Menuju konten utama

Kapten Pogba dan Mengapa Jabatan Kapten Penting Sekaligus Pelik

Menjadi Kapten memang diidamkan oleh hampir setiap pesepakbola. Klub lalu memanfaatkan itu untuk menjadi salah satu alat dalam melakukan negosiasi

Kapten Pogba dan Mengapa Jabatan Kapten Penting Sekaligus Pelik
Paul Pogba. FOTO/Reuters

tirto.id - Sebuah ban kapten yang melingkar di lengan bisa membuat pesepakbola tambah gagah. Balutan kain di lengan itu adalah wujud kewibawaan seorang pemain di tim. Di mana pun posisi bermainnya, suara seorang kapten akan “terdengar” ke setiap jengkal lapangan. Saat ia terdiam pun, dalam situasi yang maksimum, ekspresi wajahnya bisa memberikan tanda kepada rekan-rekannya.

Kalau kata Frederic Antonetti, mantan pelatih Nice yang melambungkan nama Hugo Lloris, kapten yang hebat bahkan tak perlu banyak bicara; kapten yang hebat adalah orang yang bicaranya paling masuk akal. Dari situ, Antonetti kemudian tahu bahwa Lloris bisa menjadi kapten hebat. Kelak, tak hanya memimpin pasukan muda Tottenham Hotspur yang agresif, Lloris juga memimpin Perancis memenangi Piala Dunia 2018.

Yang menarik, Lloris berhasil menjadi kapten yang hebat bukan hanya karena bicaranya paling masuk akal. Menurut Lloris, kapten tidak bisa bekerja sendirian, bahwa “ia bisa menjadi kapten karena menjadi bagian dari sebuah tim”. Maka, saat rekan-rekannya memiliki hal-hal yang berguna bagi tim, ia akan memberikan kesempatan pada rekannya itu untuk berbicara. Menjelang pertandingan final Piala Dunia 2018, melawan Kroasia, pada 15 Juli 2018 lalu ia memberikan kesempatan itu kepada Paul Pogba.

Dikelilingi rekan-rekannya, Pogba lalu mengatakan, “Boys, saya tidak ingin banyak bicara, kita semua tahu di mana kita berada, kita semua tahu apa yang kita inginkan, kita semua tahu sejauh mana kita sudah melangkah.”

“[...] Kita hanya tinggal 90 menit lagi untuk menciptakan sejarah. Sembilan puluh menit. Satu pertandingan. Satu pertandingan. [...] Malam ini Saya ingin kita selalu berada dalam ingatan semua orang Perancis yang menyaksikan penampilan kita. Anak-anak mereka, cucu mereka, dan anak dari cucu mereka. Saya ingin kita melangkah ke lapangan sebagai seorang kesatria, sebagai seorang pemimpin.”

Pogba lalu memukul meja dan pemain-pemain Perancis lainnya bertepuk tangan seolah sudah tidak sabar untuk bertanding di atas lapangan.

Kata-kata Pogba ternyata manjur. Dalam pertandingan tersebut, Perancis benar-benar tampil penuh konsentrasi dan mampu menjalankan instruksi Didier Deschamps dengan sepenuh hati. Kroasia memang berhasil merepotkan Perancis, tetapi hanya sebatas merepotkan. Pada akhirnya, sesuai keinginan Pogba, Perancis berhasil menciptakan sejarah setelah menang 4-2 selama 90 menit.

Berkat panggung yang diberikan Lloris, Pogba pun mendapatkan pujian. Tidak hanya karena penampilannya tapi juga karena kepemimpinannya.

Amy Laurance, dalam salah satu tulisannya di Guardian, menyebut Pogba telah berevolusi. Ia ternyata bukan hanya seorang pemain dengan rambut warna-warni, yang eksis di sosial media, berharga kelewat mahal, tapi penampilannya angin-anginan di atas lapangan.

Sekitar 27 hari berselang, tepatnya dalam laga pembuka Premier League musim 2018-2019 pada 11 Agustus 2018 lalu, Pogba menjadi kapten Manchester United saat menghadapi Leicester City.

Jose Mourinho menjelaskan pilihan yang diambilnya. Setelah pertandingan, ia mengatakan kepada Sky Sports, “Musim lalu, ia beberapa kali menjadi kapten.” Pelatih yang suka bersikap ketus itu menambahkan, “Kapten tim ini [Manchester United] adalah [Antonio] Valencia. Valencia tidak bertanding. Paul adalah salah satu opsi. Ini musim ketiganya, dia berasal dari akademi klub dan paham kondisi klub ini, perkara kultur dan soal tradisi klub. Bersama rekan-rekannya di ruang ganti hari ini ia memberikan contoh baik, menempatkan dirinya untuk ikut berpartisipasi.”

Yang menarik, pemilihan Pogba sebagai kapten Manchester United dalam pertandingan itu barangkali bukan hanya menyoal pantas tidaknya Pogba memimpin Manchester United. Belakangan ini, Pogba dinilai kurang mampu mengeluarkan penampilan terbaiknya di Manchester United. Salah satunya penyebabnya adalah hubungannya dengan Jose Mourinho.

Pelatih asal Portugal tersebut memang seringkali menjadi tembok pelindung kokoh saat penampilan Pogba dikritik para pengamat sepakbola. Namun, saat egonya disentuh, Mourinho bisa menyerang siapa saja untuk membela diri. Juli lalu, ESPN bertanya kepada Mourinho: Mengapa penampilan Pogba di Manchester United tak sebagus penampilannya bersama timnas Perancis? Mourinho menjawab dengan enteng bahwa Pogba seharusnya tidak hanya bisa fokus saat membela Perancis, tapi juga saat bermain untuk United.

Pogba tidak menyukai komentar bosnya itu. Kabarnya, situasi itu membuat Pogba ingin pindah. Ia lalu dihubungkan dengan Juventus, PSG, dan Barcelona. Nama terakhir bahkan sudah melakukan tawaran resmi: Barcelona ingin membeli Pogba dengan mahar sebesar 50 juta euro ditambah Yerry Mina dan Andre Gomez.

United menolaknya. Mereka tidak memiliki urgensi untuk menjual Pogba. Mourinho pun tak ingin kehilangan pemain terbaiknya itu. Dari situ, selain karena pantas, Mourinho barangkali memberikan ban kapten kepada Pogba agar pemain Perancis itu merasa betah. Singkatnya, Mourinho menggunakan status kapten sebagai salah satu alat untuk bernegosiasi.

Infografik Negosiasi Dengan Status Kapten

Menjadi kapten memang diidamkan oleh hampir setiap pemain sepakbola. Dalam salah satu tulisan di Guardian, pada 2012 lalu, seorang pesepakbola yang namanya dirahasiakan menulis, “[...] Sejumlah pemain berpura-pura tidak peduli [untuk menjadi kapten], [tapi] diam-diam, di dalam lubuk hati terdalam mereka, hampir semua orang ingin menjadi kapten.”

Menurutnya, menjadi kapten bisa membuat pemain bangga, membuat dada bisa lebih membusung, dan membuat kaki mereka lebih tinggi daripada pemain lainnya. Tak heran, jika dalam beberapa kasus, status kapten seringkali dijadikan alat negosiasi.

Saat Milan berhasil merekrut Leonardo Bonucci pada musim panas 2017 lalu, status kapten barangkali menjadi salah satu alat negosiasi untuk meyakinkan salah satu bek terbaik di dunia itu pindah dari Juventus. Tidak ada kejelasan, memang. Namun, kapten Milan adalah tentang senioritas dan sejarah. Tentang Baresi hingga Maldini. Sebagus apa pun seorang pemain baru, ia biasanya tidak akan semudah itu menerima jabatan sebagai kapten Milan. Namun, Bonucci menjadi pengecualian.

Pada musim panas yang sama, untuk meredakan spekulasi kepindahan Coutinho ke Barcelona, Juergen Klopp juga memberikan ban kapten kepada Coutinho. Momennya pun luar biasa: Liverpool akan bertanding melawan Hertha Berlin untuk merayakan ulang tahun Liverpool ke-125. Pada musim panas itu, Coutinho akhirnya urung pindah. Ia baru benar-benar pindah ke Barcelona pada Januari 2018.

Yang menarik, status kapten ternyata bukan hanya menjadi alat bagi sebuah klub untuk menjaga atau membeli seorang pemain. Status kapten juga bisa digunakan pemain untuk meningkatkan daya jual. Sekali lagi, kasus yang terjadi di Liverpool dapat menjadi contoh.

Pada 2015 lalu, Liverpool dan Jordan Henderson kesulitan bersepakat dalam perpanjangan kontrak. Meski belum tentu dipilih Brendan Rodgers, pelatih Liverpool saat itu, untuk menjadi kapten baru Liverpool, pihak Henderson menginginkan bayaran tinggi: ia adalah wakil kapten Liverpool dan kandidat terkuat untuk menjadi kapten Liverpool berikutnya.

Pada akhirnya, kontrak Hendreson diperpanjang hingga tahun 2020 dan ia mendapatkan bayaran 100 ribu poundsterling per pekan [sebelumnya Liverpool menawar 80 ribu pounds per pekan]. Hingga saat ini, jika dia baik-baik saja, Henderson selalu menjadi kapten Liverpool hampir di setiap pertandingan yang melibatkannya.

Jadi, masalah kapten ini, pertimbangannya bisa bermacam-macam, dan arahnya bisa ke mana-mana, termasuk hingga ke perkara: fulus.

Baca juga artikel terkait BURSA TRANSFER PEMAIN atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Zen RS