tirto.id - Tasya, bukan nama sebenarnya, pusing bukan kepalang ketika pada akhir Desember lalu neneknya dinyatakan positif COVID-19. Neneknya tertahan di Unit Gawat Darurat RS Hermina Kota Bekasi, menunggu dimasukkan ke ruang perawatan. Saat belum juga mendapat kamar, kondisi sang nenek memburuk dan butuh ventilator.
Sekeluarga kalang kabut mencari ruang ICU. “Dokter suruh cari ICU lain soalnya di sana (RS Hermina) sudah penuh,” kata dia kepada reporter Tirto, Selasa (5/1/2020). Hampir seluruh rumah sakit di Kota Bekasi segera ditelepon dan hasilnya nihil.
Di tengah keputusasaan itu, tiba-tiba RS Hermina memberi tahu ada ICU kosong sehingga nenek bisa langsung dirawat. Sayangnya nenek tak bisa terus bersama Tasya dan keluarga. Beberapa hari kemudian ia berpulang. (Sebelumnya kami menulis 'beberapa bulan kemudian'. Mohon maaf atas kekeliruan ini.)
Apa yang dialami Tasya dialami banyak orang lain. Fenomena ini adalah buntut dari semakin menipisnya fasilitas rumah sakit, terutama di ibu kota. Berdasar data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, per 5 Januari lalu hanya tersisa 14 tempat tidur ICU bertekanan negatif dengan ventilator, 12 tempat tidur ICU bertekanan negatif tanpa ventilator, 14 tempat tidur ICU tanpa tekanan negatif dengan ventilator, dan 6 tempat tidur ICU tanpa tekanan negatif dan tanpa ventilator.
Jumlah ini tentu tak sebanding dengan yang membutuhkan, apalagi penambahan kasus COVID-19 per hari terus meningkat.
Data itu pun tak sepenuhnya akurat. LaporCovid-19, sebuah koalisi warga untuk keterbukaan data dan advokasi kebijakan COVID-19, sempat menghubungi rumah sakit yang menurut data Pemprov DKI masih memiliki bed. Hasilnya, salah satu pasien ada di antrean ke-16.
Sukarelawan LaporCovid-19, Tri Maharani, menyebut sejak 1 Januari kemarin ICU di Jabodetabek telah penuh terisi. “Kemarin ternyata untuk kapasitas ICU masih penuh dan yang ada adalah beberapa rumah sakit dengan isolasi tapi tanpa ventilator,” kata Maharani dalam diskusi virtual, Selasa.
Kondisi serupa terjadi di wilayah lain. Di Jawa Barat, Gubernur Ridwan Kamil mengatakan tingkat keterisian rumah sakit Kota Bekasi 84,61 persen, Tasikmalaya 91.9 persen, bahkan di Kabupaten Karawang sudah 110 persen. Rata-rata tingkat keterisian rumah sakit di Jawa Barat mencapai 78,40 persen.
Kemudian, menurut Juru Bicara Satgas COVID-19 Jawa Timur Makhyan Jibril, tingkat keterisian ruangan ICU di sejumlah kota seperti Surabaya, Malang, Jember, dan Tulungagung sudah mencapai 70-100 persen.
Di Surabaya, berdasarkan data Sistem Informasi Rawat Inap (Siranap), ICU hanya tersisa di 5 rumah sakit dengan total 20 bed. Tapi bisa jadi itu juga tak akurat. Menurut Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Muhammad Adib Khumaidi, juga dalam diskusi virtual, ICU di Surabaya “bisa dikatakan lebih dari 100 persen karena masih ada yang di UGD dan selasar-selasar UGD.”
Dampak sesaknya rumah sakit tak cuma dirasakan orang per orang, tapi juga Rumah Sakit Darurat COVID-19 Wisma Atlet di Jakarta. Mereka pun harus mengantre untuk merujuk pasien bergejala berat. “Biasanya rumah sakit bilang, 'ada yang kosong karena meninggal'. Baru bisa masuk. Kondisinya seperti itu, lagi susah,” kata Komandan RSDC Letnan Kolonel Laut Muh. Arifin kepada reporter Tirto, Selasa.
Arifin menjelaskan Wisma Atlet memang tidak dirancang untuk menangani pasien bergejala berat. Di sini hanya ada 5 tempat tidur ICU transisi yang gunanya untuk mempersiapkan kondisi pasien agar stabil sebelum diantar ke ICU rumah sakit rujukan. Saat ini seluruh bed tersebut sudah penuh terisi.
Peningkatan Kematian
Epidemiolog dari Universitas Muhammadiyah Hamka Mouhammad Bigwanto mengatakan ketika tingkat keterisian rumah sakit khususnya ICU meningkat, dampak pertamanya adalah peningkatan kematian karena pasien tak tertangani.
Dalam kurun waktu seminggu, ada 1.406 kematian akibat COVID-19. Angkanya meningkat dibanding periode yang sama bulan lalu, yaitu 943.
“Dengan BOR (tingkat keterisian rumah sakit) yang hampir 100 persen, dipastikan dalam waktu dekat fasilitas kesehatan kita akan ambruk. Kecuali pemerintah mengambil langkah konkret kembali memberlakukan PSBB ketat. Sudah tidak ada jalan lain lagi, apalagi pasca libur panjang yang kemungkinan besar membuat kasus penularan naik terus,” kata Bigwanto kepada reporter Tirto, Selasa.
Kemarin, 6 Januari, pemerintah memutuskan akan memberlakukan pembatasan aktivitas sosial di Jawa-Bali, dua pulau dengan tingkat penyebaran COVID-19 yang tinggi. Pembatasan mengikuti beberapa kriteria yang salah satunya memang BOR untuk ICU dan ruang isolasi di atas 70 persen.
Pembatasan berlaku efektif pada 11 Januari hingga 25 Januari 2021.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino