tirto.id - Satu hari jelang laga final Piala Dunia 1974 antara Jerman versus Belanda, sebuah berita terbit di tabloid kuning terbesar Jerman, Bild. Menurut tabloid itu, empat pemain Belanda dan dua gadis Jerman mengadakan pesta telanjang di kolam renang Hotel Wald beberapa saat sebelum pertandingan semifinal antara Brazil lawan Belanda.
Berita yang bertajuk “Cruyff, Sampanye, dan Gadis-Gadis Telanjang” itu kontan membuat kubu Belanda murka. Para pemain Belanda serentak membantahnya. Rinus Michels, sang pelatih, sampai harus mengadakan konferensi pers.
“Kalau saja Belanda menang di final, berita itu mungkin bakal terlupakan dalam seminggu,” catat David Winner dalam Brilliant Orange: The Neurotic Genius of Dutch Soccer (2010).
Sayang, Belanda kalah, dan insiden kolam renang terus hidup dalam ingatan publik Belanda hingga bertahun-tahun kemudian. Peristiwa tersebut dituding sebagai salah satu penyebab kekalahan Belanda di final. Bukan hanya di Piala Dunia 1974, melainkan juga di Piala Dunia 1978. Dan Johan Cruyff berada di tengah-tengahnya.
Danny, istri Johan Cruyff, yang dikabarkan marah besar selepas membaca berita Bild lantas menelepon sang suami pada malam sebelum final. Percakapan pada malam hari itu dianggap membuat kapten Belanda itu dipercaya tidak tampil fit ketika bertanding keesokan harinya.
Alasan publik Belanda di atas barangkali terasa menggelikan dan mengada-ada. Namun, jika ada satu hal yang bisa ditarik darinya adalah betapa besar sosok Johan Cruyff di mata masyarakat Negeri Kincir Angin tersebut. Hingga sukses-tidaknya tim nasional mereka dianggap bergantung sepenuhnya pada fit-tidaknya atau tampil-tidaknya Johan Cruyff.
Namun, barangkali juga wajar jika publik Belanda memiliki kecenderungan seperti itu. Karena seperti ditulis Friso van der Oord daa Pieter van Os dalam artikel “Johan Cruyff: The American Years” di Washington Post, bagi orang Belanda, Cruyfflebih dari sekadar pemain dan pelatih kelas dunia yang merevolusi sepakbola.
“Lebih penting lagi, ia ikut membentuk identitas nasional kami sejak 50 tahun lalu, barangkali melebihi Wangsa Oranye, yang para raja dan ratunya telah memerintah Belanda selama berabad-abad. Bagi orangtua kami dari generasi baby-boomer, ia adalah simbol anak muda yang menghancurkan dinding konservatisme. Bagi generasi kami, ia membuat negeri kami yang kecil dikenal luas secara global ...,” tulisnya.
Merasa Paling Tahu
Cruyff memang spesimen langka. Pemain yang sejak berumur empat tahun sudah keluar-masuk ruang ganti Ajax Amsterdam ini tak hanya pandai mengolah bola dan berpikir hal-hal abstrak tentang bagaimana seharusnya pertandingan dimainkan, melainkan juga gemar mengutarakan pemikiran-pemikirannya itu bahkan sewaktu berada di atas lapangan.
Hal itu membuat gaya bermain Cruyff di atas lapangan menjadi unik. Dalam tulisan berjudul “Johan Cruyff: The player, the Coach, the Legacy” di FourFourTwo, Simon Kuper menggambarkan bagaimana Cruyff yang selalu berada di mana-mana meski di atas kertas berposisi sebagai penyerang tengah, terkadang akan turun ke belakang hanya untuk memberi instruksi kepada pemain lain.
“Arsène Wenger bercerita tentang Cruyff yang menginstruksikan dua pemain gelandang tengah untuk saling bertukar posisi, dan lima belas menit kemudian ia akan memberi perintah keduanya untuk bertukar posisi seperti semula. Menurut Wenger, hal ini menunjukkan betapa sulitnya meniru fluiditas gaya bermain ‘total football’ jika kita tidak memiliki pemain seperti Cruyff sendiri,” tulisnya.
Namun, kebiasaannya menggurui itu sering membuat rekan setimnya menjadi jengkel. Suatu kali Rinus Michel pernah menyuruhnya menemui psikiater. Johnny Rep, striker Ajax, pernah bercerita bagaimana ia tak tahan mendengar instruksi-instruksi Cruyff yang seperti tak ada habisnya.
“Katanya kau harus melakukan ini saat bertanding, atau kau harus melakukan itu ... Ia selalu berkata lebih ke kanan, atau ke kiri, atau ke tengah. Sepanjang waktu! Jika ia memberi operan jelek, itu tak pernah jadi kesalahannya. Ia selalu benar! Ia yang terbaik karena itu selalu benar sepanjang waktu. Itu masalahku dengannya,” kenang Johnny Rep seperti dikutip Winner.
Frustrasi di Liga Sepakbola Amerika
Saat bermain di liga Amerika untuk Washington Diplomats pun sepanjang musim Cruyff tak henti-hentinya memberi instruksi dan penjelasan. Friso van der Oord daa Pieter van Os menukil kesaksian rekan setim Cruyff di Washington Diplomats, Baby Stokes: "Ketika pihak klub membeli Cruyff mereka seharusnya membeli sebal kapas untuk mencocok telinga kami."
Sewaktu di Amerika, Cruyff memang sering merasa frustasi. Ide sepakbolanya yang berdasar pada satu sentuhan operan cepat dan fluiditas gerakan sering terbentur skema pelatih Gordon Bradley yang mengandalkan fisik dan umpan panjang. Rekan-rekan setimnya juga dirasakan Cruyff selalu tertinggal satu atau dua langkah dari apa yang diinginkannya. Bagaimana pun mereka memang bukan Piet Kaizer, Johnny Rep, ataupun Barry Hulshoff.
Maka tak heran jika “Setelah rapat tim, Johan akan berjalan menuju papan tulis dan menghapus semua formasi dan catatan-catatan Bradley,” kenang Thomas Rongen kepada Friso van der Oord daa Pieter van Os. “’Tentu saja, kita akan melakukan dengan cara berbeda,’ kata Johan kepada kami. Dan kemudian dia akan memberitahu kami bagaimana kami seharusnya bermain.”
Namun, sifat merasa paling tahu ini tak hanya Cruyff tunjukkan dalam hal yang berkaitan dengan sepakbola, melainkan hampir terhadap segala hal.
“Ia memberitahu supir taksi asal Chicago rute paling cepat menuju kota; memberi saran pada pegolf Ian Woosnam untuk mengubah ayunan tongkatnya; dan sebelum menjalani operasi bypass jantung, Cruyff sampai berdebat tentang metode operasi dengan dokter bedahnya,” catat Kuper dalam Soccer Men: Profiles of the Rogues, Geniuses, and Neurotics Who Dominate the World's Most Popular Sport (2014).
Ketika berkomentar tentang permainan Denis Bergkamp, Cruyff pernah berujar “Kita bermain sepakbola dengan kepala, kaki kita hanya membantu.”
Kutipan terkenal bernada paradoks tersebut memang khas perkataan-perkataan Cruyff. Namun, bila ingin menggambarkan seorang Johan Cruyff, kutipan itu mungkin perlu diubah. “Kita bermain sepakbola dengan kepala, mulut dan kaki kita hanya membantu.”
Cruyff meninggal pada 24 Maret 2016, tepat hari ini lima tahun lalu.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 24 Maret 2018. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Zen RS & Irfan Teguh