Menuju konten utama

DPR Desak Pemerintah Terapkan Lockdown sebab Kasus COVID Melonjak

Komisi IX DPR RI mendesak pemerintah mengambil langkah yang lebih konkret seperti lockdown menyikapi lonjakan kasus COVID-19.

DPR Desak Pemerintah Terapkan Lockdown sebab Kasus COVID Melonjak
Petugas medis melakukan tes usap COVID-19 di Genomik Solidaritas Indonesia Laboratorium, Cilandak, Jakarta, Senin (4/1/2021). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id - Ketua Komisi IX DPR RI, Felly Estelite Runtuwene, meminta pemerintah mengambil langkah yang lebih konkret, daripada hanya sekadar mengimbau melakukan 3 M—mencuci tangan, menggunakan masker, dan menjaga jarak. Salah satu kebijakan yang bisa diambil, kata dia, adalah lockdown.

“Perlu penanganan yang tidak biasa. Sudah tidak bisa dengan hanya imbauan 3M lagi, tapi pemerintah harus melakukan lompatan. Misalnya, dengan lockdown parsial,” kata Felly lewat keterangan tertulisnya yang diterima wartawan Tirto, Rabu (6/1/2021) siang.

Kebijakan seperti itu, kata Felly, perlu dilakukan karena penularan Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda penurunan.

Apalagi, tambahnya, WHO menyebut Indonesia berada di posisi 20 terbanyak dengan jumlah kasus positif Covid-19 sebanyak 772.103 kasus, 639.103 pasien sembuh, dan 22.911 kematian. Angka tersebut disumbang dari penambahan rerata 7.000 orang positif Covid-19 19 per hari.

Kata dia, lockdown parsial akan memaksimalkan peran pemerintah daerah dalam mengurangi penularan dan pengadaan fasilitas kesehatan. Ia mendesak Kementerian Dalam Negeri untuk menggerakkan Pemerintah Daerah agar lebih serius mengatasi angka penularan dengan protokol kesehatan yang ketat.

“Yang juga tidak kalah penting adalah menyediakan fasilitas bagi pasien orang tanpa gejala (OTG) serta pasien dengan gejala lanjutan,” kata dia.

Felly mengatakan Kementerian Kesehatan kerap kesulitan berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah ihwal penanganan Covid-19, karena bukan wilayah kewenangannya. Idealnya, kata dia, Kemenkes dapat dengan mudah melakukan koordinasi dan kerja sama yang baik dengan dinas-dinas kesehatan.

“Namun, faktanya tidak semudah itu karena birokrasi dan pola koordinasi yang rumit,” kata dia. Koordinasi yang Felly maksud, termasuk terkait anggaran. “Jika pasien OTG dimasukkan ke rumah sakit menurut perhitungan biayanya bisa lebih dari Rp10 juta per orang. Pemerintah daerah juga perlu ada terobosan terkait fasilitas bagi OTG. Tidak dengan membangun yang baru, tapi bisa memakai gedung-gedung sekolah atau gedung milik pemerintah untuk perawatan.”

Satgas COVID-19 mencatat keterisian ICU dan tempat tidur RS di beberapa daerah sudah melewati batas aman. Ia mengatakan, kondisi RS dan ICU dan isolasi sudah semakin penuh seusai liburan panjang Natal dan Tahun Baru.

"Jika dilihat pada tren perkembangannya, keterisian ruang ICU dan isolasi secara nasional semakin meningkat dan mengkhawatirkan. Di beberapa daerah keterisian tempat tidur per 2 Januari, sudah melebihi 70%," kata Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito dari Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (5/1/2021).

Satgas mencatat tingkat keterisian tempat tidur yang sudah di atas batas 70 persen antara lain provinsi DKI Jakarta 84,74%, Banten 84,52%, DI Yogyakarta 83,36%, Jawa Barat 79,77%, Sulawesi Barat 79,31%, Jawa Timur 78,41%, Jawa Tengah 76,27%, Sulawesi Selatan 72,40% dan Sulawesi Tengah 70,59%. Hal ini, menurut Wiku, seharusnya menjadi peringatan bagi semua pihak.

Wiku menegaskan Indonesia masuk dalam situasi darurat bila melihat jumlah keterisian tempat tidur. Ia pun mengingatkan sisa tempat tidur yang masih ada belum tentu bisa digunakan semua oleh pasien yang membutuhkan perawatan karena terbatasnya tenaga kesehatan di rumah sakit.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri