kata Luhut, pemerintah tidak bisa terus mempertahankan harga Solar dan Perrtalite di harga saat ini.
"Itu modelling ekonominya saya kira sudah dibuat, nanti mungkin minggu depan Presiden akan mengumumkan mengenai apa, bagaimana, mengenai kenaikan harga ini," katanya dikutip Antara, Jakarta, Jumat (19/8/2022).
"Jadi Presiden sudah mengindikasikan tidak mungkin kita pertahankan terus demikian, karena kita harga BBM termurah se-kawasan ini. Kita jauh lebih murah dari yang lain dan itu beban terlalu besar kepada APBN kita," tambahnya.
Luhut mengakui Indonesia sudah cukup baik menjaga laju inflasi di level yang terkendali saat ini. Inflasi Indonesia pada Juli 2022 tercatat sebesar 4,94 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
Inflasi Indonesia masih lebih rendah dari sejumlah negara lain seperti Amerika Serikat yang mencapai 8,5 persen, Uni Eropa sebesar 8,9 persen, bahkan Turki sudah mencapai 79,6 persen. Namun, capaian inflasi ini melebihi dari batas atas sasaran tiga persen plus minus satu persen.
Luhut pun telah meminta timnya untuk membuat modelling kenaikan inflasi. Menurut dia, meski saat ini masih tergolong terkendali, laju inflasi akan sangat bergantung pada kenaikan Solar dan Pertalite yang masih disubsidi pemerintah.
Tidak hanya itu, dia juga meminta kepada masyarakat bersiap untuk kemungkinan adanya kenaikan harga BBM. Pasalnya, pemerintah juga harus menekan terus meningkatnya beban subsidi di APBN.
"Karena bagaimanapun, tidak bisa kita pertahankan demikian. Jadi tadi, mengurangi pressure (tekanan) ke kita karena harga crude oil (minyak mentah) naik, itu kita harus siap-siap," pintanya.
Luhut mengungkapkan, kenaikan harga Pertalite dan solar menjadi satu dari sejumlah strategi untuk bisa menekan beban subsidi, selain pengurangan mobil-mobil berbahan bakar fosil dengan kendaraan listrik, dan implementasi B40.
"Subsidi kita kemarin Rp502 triliun, kita berharap kita bisa tekan ke bawah, tadi dengan pengurangan mobil-mobil combustion, diganti dengan listrik, kemudian B40, serta menaikkan harga Pertalite yang kita subsidi cukup banyak dengan solar," pungkas Luhut.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin