tirto.id - Pada 21 Maret 2017 lalu, diwartakan Independent, pelatih Manchester United, Jose Mourinho mengeluhkan sikap para pemain muda. Menurutnya, pemain muda zaman sekarang -- meski sudah berusia 23 tahun -- belum layak disebut sebagai laki-laki.
“Hari ini saya memanggil mereka ‘anak-anak’ bukan sebagai ‘laki-laki’. Karena saya berpikir bahwa mereka adalah anak-anak nakal dan bahwa apa yang mengelilingi mereka saat ini tidak membantu kehidupan mereka maupun pekerjaan saya. Saya harus menyesuaikan diri dengan semua itu,” tutur Mourinho.
“Sepuluh tahun yang lalu, tidak ada pemain yang membawa ponsel ke ruang ganti. Itu sudah tidak lagi terjadi. Tetapi Anda harus mau menerimanya, karena jika Anda menentangnya, Anda akan membawa konflik dan akan menempatkan diri Anda ke dalam zaman batu.”
Kritikan itu memang ditujukan untuk umum, tapi jika melihat bagaimana Mourinho beberapa kali mengkritik pemain-pemain muda United, mulai Luke Shaw, Marcus Rashford, Martial, hingga Paul Pogba, menjadi jelas ke mana arah pembicaraan Mourinho tersebut.
Yang menarik, kritikan itu sebetulnya juga dapat menyerang Mourinho sendiri secara telak. Sebagai seorang pelatih, Mourinho adalah seorang pelatih yang memiliki ego luar biasa besar. Sebuah ego yang berulangkali berhasil ditutup oleh gelar demi gelar yang berhasil diraih asal Portugal tersebut. Namun saat prestasi mulai sepi, sementara ego itu tak mau menunduk barang sejengkal, apa-apa yang dilakukan Mourinho tentu terlihat janggal: Berapa kali ia menyalahkan orang lain untuk menutupi kesalahannya?
Hal ini amat berbeda dengan seorang legenda Manchester United: Eric Cantona.
Seperti Mourinho, Cantona sebetulnya juga mempunyai ego yang amat besar. Pada tahun 1995 lalu ia pernah mendapatkan hukuman tak boleh main 8 bulan karena menendang Matthew Simmon, seorang pendukung Crystal Palace. Kejadian itu sangat merugikan United dan membuat mereka gagal meraih apa-apa pada musim 1994-1995. Lantas, mengapa para pemain muda United saat itu tetap menganggap Cantona sebagai seorang teladan? Mudah: ia adalah seorang pemain yang selalu berlatih keras meskipun kemampuannya sudah berada beberapa tingkat di atas pemain lainnya. Selain itu, ia juga percaya dengan para pemain muda.
Menyoal latihan keras, Paul Ince, mantan rekan Cantona di United, pernah mengatakan, “Cantona akan selalu datang pada pukul setengah sembilan pagi – sekitar satu jam sebelum kita semua datang – untuk melakukan pemanasan, melatih skill, dan melatih sentuhan bola.”
"Mendekati akhir musim, ada sekitar delapan atau sembilan pemain yang bergabung dengannya untuk mulai latihan pada setengah sembilan pagi,” lanjut Ince.
Rutinitas Cantona itu berhasil menginspirasi pemain-pemain muda United seperti Gary Neville, Ryan Giggs, hingga David Beckham untuk menjadi lebih baik. Dalam "Eric Cantona at 50: Reasons Why He's a Manchester United Legend" Giggs mengaku bahwa Cantona adalah salah satu alasan mengapa kariernya bisa sangat melegenda. Saat Cantona selalu datang paling awal dan pulang paling akhir dalam setiap sesi latihan, Beckham juga sadar bahwa ia harus menirunya. Namun, saat pemain-pemain muda itu ingin menarik perhatian Cantona, punggung mantan kapten United tersebut ternyata masih jauh untuk disentuh pemain-pemain tersebut.
"Kami selalu putus asa untuk menarik perhatiannya," ujar Gary Neville.
Saat Cantona dihukum delapan bulan karena tendangan kungfunya, anak-anak muda itulah yang kemudian menjadi senjata utama United untuk bersaing di Premier League musim 95-96. Alan Hansen, mantan pemain Liverpool, menertawakan perjudian Sir Alex Ferguson tersebut. Ia kemudian mengucapkan sebuah kalimat terkenal,” Anda tak akan bisa memenangi apa pun dengan anak-anak.”
Semula pernyataan Hansen tersebut mendekati kebenaran. United langsung kalah 1-3 dari Aston Villa di pertandingan pembuka liga. Pemain-pemain muda United berjalan menunduk. Namun, dalam lima pertandingan selanjutnya, United selalu menang. David Beckham, Paul Scholes, hingga Ryan Giggs menjadi kunci dari kemenangan tersebut.
Pada 1 Oktober 1995, saat United bertandingan melawan Liverpool, Cantona kembali bermain. Saat itu, ia sama sekali tak menunjukkan bahwa ia baru saja absen selama 8 bulan: ia mencatatkan asisst dan mencetak satu gol. Musim itu, United akhirnya mampu meraih gelar liga – juga gelar Piala FA. Pemain-pemain muda United mampu bermain lepas hingga akhir musim karena beban berat yang semula mereka tanggung berhasil ditanggung Cantona sendirian. Singkat kata, Cantona adalah alasan utama mengapa United berhasil meraih gelar pada musim itu sekaligus membuat Alan Hansen malu setengah mati.
Dari situ, Cantona masih dianggap raja oleh para penggemar United sampai sekarang. Meski Cantona sedang berada di belahan bumi lainnya, para penggemar United tak pernah bosan untuk menyanyikan namanya setiap kali United bertanding. “Ooh Aah Cantona” dan “Drink a Drink to Eric The King” pun masih menjadi nyanyian favorit di kalangan pemuja Setan Merah.
Maka, saat Cantona bersabda perkara United, kapan pun itu, ucapannya akan selalu meraih atensi para penggemar United. Tak terkecuali saat ia mengkritik betapa buruknya permainan Setan Merah belakangan ini.
Mourinho Bukan Pelatih Yang Tepat Untuk Manchester United
Dalam lanjutan pertandingan Liga Champions Eropa pada Oktober lalu, menjamu Juventus di Old Trafford, United bermain layaknya tuan rumah yang tak bernyali: Mourinho mengumpulkan pemain-pemain United persis di depan David De Gea, seolah pemain asal Spanyol tersebut baru belajar menjadi penjaga gawang kemarin sore.
Pendekatan Mourinho tersebut lantas membuat pertandingan berlangsung berat sebelah. Pada babak pertama, tingkat penguasaan bola Juventus mencapai 71%. Di lini tengah, Miralem Pjanic, pengatur tempo permianan Juventus, tidak mempunyai saingan menyoal mendistribusikan bola ke setiap sudut lapangan. Selain mencetak gol kemenangan Juventus, Paulo Dybala seperti ada di mana-mana. Jika saja pemain-pemain Juventus lebih tenang, Juventus barangkali bisa menang lebih dari satu gol dalam pertandingan tersebut.
Lantas apa yang dilakukan oleh pemain-pemain United dalam pertandingan tersebut? Seperti instruksi Mourinho, mereka memilih menjadi patung.
Setelah pertandingan itu, Cantona mengatakan bawa permainan Manchester United tersebut membuatnya menderita. Menurut pendapatnya, United seharusnya berani bermain menyerang dalam pertandingan tersebut.
“Anda boleh kalah tapi Anda harus berani mengambil risiko. Anda kalah melawan Juventus dan mereka mencatatan 70% penguasaan bola di Old Trafford. Apakah Anda bisa membayangkan hal seperti itu pada zaman Sir Alex Ferguson?” kata Cantona, seperti dilansir dari Marca.
Ia kemudian menambahkan, “Anak-anak butuh contoh. Mereka membutuhkan pemain hebat, pergerakan hebat, dan sepakbola kreatif yang mampu membuat mereka merasa mempunyai identitas sebagai pemain maupun sebagai sebuah tim.”
Mundur jauh ke belakang, tepatnya pada 24 Mei 2016 lalu, dalam sebuah wawancara dengan Guardian, Eric Cantona memang tidak setuju saat Jose Mourinho didaulat sebagai pelatih anyar Manchester United. Alasan Cantona sederhana: filosofi Mourinho bertolak belakang dengan filosofi Manchester United.
“Aku mencintai Jose Mourinho, tetapi menyoal gaya sepakbola yang ia mainkan aku tidak berpikir bahwa ia adalah Manchester United,” kata Cantona. “Aku menyukai personalitasnya, aku menyukai gairahnya tentang permainan ini, selera humornya. Dia sangat pintar, dia 100% percaya kepada para pemainnya. Dan tentu saja dia memenangi sesuatu.”
“Namun, aku tidak berpikir bahwa gaya sepakbola Mourinho akan disukai oleh para penggemar Manchester United, bahkan saat United mampu meraih kemenangan. Dia akan menang bersama Manchester United, tapi apakah para penggemar mengharapkan sepakbola yang seperti itu, bahkan saat United menang? Saya rasa tidak.”
Pernyataan Cantona tersebut menyerupai nubuat. Di tahun pertama bersama United, Jose Mourinho berhasil mempersembahkan dua gelar, yakni gelar Liga Eropa dan Piala EFL. Namun, penampilan United juga tak jauh dari penilaian Cantona: United bermain bertahan dan cenderung membosankan. Kritik juga datang dari mantan pelatih United, Louis van Gaal, juga atlet lari Usain Bolt yang merupakan penggemar United.
Sayangnya, Mourinho tak peduli semua kritikan itu. Sejauh ini, United terus bermain dengan cara Mourinho, bahkan saat pertahanan mereka kelewat buruk pada musim ini. Bayangkan, United saat ini sudah kebobolan 18 gol di Premier League, menjadi tim yang paling sering kebobolan di jajaran 10 besar Premier League.
Mourinho juga perlu belajar pada Cantona bagaimana sikap yang pas untuk membentuk karakter pemain muda. Ini pernah dikisahkan mantan Kapten United, Roy Keane. Dilansir dari Joe, pada awal-awal karier Keane di Manchester United, pemain-pemain United baru saja mendapatkan uang tambahan sebesar 800 paun -- hasil dari kontrak dengan media Inggris. Sementara sebagian besar pemain muda United memilih langsung mengambil hak mereka, pemain-pemain utama United bersepakat mengumpulkan uang tersebut ke dalam topi. Siapa saja yang berhak mendapatkan uang tersebut akan ditentukan lewat undian.
Yang menarik, tidak seperti pemain muda lainnya, Nicky Butt dan Paul Scholes ikut mempertaruhkan uangnya ke dalam topi. Padahal, bagi pemain muda seperti mereka, uang sebesar 800 paun bisa senilai dua minggu gaji. Sayangnya, nama mereka ternyata tak muncul dalam hasil undian. Saat Butt dan Scholes hanya bisa garuk-garuk kepala, Eric Cantona-lah yang untung besar: karena namanya muncul paling akhir, ia mendapatkan uang paling banyak, yakni sebesar 16.000 paun.
Namun keesokan harinya, 800 paun yang dipertaruhkan Scholes dan Butt ternyata berubah menjadi jumlah uang yang berlipat-lipat. Cantona membagi uang 16.000 paun yang ia peroleh menjadi dua, masing-masing 8.000 paun, lantas memberikannya kepada Butt dan Scholes dengan cuma-cuma. Alasan Cantona melakukan itu pun sangat menarik. Pemain asal Prancis itu menilai bahwa Butt dan Scholes layak mendapatkan uang tersebut karena mereka berani mengambil risiko. Ini sedikit kontras dengan apa yang dilakukan oleh Mourinho.
Maka, bisakah Mourinho belajar dari Cantona?
Editor: Nuran Wibisono