Menuju konten utama

SATu Goal: Sepak Bola Bisa Hapus Kesenjangan Gender di Indonesia

SATu Goal adalah seruan bagi kita: Suarakan kesetaraan gender, Apresiasi atlet perempuan, Tumbuhkan edukasi dan diskusi, serta Gabung dengan komunitas.

SATu Goal: Sepak Bola Bisa Hapus Kesenjangan Gender di Indonesia
Header Perspektif Zahra Naqiyyah Primadi. tirto.id/Parkodi

tirto.id - “Perempuan kok main sepak bola?”

Pertanyaan itu sudah tidak asing saya dengar selama 14 tahun menekuni olahraga ini. Reaksi terkejut yang ditunjukkan oleh orang-orang ketika mereka mengetahui bahwa saya bermain sepak bola, membuat saya mempertanyakan, “Memangnya apa yang salah? Bukankah kami, para perempuan, juga mempunyai hak yang sama untuk bermain sepak bola?”

Selama ini, sepak bola identik dengan olahraga yang menunjukkan kekuatan fisik, agresivitas, serta maskulinitas. Ketiganya dinilai bertolak belakang dengan citra perempuan yang lembut dan feminin. Saya tidak sepenuhnya menyalahkan pandangan itu, karena persepsi masyarakat terhadap olahraga telah terbentuk sejak lama dan diwariskan secara turun-temurun.

Dalam “Hegemonic masculinity: Rethinking the concept”, Connell (2005) menjelaskan bahwa olahraga memiliki konteks sejarah dan budaya yang sejak awal menempatkannya sebagai ranah laki-laki, termasuk sepak bola.

Akibatnya, perempuan yang bermain sepak bola sering kali dianggap maskulin dan menentang kodrat. Hal ini memicu marginalisasi serta apresiasi yang rendah terhadap olahraga putri dan para atlet perempuan.

Dalam konteks Indonesia, hal ini juga menyebabkan jumlah partisipan sepak bola putri rendah. Dalam rapat koordinasi Komisi X DPR RI pada 26 Mei 2025, Ketua Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Erick Thohir, menyatakan bahwa saat ini atlet sepak bola putri berjumlah 16.000. Sementara pada 2017, PSSI mencatat ada 64.000 pesepakbola pria yang terdaftar. Artinya, delapan tahun silam, jumlah pesepak bola pria sudah empat kali lebih banyak dibandingkan jumlah pesepak bola putri sekarang.

Ketimpangan ini tidak hanya terlihat pada angka partisipasi. Saat ini, Indonesia memiliki empat kasta liga untuk sepak bola pria yang berjalan rutin, dan masing-masing kasta diikuti lebih dari 15 tim. Sementara liga sepak bola putri yang sempat hadir pada 2019, hingga kini belum digulirkan kembali.

Peluang Menjanjikan Sepak Bola Perempuan

Minimnya kompetisi sepak bola putri serta ketidakpastian masa depan bagi para pemain membuat banyak perempuan merasa ragu untuk terus bermain sepak bola. Saya harus menyaksikan satu per satu teman-teman saya memutuskan untuk berhenti bermain sepak bola, atau tidak diizinkan oleh orang tua mereka karena jenjang karier sepak bola putri di Indonesia masih abu-abu.

Padahal, lapangan pekerjaan yang bisa lahir dari sepak bola sangatlah luas. Tidak hanya pemain, tetapi juga pelatih, manajer, fisioterapis, analis data, dan berbagai profesi lainnya yang menopang ekosistem sepak bola. Sayangnya, hal ini masih belum mendapatkan perhatian yang memadai meskipun sepak bola wanita Indonesia memiliki potensi yang sangat besar.

Berdasarkan data peringkat dunia FIFA tahun 2025, saat ini tim nasional Wanita Indonesia berada di urutan 94 dunia, lebih tinggi daripada tim putra yang berada di urutan 123. Ini merupakan bukti bahwa ketika perempuan diberi kesempatan, mereka mampu bersaing dan mencetak prestasi.

Kekuatan Perubahan

Saya yakin sepak bola memiliki kekuatan besar untuk mengubah ketimpangan ini.

Berdasarkan data dari FIFA, saat ini terdapat sekitar 250 juta pemain tersebar di 200 negara, dan 5 miliar penggemar di seluruh dunia. Statistik tersebut menjadikan sepak bola sebagai olahraga yang paling populer di dunia, termasuk Indonesia.

Jika sepak bola perempuan diberi perhatian, permainan yang selama ini identik dengan dominasi patriarki dapat dijadikan sebagai alat perjuangan kesetaraan yang memberi dampak simbolik dan struktural sangat kuat.

Untuk melakukan perubahan, kita tidak bisa hanya bicara tentang kembali menggulirkan liga profesional. Langkah pertama yang lebih mendasar dan lebih mungkin diwujudkan adalah memulainya dari sekolah. Amerika Serikat adalah contoh yang menunjukkan kekuatan program sekolah dalam membangun fondasi olahraga putri.

Pada tahun 1972, Amerika memberlakukan sebuah undang-undang hak sipil bernama Title IX yang mewajibkan semua sekolah dan universitas yang menerima dana federal untuk memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan dalam semua bidang, termasuk olahraga.

Setiap sekolah harus memiliki tim perempuan, menyediakan fasilitas latihan yang setara, dan membuka jalur beasiswa atlet bagi pemain putri yang berbakat. Selain itu, kompetisi antarsekolah yang rutin digelar menjadi panggung bagi para atlet putri untuk mengasah kemampuan dan menumbuhkan semangat kompetitif.

Hasilnya, partisipasi perempuan di sepak bola melonjak dari hanya 6.635 pemain pada 1974 menjadi 394.100 pada 2019.

Salah satu negara yang juga menanamkan fondasi sepak bola lewat sekolah adalah Jepang. Asosiasi Sepak Bola Jepang (JFA) bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Jepang (MEXT) memasukkan sepak bola ke dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah dasar dan menengah, melatih guru-guru olahraga sebagai pelatih dasar sepak bola, dan aktif mengadakan turnamen antarsekolah.

Indonesia juga bisa melakukan hal yang serupa. Namun, untuk mewujudkan perubahan ini, perlu ada kerja sama yang terjalin antara PSSI, Kemenpora, dan Kemendikdasmen agar sepak bola putri dapat terintegrasi dalam kurikulum sekolah, mulai dari SD, SMP, hingga SMA.

Langkah ini tidak bisa berdiri sendiri. Guru-guru olahraga perlu dilibatkan tidak hanya sebagai pelatih teknik, tetapi juga sebagai agen perubahan yang menanamkan rasa percaya diri dan kebanggaan pada diri siswi mereka. Turnamen antarsekolah perlu rutin diselenggarakan agar anak-anak perempuan memiliki panggung untuk mengasah keterampilan dan membuktikan potensi mereka.

Tak kalah penting, sekolah dan perguruan tinggi juga harus membuka peluang beasiswa atlet bagi pemain putri berbakat, sehingga sepak bola dapat membukakan jalan bagi masa depan pendidikan dan karier mereka. Beasiswa atlet inilah yang menjadi kunci untuk meningkatkan nilai dan popularitas sepak bola putri.

Begitu olahraga membuka pintu ke pendidikan, partisipasi akan bertambah. Orang tua yang semula ragu bakal melihat sepak bola bukan sebagai jalan buntu, melainkan jembatan bagi masa depan anak perempuan mereka.

Di Amerika Serikat, beasiswa atlet telah melahirkan banyak pemain profesional dan anggota tim nasional, seperti Alex Morgan dan Megan Rapinoe. Ketika sekolah, turnamen, dan beasiswa menjadi satu ekosistem, minat akan tumbuh, popularitas meningkat, dan sponsor serta media hadir, karena mereka melihat adanya pasar, sumber pendapatan, dan keberlanjutan.

Dimulai dari Kita

Body artikel Bakti Djarum Foundation 8

Finalis Zahra Naqiyyah Primadi saat melakukan presentasi di Essay Contest Beswan Djarum 2024/2025. FOTO/dok.Bakti Djarum Foundation

Langkah besar ini tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan di tingkat pusat. Kita, sebagai masyarakat, juga punya peran untuk mendorong kolaborasi ini agar benar-benar terwujud dengan SATu Goal, yang merupakan singkatan dari Suarakan kesetaraan gender, Apresiasi atlet perempuan, Tumbuhkan edukasi dan diskusi, serta Gabung dengan komunitas.

Wujud kontribusi ini bisa dilakukan lewat aksi-aksi sederhana, seperti mengampanyekan kesetaraan gender di media sosial, memberikan apresiasi dan dukungan pada atlet perempuan di sekitar kita, atau menjadi penonton di pertandingan sepak bola putri lokal.

Bahkan, hal sederhana seperti berdiskusi dengan teman atau keluarga tentang pentingnya kesetaraan gender dalam olahraga dapat menjadi awal perubahan sudut pandang untuk mematahkan stereotip bahwa sepak bola adalah olahraga laki-laki.

Selain itu, kita bisa bergabung atau mendukung komunitas sepak bola putri lokal dengan menjadi relawan dalam turnamen, atau terlibat langsung dalam kegiatan pelatihan seperti yang saat ini sedang saya lakukan.

Saya dan tim menjalankan program pelatihan sepak bola perempuan tanpa biaya, yang tidak hanya fokus pada aspek teknis, tetapi juga membekali mereka dengan pendidikan karakter dan keterampilan hidup, serta pelatihan Bahasa Inggris sebagai bekal masa depan mereka.

Saya menyaksikan sendiri bagaimana perhatian yang diberikan lewat sepak bola tidak hanya membuat mereka menjadi lebih percaya diri di lapangan, tetapi juga membuka jalan untuk meraih prestasi, menjadi pribadi yang mandiri, dan menyadari bahwa mereka memiliki nilai yang besar sebagai individu.

Sepak bola menjadi medium untuk membentuk ketangguhan, keberanian, serta harapan baru bagi perempuan-perempuan muda yang selama ini mungkin merasa tak punya ruang untuk berkembang.

Semua langkah tersebut menjadi bagian dari membangun fondasi yang kokoh bagi masa depan sepak bola putri di Indonesia. Semakin banyak orang menunjukkan minat, maka lembaga-lembaga seperti PSSI, Kemenpora, dan Kemendikdasmen akan semakin terdorong untuk menanggapi aspirasi ini dengan serius.

Dengan memberikan kepercayaan dan kesempatan yang setara pada perempuan, mereka akan semakin percaya diri untuk bermain sepak bola. Sepak bola pun bisa menjadi sebuah wadah bagi mereka untuk meningkatkan nilai diri, membuka peluang ekonomi, bahkan menginspirasi orang lain.

Pemberian ruang yang setara bagi perempuan dalam sepak bola tidak hanya akan berdampak pada peningkatan jumlah partisipasi, tetapi juga aspek budaya. Semakin banyak perempuan yang hadir dalam ruang yang selama ini didominasi oleh laki-laki, masyarakat pun akan semakin terbiasa melihat pesepakbola putri, sehingga pandangan diskriminatif akan terkikis dan digantikan dengan pengakuan dan apresiasi.

Jika kesetaraan bisa tumbuh di ruang yang selama ini maskulin, ia bisa menjadi simbol kuat bagi perjuangan di ruang-ruang lain. Terlebih, sepak bola sebagai olahraga paling populer saat ini memiliki peluang lebih besar untuk memengaruhi pandangan di masyarakat.

Saya percaya, perubahan ini adalah impian banyak perempuan Indonesia yang sedang atau ingin bermain sepak bola, dan impian itu pantas kita wujudkan bersama. Saya pun meyakini bahwa perubahan besar selalu dimulai dari langkah-langkah kecil yang kita berani ambil.

Dimulai dari sekolah sebagai fondasi utama dan diiringi dukungan penuh dari masyarakat, kita dapat membangun sebuah generasi yang bukan hanya berani bermain, tetapi juga berani bermimpi dan menjadi pemimpin.

Mari, mari, kita menulis ulang cerita ‘perempuan kok main sepak bola’ menjadi ‘perempuan memang pantas main sepak bola!’

*Penulis adalah mahasiswa jurusan Ilmu Keolahragaan Universitas Pendidikan Indonesia, penerima Djarum Beasiswa Plus (Beswan Djarum) 2024/2025. Tirto.id bekerjasama dengan Djarum Foundation menayangkan 16 Finalis Nasional Essay Contest Beswan Djarum 2024/2025. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.

Baca juga artikel terkait BESWAN DJARUM atau tulisan lainnya dari Zahra Naqiyyah Primadi

tirto.id - Kolumnis
Penulis: Zahra Naqiyyah Primadi
Editor: Zulkifli Songyanan