tirto.id - Sewaktu Manchester United berhasil mengalahkan rival sekota mereka Manchester City 2-3 di Etihad, banyak yang menyangka jalannya Liga Premier tak akan selesai prematur. Meski peluang United bisa dikatakan kecil untuk bisa mengejar City (terpaut 13 poin setelah kemenangan di Etihad dengan 6 pertandingan tersisa), setidaknya anak-anak asuhan Jose Mourinho tak akan memberikan gelar juara begitu saja kepada City.
Namun, justru itulah yang terjadi. Minggu malam kemarin (15/4/2018) Manchester United secara mengejutkan takluk 0-1 oleh tim juru kunci West Bromwich Albion di Old Trafford. Parahnya lagi, tak ada antusiasme dalam diri para pemain United di pertandingan tersebut seperti yang mereka perlihatkan delapan hari lalu di Etihad. Beberapa kali pemain-pemain United bahkan kena cemooh supporter yang frustrasi.
Kekalahan ini praktis membuat The Citizen mengunci gelar juara Liga Premier. Sehari sebelumnya, Pep Guardiola berhasil mempersembahkan tiga poin dengan mengalahkan Tottenham Hotspur 1-3 di Wembley. Dengan raihan 87 poin, secara matematis City sudah tak mungkin lagi dikejar United yang saat ini mengoleksi 71 poin. Dengan hanya 5 pertandingan tersisa, poin maksimal yang bisa didapat United hanya 86.
Mourinho, yang tak pernah kehilangan kata-kata di depan media, berkata seusai pertandingan bahwa ia bisa “mencium” penampilan jelek Manchester United dan membuatnya mempertanyakan sikap anak asuhnya. Menurutnya salah satu masalah mereka adalah konsistensi.
“Berdasarkan pengalamanku, inkonsistensi tidak akan membawa Anda juara. Anda menang dengan kualitas, namun itu harus dibarengi konsistensi di setiap tingkatannya. Bukan hanya di level penampilan melainkan juga di level mental. Salah satu hal yang harus kami perbaiki adalah konsistensi,” katanya seperti dikutip Guardian.
Ditanya tentang peluangnya musim depan untuk merebut gelar Liga Premier yang selama dua tahun kepelatihannya di MU selalu gagal ia raih, Mourinho tampak “cuci tangan” sembari membela diri dengan menyebut rekor pencapaiannya terdahulu.
“Saya percaya dengan kinerjaku. Saya tidak mempunyai alasan untuk berpikir lain—delapan gelar dan tiga Liga Premier. Liga Premier terakhir tidak terjadi 20 tahun lalu, akan tetapi tiga tahun lalu. Saya tahu caranya menang. Saya percaya pada diri sendiri, namun bukan saya yang bemain,” kilahnya.
Sindrom Musim Kedua Mourinho
Berbicara rekor, tak diragukan Jose Mourinho merupakan salah satu pelatih tersukses di dunia. Koleksi trofi yang sudah diraihnya menunjukkan itu. Namun, ada yang menarik dari rekor pencapaian pria kelahiran Setubal, Portugal ini.
Dari semua prestasi yang pernah diraih Mourinho, satu catatan kecil mengemuka: sepanjang kariernya, Mourinho tak pernah gagal mempersembahkan gelar juara liga di musim kedua. Di FC Porto (2003/04), Chelsea (2005/06, 2014/15), dan Inter Milan (2009/10), Mourinho melakukan itu. Di Real Madrid (2011/12), rekor tersebut lebih terasa spesial lagi, karena menghentikan dominasi Barcelona asuhan Pep Guardiola saat itu.
Selain itu, pencapaian Mourinho di musim kedua terkadang jauh melebihi capaiannya di musim pertama. Dua gelar Liga Champions yang diraihnya bersama FC Porto dan Inter Milan terjadi di musim kedua. Tak mengherankan jika beberapa media merujuk pada kecenderungan ini sebagai “Sindrom Musim Kedua Mourinho” atau menyebut Mourinho sebagai “Penguasa Musim Kedua”.
Reputasi inilah, yang menjadi salah satu tumpuan banyak suporter United awal musim lalu. Apalagi di musim pertama prestasi pelatih berusia 55 ini tak jeblok-jeblok amat. Ia berhasil menyabet Piala Liga, FA Community Shield, dan Piala UEFA. Mereka berharap “The Special One” memang masih spesial dan rekor pencapaian di musim kedua itu bukan sekadar penghias di curriculum vitae.
Tak Terulang
Di awal musim, United memang sempat memimpin klasemen Liga Premier selama lima pekan pertama. Apalagi dua kali kemenangan 4-0 secara beruntun di dua pekan awal seakan menegaskan bahwa musim ini memang musim Mourinho yang sesungguhnya. Penampilan impresif pemain anyar Romelo Lukaku dan Nemanja Matic di pekan-pekan awal semakin menambah keyakinan itu.
Namun, dua kali hasil imbang lawan Stoke City dan Liverpool di pekan ke-4 dan ke-8, serta takluk 1-0 dari Chelsea di pekan ke-11, ternyata menghambat perjalanan United di Liga Premier (penampilan yang luar biasa dari Manchester City, dengan 18 kali kemenangan beruntunnya, ikut berpengaruh). Rekor apik musim kedua pun tak berhasil diulang Mourinho di Manchester United.
Di musim keduanya ini, Mourinho bukan saja gagal meraih gelar Liga Premier, namun terancam tak memenangi satu gelar pun. Di kompetisi Liga Champions tersingkir di babak 16 besar oleh Sevilla, tim papan tengah La Liga. Di ajang Piala Liga, perjalanan mereka terhenti di putaran kelima oleh Bristol City. Kesempatan United meraih trofi musim ini hanya tinggal di ajang Piala FA. Di ajang ini, Setan Merah berhasil melaju ke babak semifinal dan akan berhadapan dengan Tottenham Hotspur 21 April mendatang.
Semenjak ditinggal Alex Ferguson pada 2013 silam, United tak pernah lagi merasakan gelar Liga Premier. David Moyes dan Louis van Gaal gagal melakukan itu dan dipecat. Mourinho pun sepertinya bakal mengikuti jejak dua pendahulunya itu jika di musim depan kembali gagal.
Kegagalan Mourinho di musim kedua ini sudah pasti membuatnya semakin berada di bawah tekanan. Total dana sebesar 319.05 juta pounsterling yang sudah dihabiskannya untuk belanja pemain tak berbanding lurus dengan prestasi The Red Devils di lapangan. Apalagi gaya permainan United di bawah Mourinho pun lebih sering memantik komentar negatif ketimbang pujian.
Akankah United menjadi satu-satunya tim yang pernah dilatih Mourinho (lebih satu musim) yang tak memenangi gelar juara liga?
Penulis: Bulky Rangga Permana
Editor: Zen RS