Menuju konten utama

Liverpool vs Man City: Jika Pep adalah Tyson, Klopp adalah Douglas?

Dapatkah Juergen Klopp membuat gaya permainan Guardiola tampak hanya seperti gimmick

Liverpool vs Man City: Jika Pep adalah Tyson, Klopp adalah Douglas?
Trent Alexander-Arnold (kiri) dan Kevin De Bruyne (kanan) dalam pertandingan Manchester City vs Liverpool di Etihad Stadium, Manchester. REUTERS/Phil Noble

tirto.id - Liga Champions kembali bergulir minggu ini. Kompetisi paling bergengsi antar klub se-Eropa ini sudah memasuki babak perempat final. Namun, kedua wakil Inggris yang masih bertahan, Liverpool dan Manchester City, harus bentrok pada Rabu (4/4/2018) malam waktu setempat atau Kamis pukul 01.45 dini hari WIB.

Bagi publik Inggris hasil undian ini agak disesalkan karena menganggap pertemuan kedua tim terlalu cepat berjumpa. Hasrat mereka untuk kembali melihat all-England final seperti musim 2007/08 pupus sudah. Sebaliknya, bagi pecinta bola di seluruh dunia, laga antara pemuncak klasemen Liga Premier dan peringkat tiga ini merupakan duel yang ditunggu-tunggu.

Pertandingan leg pertama perempat final Liga Champions antara The Reds dan The Citizen yang akan digelar di stadion Anfield ini memang menjanjikan tontonan yang menghibur. Kedua tim terkenal berkat gaya permainan menyerang yang tampak dari produktivitas dalam menciptakan gol.

Musim ini Liverpool dan Manchester City merupakan tim Liga Inggris paling produktif. Dari 119 laga di semua kompetisi, trio penyerang Liverpool (Roberto Firmino, Sadio Mane, dan Mohamed Salah) sudah menorehkan 75 gol. Sedangkan kuartet Manchester City (Leroy Sane, Raheem Sterling, Sergio Aguero, dan Gabriel Jesus) sudah membukukan 76 gol dari 149 pertandingan.

Ada anggapan bahwa penampilan City tidak sebaik penampilan mereka sebelum alih tahun. Terutama sejak rekor tak terkalahkan mereka musim ini pecah oleh Liverpool 4-3 pertengahan Januari silam. Setelah itu, City pun mengalami dua kali kekalahan tambahan. Pertama, saat bertandang ke Wigan Athletic 1-0 di ajang Piala FA; kedua, saat menjamu FC Basel 1-2 di leg kedua babak perdelapan final Liga Champions.

Sedangkan Liverpool memenangi tujuh laga dari sepuluh penampilan terakhirnya. Anak asuhan Jurgen Klopp ini hanya kalah oleh Manchester United 2-1 saat bertandang ke Old Trafford.

Klopp dan Guardiola

Kendati Antonio Conte merupakan pelatih pertama yang bisa mengalahkan Guardiola back-to-back musim lalu, namun Jurgen Klopp tetap merupakan pelatih yang memiliki rekor paling baik saat berhadapan dengan pelatih berkepala plontos itu.

Dalam lima pertemuan terakhir, Liverpool asuhan Klopp unggul atas Manchester City yang sudah ditukangi Guardiola dengan tiga kali menang, satu kali seri, dan satu kali kalah. Apabila rekor pertemuan keduanya ditotalkan dengan saat keduanya berkiprah di Bundesliga, rekor itu pun masih dimenangkan Klopp. Dari dua belas pertemuan di antara keduanya di Bundesliga dan Liga Premier, Klopp memenangi laga enam kali, imbang satu kali, dan kalah lima kali.

Secara umum, kebanyakan tim yang berhadapan dengan kesebelasan yang ditukangi Guardiola (Barcelona, Bayern Munchen, Mancester City), selalu bermain ultra defensif. Hal ini karena mereka kerap tak memiliki gagasan bagaimana mengatasi gaya permainan tiki-taka (istilah yang tak disukai Guardiola) yang menekankan umpan-umpan pendek, rotasi posisi pemain, dan penguasaan bola ekstrem sejak wilayah sendiri yang diperagakan anak asuh pelatih kelahiran Santpedor ini—gaya permainan, yang oleh Simon Kuper disebut sebagai pembaharuan "Cruffianisme untuk abad 21".

Akibatnya, sebagaimana para petinju yang bertarung melawan Mike Tyson, banyak pelatih yang sudah keburu takut saat berhadapan dengan Guardiola. Jarang ada pelatih yang seberani Buster Douglas saat ia menjadi petinju pertama yang mengalahkan Tyson. Jika ada pelatih yang menyerupai Douglas, Jurgen Klopp salah satunya.

Guardiola tentu saja tak selalu menang. Beberapa kekalahan yang terkenal dialami Guardiola. Misalnya, saat Barcelona takluk oleh Inter Milan yang saat itu dibesut Jose Mourinho di partai semifinal Liga Champions 2009/10 dan Chelsea arahan Roberto Di Matteo musim 2011/12, juga di semifinal. Namun, kemenangan-kemenangan yang diraih itu sering tak mencerminkan superioritas permainan mereka atas Guardiola.

Hanya Jurgen Klopp, salah satunya, yang bisa meladeni Guardiola dan bisa membuat permainan umpan satu dua tampak hanya seperti gimmick. Sebagai seorang yang mempopulerkan taktik gegenpressing, Klopp tak pernah menginstruksikan anak buahnya untuk sekadar menunggu jauh di dalam kotak penalti dan berharap melakukan konter, melainkan berusaha melakukan pressing tinggi hingga membuat anak asuh Guardiola menjadi “tak nyaman” ketika melakukan umpan dan membuat kesalahan.

“Anda tidak punya cara lain untuk mengalahkan City,” kata Klopp, seperti dikutip Telegraph, usai timnya mengalahkan The Citizen 4-3 di Anfield. Kita bisa bertahan di kotak penalti sendiri dan menunggu. Namun, menurut Klopp, itu tak ubahnya seperti “main lotre”.

Seperti yang pernah dijelaskannya, momen terbaik untuk merebut bola adalah segera setelah tim kita kehilangan bola tersebut.

Pihak lawan masih mencari-cari ke mana untuk mengoper bola. Dia pasti tak memperhatikan sekitar ketika sebelumnya menekel atau melakukan intersep dan dia pasti baru saja mengeluarkan tenaga. Kedua hal itu membuatnya rentan.”

Namun, bermain terbuka melawan Guardiola membawa risiko besarnya sendiri: pertahanan menjadi rentan. Dan itu sering dialami pula oleh Klopp. Saat bertandang ke Etihad musim ini, misalnya, Liverpool dibantai 5-0 (meski saat itu Liverpool bermain dengan sepuluh pemain setelah Sadio Mane di kartu merah). Saat menang 4-3 di Anfield pun, anak asuhan Klopp hampir-hampir tersusul setelah City mampu melesakkan dua gol dalam tujuh menit di saat-saat akhir.

Infografik liverpool vs manchester city

Motor Serangan

Selain di ranah taktik kedua pelatihnya, pertandingan kali ini pun menjanjikan kebolehan dua pemain kunci di masing-masing kesebelasan. Kevin De Bruyne dan Mohamad Salah. Dua-duanya merupakan kandidat kuat peraih penghargaan Player of the Year.

Dijuluki sebagai grand puppet master (dalang besar) oleh Jonathan Wilson, talenta De Bruyne semakin terlihat setelah pelatih Belgia Roberto Martinez pada November 2016 memainkannya di posisi gelandang setelah sebelumnya ia sering diset sebagai inside forward.

Posisi baru De Bruyne inilah, menurut Wilson, yang kemudian diikuti Guardiola. Hasilnya adalah penampilan luar biasa Manchester City musim ini. Dengan torehan gol 7 dan asis 14, penampilan De Bruyne di Liga Premier musim ini melebihi perfoma Mesut Ozil dan Christian Eriksen.

Sebagai pemain yang mendikte ritme dan kedalaman permainan City, De Bruyne bakal menjadi tumpuan anak-anak The Citizen untuk keluar dari gegenpressing yang akan dijalankan para pemain Liverpool.

Sedangkan bagi Liverpool, Mo Salah tentu saja akan menjadi andalan. Saat ini Salah menjadi pencetak gol terbanyak sementara di Liga Inggris dengan 29 gol. Selain itu, ia telah membukukan 37 goal dari 42 penampilannya musim ini. Berkat penampilan impresifnya ini, tak aneh jika belakangan ia mulai dibanding-bandingkan dengan Lionel Messi dan Christiano Ronaldo.

Baca juga artikel terkait LIGA CHAMPIONS atau tulisan lainnya dari Bulky Rangga Permana

tirto.id - Olahraga
Reporter: Bulky Rangga Permana
Penulis: Bulky Rangga Permana
Editor: Zen RS