tirto.id - “Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh. Saat ini saya sedang bersantap siang dengan Yang Mulia Sri Baginda Raja Salman Bin Albdulaziz Al-Saud,” Joko Widodo tampak fasih mengeja gelar sang tamu. Tampangnya terlihat cerah.
Rabu, 1 Maret, Indonesia memang kedatangan Raja Salman, dari Arab Saudi. Presiden Joko Widodo menyambut langsung tamunya dari bandara. Presiden Jokowi kemudian menjamu Raja Salman untuk bersantap siang di Istana Bogor. Acara jamuan makan siang itulah yang dimanfaatkan oleh Presiden Jokowi untuk membuat vlog yang kemudian viral di dunia maya.
Dengan bangga, ia menceritakan kalau kunjungan sang Raja Arab Saudi kali ini merupakan kunjungan balasan karena dua tahun sebelumnya ia telah mengunjungi Arab Saudi. Jokowi bahkan menyebut kunjungan Raja Salman sebagai kunjungan bersejarah karena kunjungan ke Indonesia kali ini merupakan yang pertama kali dilakukan Raja Arab Saudi setelah 47 tahun terakhir.
Kegembiraan menyambut tamunya itu direkam Jokowi dengan kamera yang ada di tangannya sendiri. Video itu lalu diunggah ke kanal Indonesia Tercinta —kanal sang Presiden di Youtube di hari yang sama.
Dua hari sebelumnya, di Indramayu, Jawa Barat, sejumlah orang dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyiapkan bahan-bahan protes yang akan mereka pakai dalam sebuah aksi solidaritas. Aksi itu rencananya akan digelar, Kamis, 2 Maret, di depan Kantor Kedutaan Besar Arab Saudi, di Jakarta. Tujuannya untuk menekan Pemerintah Indonesia agar mendesak Raja Salman membebaskan 25 Warga Negara Indonesia (WNI) yang dipenjara dan menunggu ancaman hukuman mati di Arab Saudi.
Persiapan aksi di sekretariat SBMI Indramayu sempat didatangi aparat yang mengaku dari polisi dan Badan Intelijen Negara. Rumah anggota yang akan ikut aksi dan pergi ke Jakarta juga sempat didatangi. Sebagian ibu-ibu yang akan pergi, diintimidasi untuk membatalkan niatnya.
Sehari sebelum aksi, tepat di hari yang sama Presiden Jokowi mengunggah vlognya, Hari Yanto, sang koodinator lapangan dipanggil Polda Metro Jaya sekitar pukul 9 malam. Oleh polisi, ia diminta memindahkan lokasi aksi ke Kementerian Tenaga Kerja. Namun, Hari dan komite aksi menolak.
Keesokan harinya, 2 Maret 2017, sekitar pukul 1 siang, sekitar lima puluh orang—mengenakan pakaian hitam-hitam—berkumpul untuk menggelar aksi menolak kedatangan sang Raja Arab Saudi.
Tak sampai lima menit aksi itu dimulai, masa digiring polisi menjauhi gedung Kedutaan Besar Arab Saudi di Jalan HR Rasuna Said. Masa sempat menolak, akan tetapi polisi langsung mengambil tindakan. Mereka meringkus sekitar 12 orang pria dari masa untuk ditahan, yang akhirnya dibebaskan dengan syarat masa harus membubarkan diri.
Selama digiring, para orator sempat bergantian melakukan orasi keberatan. Nisa Yura, salah satu orator dari LSM Solidaritas Perempuan meneriakkan kekecewaannya pada pemerintah Indonesia. Dalam 11 nota kesepahaman yang disepakati Indonesia dan Arab Saudi dalam kunjungan bilateral kali ini, tak ada poin yang membicarakan perlindungan buruh migran di Arab Saudi. Dalam orasinya, Nisa sebagai warga negara menuntut pemerintah Indonesia untuk menekan Arab Saudi untuk tidak semena-mena mengkriminalisasi para buruh Indonesia yang mengadu nasib di sana.
Nisa mencontohkan kasus Rusmini, Tenaga Kerja Indonesia yang masih ditahan di Arab Saudi hingga kini karena tuduhan melakukan sihir. "Rusmini hanya salah satunya. Sumartini, Warnah, dan banyak buruh migran lainnya saat ini juga sedang menghadapi nasib di dalam penjara, dan menghadapi ketidakpastian hukum yang dialami. Hanya karena dituduh sihir, kawan-kawan," kata Nisa. "Kejahatan yang bahkan untuk kita sendiri enggak masuk akal!" tambahnya.
Rusmini Wati adalah TKI asal Desa Sukadana, Kecamatan Tukdana, Indramayu yang divonis mati di Riyadh, Arab Saudi, pada 2012 silam. Ia dituduh majikannya punya ilmu sihir yang membahayakan hidup mereka. Selain vonis mati, Rusmini juga dijatuhi hukuman cambuk sebanyak 1.200 kali. Hingga kini, Rusmini hanya bisa menanti grasi dari Raja Arab Saudi.
Arab Saudi memang dikenal sebagai salah satu negara yang tak ramah buruh migran. Salah satu sebab utamanya adalah sistem kafalah alias sistem sponsor yang diterapkan negara tersebut. Sistem ini dianggap terlalu merugikan pekerja, sebab hak privasi majikan terlalu kuat dibanding perjanjian kerja maupun peraturan ketenagakerjaan.
Menurut Migrant Rights, organisasi advokasi untuk para buruh migran di Timur Tengah, sistem kafalah adalah sistem sponsor yang membuat hak pekerja migran jadi sangat terbatas. Di bawah sistem ini, sponsor atau Kafeel yang mempekerjakan warga negara asing berhak memegang visa dan surat keterangan kerja atau iqomah para pekerjanya. Ini membuat kebebasan bergerak buruh migran terbatas, termasuk izin pulang. Sistem ini rentan membuka praktik eksploitasi dan perbudakan kaum pekerja migran.
Berdasarkan laporan organisasi tersebut, ada lebih dari 600 ribu pekerja migran di Timur Tengah yang bekerja secara paksa atau di bawah tekanan. Ada lebih dari 70 ribu kasus visa palsu dari sistem yang dibentuk kafalah, yang menyuburkan pasar gelap dan praktik jual beli pekerja asing di sana.
Keterangan buruknya dampak sistem kafalah ini diperkuat dengan temuan François Crépeau, pelapor khusus dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), yang meneliti sistem kafalah di Qatar. Ia sepakat bahwa sistem ini adalah sumber eksploitasi para buruh migran, menjadi pemicu kaum pekerja asing dianiaya di tempat kerja.
Tak hanya kasus Rusmini yang harusnya jadi catatan buruk perilaku pemerintah Arab Saudi pada WNI. Ada pula catatan kematian Siti Zaenab dan Karni Tarsim, dua TKI yang dihukum pancung di sana, 2015 silam. Kisah kedua buruh migran ini yang akhirnya membuat pemerintah Indonesia mengeluarkan moratorium, dengan melarang pengiriman TKI sektor informal ke 21 negara Timur Tengah termasuk Arab Saudi.
Kisah-kisah tragis ini, menurut Nisa dan orang-orang yang mengikuti aksi semalam sudah jadi bukti cukup untuk pemerintah berlaku tegas. Kedatangan sang raja dan 1.500 rombongannya memang akan membawa investasi bernilai miliaran ke negeri ini, tapi menurut Nisa, kabar 25 WNI yang nasibnya masih terkatung-katung di Arab Saudi juga harus dipikirkan, kalau tak mau daftar WNI yang dipancung di sana terus bertambah.
“Bisa-bisanya pemerintah kita berdiskusi, bernegoisasi dengan orang—dengan negara—yang selama ini terus membiarkan kekerasan terjadi di negaranya,” ungkap Nisa dalam orasinya.
Raja Salman dan rombongannya sendiri tampak tak terganggu dengan adanya demo yang digelar di depan Kedubes Arab Saudi. Raja Salman bahkan mengaku senang bisa berada di Indonesia, dan sangat senang dengan rakyat Indonesia. Karena baginya rakyat Indonesia adalah keluarga sendiri dan rakyat yang sangat mulia.
Pernyataan itu disambut terima kasih dari Presiden Jokowi, yang berharap pertemuan mereka dapat menjalin hubungan yang saling menguntungkan.
Semoga juga menguntungkan bagi Rusmini dan WNI lainnya yang masih menunggu kejelasan nasibnya di sana.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti