tirto.id - Praktik penahanan ijazah oleh perusahaan belakangan ini tengah menjadi sorotan publik seiring dengan mencuatnya kasus dengan isu itu di Surabaya, Jawa Timur. Padahal, kasus tersebut bukan satu-satunya yang terjadi di Indonesia.
Pakar hukum menilai kebijakan penahanan ijazah tidak hanya merugikan para pekerja tetapi juga melanggar hak asasi manusia dan memberikan gambaran ketidakadilan dalam pola hubungan kerja yang masih marak terjadi di lapangan.
Sekilas terkait kasus di Surabaya, pengusaha yang disorot karena menahan ijazah karyawannya adalah Jan Hwa Diana. Pemilik perusahaan UD Sentosa Seal, yang berlokasi di komplek pergudangan Suri Mulia Permai Margomulyo, Surabaya itu, menjadi viral setelah Wakil Walikota Surabaya, Armuji, melakukan penyidakan di perusahaan tersebut terkait kasus penahanan ijazah pegawai.
Orang nomor dua di Surabaya itu bahkan membuat video mengenai penyidakan itu di Instagram pribadinya, @cakj1, pada Kamis (10/4/2025).
Dalam video itu, Armuji menjelaskan telah mendapatkan laporan dari Nila Hadiyanti, salah seorang pegawai di perusahaan tersebut, yang ijazahnya ditahan karena ingin mengundurkan diri. Itulah mengapa, pria yang akrab disapa Cak Ji itu, berniat meminta perusahaan tersebut mengembalikan ijazah pegawai yang telah ditahannya.
Dalam kasus ini, Pemkot Surabaya mengaku telah memperoleh laporan bahwa ada 31 mantan karyawan yang telah ditahan ijazahnya oleh Diana. Pemkot Surabaya bahkan membentuk Posko Pengaduan Penahanan Ijazah pada Jumat (18/4/2025).
Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, juga turun tangan menangani kasus ini. Khofifah memastikan akan mengurus penerbitan ulang ijazah para pekerja yang ditahan, khususnya untuk jenjang SMA/SMK yang, menurut dia, menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Solusi ini, kata Khofifah, menjadi wujud bahwa negara hadir di tengah persoalan dan polemik yang dihadapi masyarakat. Tak hanya demikian, solusi ini sekaligus memberikan ketenangan pada para pekerja.
Kasus Serupa Lain Tersingkap
Kasus penahanan ijazah oleh perusahaan yang terjadi di Surabaya ini seolah menjadi pintu masuk yang membuka tabir kasus serupa lainnya. Tak perlu menunggu waktu lama, dugaan kasus penahanan ijazah oleh perusahaan juga terungkap di Pekanbaru, Riau.
Hal itu terungkap saat Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke perusahaan tour & travel di Jalan Teuku Umar, Pekanbaru, Rabu (23/4/2025). Perusahaan itu diduga menahan 12 ijazah mantan karyawannya.
Alasan perusahaan itu menahan ijazah adalah sebagai jaminan apabila ada barang perusahaan yang hilang. Namun, hingga 12 orang tersebut berhenti bekerja, perusahaan tak kunjung mengembalikan ijazah yang ditahan.
"Penahanan ijazah ini hal yang salah dan menyebabkan mantan pekerja susah melamar pekerjaan ke tempat lain, jadi menganggur," kata Immanuel.

Para mantan pekerja mengaku menyerahkan ijazah kepada petinggi perusahaan bernama Gozali. Namun, hingga beberapa waktu, Immanuel tidak dapat menemui perwakilan pihak perusahaan yang bertanggung jawab atas hal ini.
Immanuel pun mendesak perusahaan segera mengembalikan ijazah kepada pemiliknya. Apabila tidak kunjung dikembalikan, perusahaan tour & travel itu terancam disegel oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Riau.
Kasus penahanan ijazah oleh tempat kerja juga pernah terjadi di tahun 2023 lalu. Seturut pemberitaan Detik, Yogi Putra Siregar, mantan karyawan perusahaan scaffolding di Gresik, mengadukan mantan perusahaan tempatnya bekerja karena diklaim menahan ijazahnya.
Seperti yang diceritakan Yogi, setelah bekerja selama delapan tahun, ia diminta mengundurkan diri dan mengalami kesulitan dalam mendapatkan kembali ijazahnya. Selama tiga bulan setelah pengunduran diri, ia tidak dapat mencari pekerjaan baru karena ijazahnya ditahan.
Mundur ke tahun 2019, Yitno, seorang mantan karyawan PT PT United Waru Biscuit Manufactory (UBM), yang bekerja selama 15 tahun, menggugat perusahaan tersebut setelah ijazahnya tidak dikembalikan setelah mengundurkan diri.
Melansir pemberitaan RMOL, Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) diajukan Yitno pada 2019, dan Mahkamah Agung menolak kasasi PT UBM, memerintahkan perusahaan untuk membayar ganti rugi sebesar Rp150 juta.
Sekretaris Jenderal Persatuan Seluruh Buruh Indonesia, Fatkhul Khoir, mengatakan bahwa kasus penahanan ijazah yang terjadi di Surabaya belum lama ini sebenarnya adalah fenomena gunung es. Sepanjang dia mengadovokasi kasus-kasus perburuhan, ia mengaku kerap menemui masalah penahanan ijazah pegawai oleh perusahaan, kendati tak pernah mendatanya secara spesifik.

Ia juga menganggap bahwa solusi yang ditempuh oleh Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim bisa dibilang reaktif. Sebab, tidak menyelesaikan akar persoalan dari penahanan ijazah pegawai oleh perusahaan.
“Kalau hanya menyediakan posko pengaduan saja tentu tidak cukup. Karena pihak Pemkot Surabaya hanya menunggu saja. Begitu juga dengan penerbitan ulang ijazah oleh Pemprov Jatim, itu juga tak cukup. Sebab, tentu tidak memberikan efek jera bagi perusahaan,” kata dia.
Ia menambahkan, “Perusahaan tak peduli buruh punya ijazah baru, yang penting ijazahnya yang lama masih sama dia. Kalau mau, berdasarkan Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 42, Pemkot Surabaya ataupun Pemprov Jatim harus melakukan pemeriksaan total terhadap seluruh perusahaan, baik di Surabaya maupun Jawa Timur terkait kasus penahanan ijazah."
Lantas, bagaimana dasar hukum yang mengatur soal ini? Bolehkah perusahaan menahan ijazah karyawan?
Penahanan Ijazah Langgar Prinsip Kebebasan Bekerja
Pakar hukum dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (UNAIR) Prof Dr M Hadi Shubhan, menyatakan bahwa dari perspektif hukum, penahanan ijazah oleh perusahaan dapat dikategorikan sebagai bentuk tindakan pemaksaan yang melanggar prinsip kebebasan bekerja.
“Penahanan ijazah oleh pengusaha jelas merugikan pekerja. Ijazah merupakan dokumen pribadi yang melekat pada individu, sehingga seharusnya tidak boleh ditahan,” ujarnya seperti yang dilansir dari laman resmi Unair, Rabu (23/4/2025) .
Lebih lanjut, Prof Hadi menjelaskan praktik penahanan ijazah dapat berdampak serius terhadap mobilitas sosial pekerja, terutama bagi mereka yang ingin mengembangkan karier atau meningkatkan kualitas hidup.
“Dampaknya sangat signifikan terhadap pekerja. Mereka bisa terkekang di perusahaan tempat mereka bekerja saat ini dan tidak dapat dengan mudah berpindah kerja ke tempat lain,” ungkapnya.
Soal ini, ia menambahkan bahwa tindakan penahanan ijazah oleh perusahaan bisa dikategorikan sebagai bentuk pemaksaan dari pengusaha terhadap pekerja. Menurutnya, kondisi ini terjadi karena posisi pekerja dalam hubungan pola ketenagakerjaan seringkali lemah serta dalam posisi yang terdesak untuk mendapatkan pekerjaan.
“Pekerja dipaksa karena kondisi yang mendesak dan kebutuhan akan pekerjaan. Jika tidak menuruti keinginan pengusaha, mereka terancam diberhentikan,” ungkapnya.
Berkaca dari sejumlah kasus tersebut, bagaimana aturan hukum yang mengatur penahanan ijazah oleh perusahaan ini?
Kekosongan Hukum Aturan Larangan Penahanan Ijazah
Prof Hadi dari Unair menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada regulasi nasional yang secara eksplisit mengatur mengenai penahanan ijazah dalam hubungan kerja. Oleh karena itu, menurutnya, ada urgensi untuk menyusun regulasi yang lebih tegas dan jelas terkait hal ini.
“Kalau regulasi secara nasional, seperti dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Menteri, memang belum ada. Namun, khusus di Jawa Timur, terdapat aturan dalam Perda No. 8 Tahun 2016. Dalam Pasal 42 perda tersebut disebutkan bahwa pengusaha dilarang menahan dokumen pribadi milik pekerja seperti KTP, SIM, KK, dan ijazah,” jelasnya.
Sebagai informasi, Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan mengatur dengan tegas larangan bagi perusahaan untuk menahan dokumen asli yang sifatnya melekat kepada pekerja sebagai jaminan.
Dokumen asli yang dimaksud mencakup: Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), Akte kelahiran, Kartu Keluarga, paspor, ijazah dan sertifikat, atau dokumen lainnya yang melekat pada pekerja/buruh.
"Pengusaha dilarang menahan atau menyimpan dokumen asli yang sifatnya melekat pada pekerja/buruh sebagai jaminan,” bunyi Pasal 42 aturan tersebut
Selain Jawa Timur, daerah lain yang memiliki Peraturan Daerah yang melarang penahanan ijazah adalah Kota Balikpapan.
Pasal 34 ayat 1 Peraturan Daerah Kota Balikpapan Nomor 5 Tahun 2023 menyebutkan bahwa pengusaha dilarang menahan atau menyimpan dokumen asli milik pekerja sebagai jaminan. Jika pengusaha melanggar ketentuan ini, dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dokumen asli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi ijazah pendidikan, bunyi ayat 2 di pasal yang sama.
Sementara untuk level nasional, berdasarkan penelusuran Tirto, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memang tidak secara eksplisit menyebutkan larangan penahanan ijazah oleh perusahaan. Namun, praktik tersebut bertentangan dengan semangat dan prinsip perlindungan hak pekerja yang diatur dalam undang-undang ini.
Dosen Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Nabiyla Risfa Izzati, menyebut secara nasional dalam hal ini, Undang-Undang Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya memang tidak memuat pasal dan aturan yang secara eksplisit melarang perusahaan untuk melakukan penahanan ijazah.
Meski begitu, tidak ada peraturan yang secara eksplisit melarang bukan berarti kemudian penahanan ijazah ini menjadi sesuatu yang seharusnya dinormalisasi atau menjadi sesuatu yang dibenarkan dalam kacamata nasional.
“Secara umum penahanan ijazah berpotensi untuk menyebabkan terjadinya posisi hubungan kerja yang menjadi semakin tidak imbang, dalam hal ini ada konteks pemaksaan yang mungkin terjadi,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Senin (28/4/2025).
Ia menambahkan, meski ada kekosongan hukum secara eksplisit terkait aturan larangan penahanan ijazah oleh perusahaan namun hal ini tidak lantas bisa diartikan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang dibolehkan.
Soal ini, ia mengambil contoh banyak daerah yang pada akhirnya mengisi kekosongan hukum tersebut dengan membuat peraturan daerah (Perda) yang secara eksplisit menekankan larangan adanya penahanan ijazah, di antaranya seperti Jawa Timur.
“Pada dasarnya seharusnya tidak ada hal, tidak ada kewajiban, tidak ada yang kemudian memperbolehkan adanya penahanan dokumen-dokumen penting pekerja hanya agar dia bertahan dalam suatu hubungan kerja tertentu,” ujarnya.
Nabiyla menjelaskan secara konteks hukum nasional imbas ketiadaan aturan yang secara eksplisit melarang perusahaan untuk menahan ijazah menyebabkan tidak ada sanksi hukum dalam hal ini, sanksi pidana atau sanksi administrasi yang secara langsung bisa diberikan kepada perusahaan yang melakukan hal tersebut.
Namun, di daerah-daerah yang punya peraturan daerah yang mengatur soal larangan penahanan ijazah, sanksi hukumnya menjadi ada tergantung dengan ketentuan yang ada di peraturan daerah masing-masing.
“Contoh di Jawa Timur kemarin, karena dia ada larangannya maka kemudian menjadi ada sanksi yang bisa diberikan kepada perusahaan yang tetap melakukan penahanan ijazah,” ujarnya
Nabiyla menambahkan, dalam konteks ketenagakerjaan penting bagi pemerintah memiliki aturan dasar hukum yang lebih jelas dan tegas melarang adanya penahanan ijazah.
“Karena sepertinya ini praktik yang makin dinormalisasi di lapangan yang mana perlu diantisipasi dengan membuat aturan hukum yang secara eksplisit melarang adanya penahanan ijazah dan memberikan sanksi entah itu sanksi administratif atau sanksi pidana ketenagakerjaan bagi perusahaan yang tetap melakukan,” tutup Nabiyla.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































