tirto.id - Terdakwa penyebaran konten asusila, Vanessa Angel, kembali menjalani sidang tertutup di Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (10/6/2019). Dalam sidang ini, kuasa hukum Vanessa menghadirkan ahli pidana Ahmad Yulianto dan ahli ITE Rahmat Dwi Putranto.
Milano Lubis, ketua tim kuasa hukum Vanessa mengatakan, keterangan dua ahli tersebut sangat meringankan kliennya. Ia mencontohkan keterangan ahli pidana di persidangan yang menyebut pasal pelanggaran ITE tak serta merta bisa diterapkan terhadap Vanessa karena hal itu adalah bagian dari pasal prostitusi daring.
Sementara menurut ahli ITE, kata Milano, konten yang didistribusikan perempuan lelahiran Jakarta, 21 Desember 1991 itu, tak masuk ke dalam unsur asusila. Alasannya, karena hanya terjadi di ranah privat, antara Vanessa dengan Endang Suhartini alias Siska saja.
Ahli Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir berpendapat serupa. Menurut dia, percakapan yang terjadi di ranah privat memang tidak bisa dijadikan alat bukti, seperti obrolan dalam satu kamar yang membahas pornografi.
“Tergantung materi percakapan. Jika hanya sekadar bercakap, tidak bisa [dijadikan alat bukti]. Seperti bercakap dalam satu kamar membahas pornografi. Percakapan itu tidak bisa dipidana,” kata Mudzakir saat dihubugi reporter Tirto.
Namun demikian, kata Mudazakir, jika percakapan itu betul mengarah ke pelacuran, maka bisa dijadikan alat bukti. Mudzakir menyatakan muncikari dan PSK dapat dikenakan pelanggaran kesusilaan, tapi perbedaannya pada siapa yang dihukum.
Dahulu, kata Mudzakir, muncikari yang bertanggung jawab dan dihukum karena PSK sebagai korban jasa pelacuran. Namun, dengan adanya pergeseran dan digitalisasi, kata dia, sekarang keduanya bisa dipidana.
“Sebab keduanya saat ini menjadi pelaku, kemungkinan mereka kena [pidana]. Muncikari sebagai orang yang me-manage pelacuran, PSK sebagai pihak yang melanggar ketertiban umum,” jelas dia.
Pelanggaran ketertiban umum, menurut Mudzakir, sudah ada sejak lama yaitu penjajaan prostitusi pinggir jalan.
Sebaliknya, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, berpendapat tidak bisa mengkriminalisasi pelacuran. Sebab, kata dia, yang ditaur dalam hukum Indonesia hanya mucikari.
“Yang diatur ialah muncikari, PSK belum ada aturan pidananya,” kata Agustinus ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (11/6/2019).
Menurut dia, berkaitan dengan percakapan di ranah privat, perlu ada ketentuan yang mengatur secara khusus.
Bicara soal HAM dan aturan pidana, Agustinus menyatakan, ada konvensi yang diratifikasi oleh Indonesia, sehingga hal itu turut menjadi hukum nasional. “Dalam konvensi itu, siapa pun tidak boleh dipaksa memberi keterangan yang dapat memberatkan diri sendiri,” ujar dia.
Namun, dalam era komunikasi modern saat ini, penyidik menyita telepon seluler terduga pelaku dan mendapatkan data percakapan. “Bukankah itu sama seperti seseorang dipaksa memberikan keterangan jika di dalam itu bisa memberatkan diri sendiri?” kata Agustinus.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, lanjut dia, yang membenarkan bahwa bukti elektronik dapat dipergunakan. Ia berpendapat pemerintah dan Polri diam saja, seolah mengiyakan hal tersebut.
“Harus ada peraturan soal penyitaan, sebab di dalam telepon seluler banyak hal yang dapat merugikan diri sendiri,” sambung Agustinus.
Namun, kata dia, berbeda jika Vanessa Angel sukarela menyerahkan telepon seluler miliknya untuk diperiksa.
Jika seseorang disangka melakukan tindak pidana, kata dia, maka si pendakwa harus mencari bukti.
“Penyitaan telepon seluler artinya mencari bukti dari orang itu. Siapa mendakwa, dia yang harus membuktikan. Jangan mengandalkan bukti dari terduga, kecuali dia ikhlas memberikan. Jadi ada keadilan,” kata Agustinus.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz