Menuju konten utama

Sebelum Dibeli Elon Musk, Twitter Jadi Rebutan Para Pendirinya

Sejak didirikan pada 2006, posisi Direktur Utama Twitter selalu menjadi rebutan. Sebelum Elon Musk, Twitter silih berganti dikendalikan oleh 5 CEO berbeda.

Sebelum Dibeli Elon Musk, Twitter Jadi Rebutan Para Pendirinya
Logo Twitter muncul di atas pos perdagangan di lantai Bursa Efek New York, Senin, 29 November 2021. Elon Musk mengambil 9,2% saham di Twitter. Musk membeli sekitar 73,5 juta saham, menurut pengajuan peraturan. AP/Richard Drew

tirto.id - Tak lama setelah dibeli Elon Musk seharga $44 miliar, kekacauan menyelimuti Twitter. Bos baru ini melakukan sejumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan tergesa-gesa.

Sebagaimana dituturkan Kate Conger untuk The New York Times, setengah karyawan Twitter atau sekitar 3.700 orang, mayoritas mengetahui nasibnya melalui pemblokiran akses email perusahaan.

Meski demikian, akses terhadap peralatan digital lain, terutama Slack, masih bisa digunakan. Hal ini membuat suasana menjadi keruh dan mencemaskan di pelbagai kantor Twitter.

Ketika surat pemberitahuan resmi akhirnya muncul pada malam hari, sebagian karyawan harus rela terusir dari perusahaan di tengah-tengah rapat yang sedang diikuti.

Bagi karyawan yang bekerja di luar AS, pemberitahuan tersebut tiba di waktu yang tak etis, seperti yang menimpa Chris Younie, karyawan divisi kerjasama Twitter asal London.

Melalui akun Twitternya, dengan sinis Younie menyebut bahwa "[Saya] sangat bersyukur [pemecatan] ini terjadi pada pukul 3 pagi. [Saya] sangat terkesima dengan perhatian [perusahaan] dalam pengaturan waktu [pemecatan] ini, teman-teman."

Mencoba membantu Elon Musk teralihkan dari kemarahan karyawan Twitter, Jack Dorsey, salah satu pendiri sekaligus mantan Direktur Utama Twitter, mengklaim bertanggung jawab.

Memperoleh uang sekitar $1 miliar atas pembelian Twitter oleh Musk, Dorsey menyebut bahwa kesembronoan PHK terjadi gara-gara dirinya terlalu cepat mengembangkan perusahaan.

"Saya bertanggung jawab atas mengapa semua orang (karyawan Twitter) berada dalam situasi ini," tegas Dorsey.

Pernyataan ini, ironisnya, tak hanya berlaku bagi karyawan terdampak keputusan Musk, tetapi juga para pendiri Twitter lain yang dikudeta Dorsey. Mereka terusir dari Twitter karena ketidakjelasan siapa sesungguhnya otak di balik kemunculan Twitter.

Twitter: Dari Kudeta ke Kudeta

Seperti mayoritas anak-anak Amerika Serikat angkatan 1970-an dan 1980-an, Christopher "Biz" Stone menghabiskan waktu masa kecilnya dengan mengutak-atik komputer. Menggunakan komputer Apple II milik temannya, Biz membuat pelbagai peralatan aneh.

Contohnya, dengan aplikasi olah gambar bawaan Apple II yang dimanfaatkan untuk membuat rancang-bangun, Biz berhasil menciptakan peralatan scuba (menyelam) yang terbuat dari botol Coca-Cola.

Namun kegemarannya mengutak-atik komputer untuk merancang peralatan aneh ironisnya tak dilakukan dengan senang hati. Melainkan upaya kabur dari keganasan ayahnya yang sering menyiksa ibunya Biz.

Di sela-sela ketiadaan sang ayah karena bekerja, Biz sering kali mengeluarkan candaan atau guyonan untuk menghibur ibunya. Kemampuan ini membuat Biz memperoleh pekerjaan.

Pada akhir 1990-an, Biz dipekerjakan oleh Xanga, salah satu layanan blog, sebagai perancang strategi komunikasi dan komunitas. Dia dianggap mampu mengerjakan tugas itu karena kemampuannya dalam bergurau.

Namun, karena Xanga kemudian semakin tak etis memanfaatkan data pengguna, Biz tak kerasan. Pada 2001, dia memutuskan keluar dari pekerjaan pertamanya itu. Saat menganggur, Biz menemukan lowongan pekerjaan di Blogspot, layanan blog yang diakuisisi Google dari pendirinya, Evan "Ev" William.

Pada 2003, dengan menyertakan guyonan, Biz mengirim surat lamaran kepada Blogspot. Menyebut bahwa dirinya adalah "anggota band yang hilang" yang sudah sepantasnya ditemukan Blogspot, membuat Ev terperdaya untuk memproses lamaran tersebut.

Setelah saling berbalas email dan melakukan wawancara via telepon, Ev memutuskan untuk menerima Biz. Namun karena Biz tak memiliki ijazah S1, terutama tak memiliki kemampuan pemrograman, keputusan Ev ditentang Google.

Beruntung, karena Ev bersikeras lalu melakukan intrik politik dengan petinggi Google, maka Biz akhirnya diterima Google. Namun pekerjaan ini uniknya justru ditolak Biz dan membuatnya menjadi orang pertama di dunia yang menolak tawaran pekerjaan dari Google.

Alasan Biz sederhana. Dia tak mau pergi dari tempat tinggalnya di Bostos ke California (markas besar Google) karena takut naik pesawat. Dalam tempo singkat, Google memperbarui tawaran pekerjaannya dengan menaikkan gaji yang hendak diberikan. Namun Biz lagi-lagi menolak tawaran tersebut.

Setelah tiga kali tawaran diperbarui dengan nilai gaji yang kian menjulang, Biz akhirnya mau menerima. Ia berkelakar di blog pribadinya bahwa "Google Inc. telah mengakuisisi seluruh staf dan properti intelektual Genius Labs, perusahaan blog asal Boston yang sepenuhnya dikerjakan oleh Biz Stone. Nilai dan syarat akuisisi tak dipublikasikan."

Biz kemudian tersadar bahwa terdapat celah atau jarak antara seluruh lini Google dengan Blogspot. Lahir sebagai proyek sampingan Ev, Blogspot tak memiliki "budaya korporat", yang tentu saja berseberangan dengan cara hidup Google.

Keadaan ini membuat Blogspot bak jalan sendirian. Ketika Ev mengundurkan diri dari Google, jarak ini semakin lebar, yang akhirnya membuat Biz untuk ikut mengundurkan diri.

Setelah mundur dari Google, mulanya Ev hendak bersenang-senang dalam rangka pensiun muda. Namun, sebagaimana dituturkan Nick Bilton dalam Hatching Twitter: A True Story of Money, Power, Friendship, dan Betrayal (2013), Ev kemudian bertemu dengan tetangganya, Noah Glass, yang memiliki ide brilian soal pembentukan startup.

Glass yang saban harinya mengutak-atik radio memiliki ide untuk mengembangkan aplikasi audio, podcast, alias Blogspot versi suara bernama AudBlog. Saat bertemu Evan "Ev" William, ia langsung mengutarakan idenya, berharap Ev mau membiayai ide tersebut.

Terlena dengan pelbagai publikasi media yang menyebut dirinya sebagai "ksatria baru dunia teknologi", Ev teperdaya. Maka, sembari menikmati masa pensiunnya, Ev setuju membiayai AudBlog dan membuat Glass mendirikan startup bernama Odeo.

Karena Glass tak memiliki pengalaman di dunia startup, Odeo jalan di tempat. Hanya berselang bulan, Glass meminta dana baru. Tak mau melihat Odeo mati, Ev mengiyakan permintaan Glass dengan satu syarat: Ev menjadi pemimpin Odeo.

Ev kemudian membentuk tim baru dan meminta Biz ikut bersamanya. Tak berselang lama, saat bertemu secara tak sengaja di sebuah kafe, Jack Dorsey juga bergabung bersama Odeo.

Ev, Glass, Biz, dan Dorsey akhirnya menjadi punggawa utama Odeo. Meski akhirnya mereka berempat berhasil mengembangkan aplikasi podcast terbaik di zamannya, Odeo gagal berkembang.

Musababnya, sebagaimana penuturan Steven Levy dalam buku The Perfect Thing: How the iPod Shuffles Commerce, Culture, and Coolness (2006), Apple telah memiliki aplikasi sendiri guna menyebarluaskan podcast dalam iPod.

Infografik Twitter

Infografik Twitter. tirto.id/Mojo

Tak mau Odeo mati mengenaskan, mereka kemudian melakukan "hackathon", mencoba melahirkan ide baru selain podcast. Dalam masa-masa sulit itu, Dorsey tak sengaja menyebut bahwa microblogging atau mengabarkan status via teks terbatas merupakan masa depan.

Hal ini menurutnya mungkin akan populer karena tak menuntut penggunanya menulis panjang seperti blog atau merilis foto--karena ponsel belum terlalu berkembang kala itu. Ide ini lantas disambar oleh Glass dengan menyebut nama "twttr" atau Twitter, dan disambar pula oleh Biz dengan gambar burung biru.

Ev setuju. Maka dari abu Odeo terbentuklah Twitter. Aplikasi ini perlahan populer terutama setelah para aktivis Arab Spring menggunakannya untuk menyerukan perubahan politik.

Dan kian menjadi-jadi setelah gerilya yang dilakukan Biz. Ia rutin berkunjung ke para politikus berbagai negara untuk mau menggunakan Twitter--memanfaatkan guyonannya.

Di tengah popularitas Twitter yang kian menanjak, keempat pendirinya berebut mengklaim diri sebagai otak utama di balik Twitter. Ev dengan uangnya, Glass dengan ide awalnya (Odeo), Biz dengan logo dan gerilyanya, Dorsey dengan ide microblogging-nya.

Mengutip Nick Bilton dalam Hatching Twitter: A True Story of Money, Power, Friendship, dan Betrayal (2013), keempat pendiri ini akhirnya saling sikut, berebut posisi Direktur Utama Twitter. Bahkan, di masa-masa awal kepopularan Twitter, nama Glass sempat menghilang, tak diakui sebagai pendirinya.

Sejak didirikan pada 2006, posisi Direktur Utama Twitter memang selalu menjadi rebutan. Setelah berhasil mengusir Glass, posisi ini mula-mula dijabat oleh Dorsey, lalu direbut oleh Ev. Dan atas kendali Dorsey, anak buahnya bernama Dick Costolo merebut kekuasaan yang dimiliki Ev, untuk kemudian diserahkan kepada Dorsey.

Tak suka Dorsey berkuasa atas Twitter, Ev dan Biz kemudian bergerilya mengusirnya dengan memasukkan nama Parag Agrawal. Artinya, sejak berdiri hingga pembelian Twitter oleh Elon Musk, Twitter dikendalikan silih berganti oleh lima direktur.

Jumlah yang kelewat banyak jika dibandingkan dengan Microsoft, Netflix, Google, dan Facebook--yang sejak lahir hingga kini hanya dipegang satu orang, Mark Zuckerberg.

Baca juga artikel terkait TWITTER atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi