Menuju konten utama

Saat Pemerintah Buru-Buru Distribusi Vaksin yang Belum Layak Pakai

Pemerintah telah mendistribusikan vaksin yang belum mendapatkan izin darurat. Alasannya untuk efisiensi waktu.

Saat Pemerintah Buru-Buru Distribusi Vaksin yang Belum Layak Pakai
Petugas melakukan bongkar muat vaksin COVID-19 Sinovac saat tiba di gudang vaksin (cold room) milik Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan di Palembang, Senin (4/1/2020). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/hp.

tirto.id - Pemerintah telah mengirim vaksin Sinovac ke belasan provinsi sejak beberapa hari lalu. Distribusi dilakukan kendati obat tersebut belum mendapat Persetujuan Penggunaan Darurat/Emergency Use Authorization (EUA) dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Situs resmi BPOM pada Selasa 5 Januari kemarin menulis “masih menunggu penyelesaian analisis data uji klinik fase 3 untuk mengonfirmasi khasiat/efikasi vaksin CoronaVac.”

Vaksinasi akan dilakukan selama 15 bulan dalam dua tahap. Tahap pertama berlangsung pada Januari hingga April tahun ini, lalu tahap kedua hingga Maret 2022. Sasarannya: 181,5 juta penduduk.

Meski belum mendapatkan EUA dan tak jelas pula kapan itu keluar, beberapa pejabat daerah telah menyebut secara spesifik kapan vaksinasi dimulai dan berapa orang yang bakal jadi sasaran.

Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Barat, Harisson, mengatakan vaksinasi akan dilakukan mulai 14 Januari sampai April kepada 26.651 tenaga kesehatan. Provinsi Sumatera Selatan juga demikian.

Pengiriman vaksin Sinovac oleh Bio Farma—perusahaan pelat merah yang ditunjuk pemerintah untuk menangani vaksin—bahkan dilakukan dengan upacara pelepasan. Padahal vaksin Sinovac masih menuai kritik keras dari publik dan para ahli karena perkara efektivitas dan yang paling penting belum lolos uji klinis tahap III—uji yang paling penting ke manusia.

Memang ada pula pejabat otoritas setempat yang enggan menyatakan kapan vaksinasi bakal dilakukan. Misalnya Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur, Herlin Ferliana, yang menyatakan tetap menunggu izin BPOM dan pengaturan teknis dari Kementerian Kesehatan. Sementara Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi, mengaku belum membahas distribusi ke 15 daerah kabupaten/kota salah satunya karena belum ada izin resmi.

Jangan Buru-Buru

Anggota Komisi IX Fraksi PKS Kurniasih Mufidayanti mengkritik langkah pemerintah yang mendistribusikan vaksin saat izin edar dan uji klinis tahap III belum rampung. “Kami sangat menyayangkan langkah ini,” kata Mufida, sapaan akrabnya, kepada wartawan Tirto, Selasa (5/1/20210) sore.

Mufida mengatakan dalam rapat terakhir sebelum reses antara Komisi IX DPR RI dan Kementerian Kesehatan, pihaknya sudah mewanti-wanti agar semua tahapan dilakukan setelah uji klinis tahap III rampung. Di rapat itu juga, kata Mufida, Komisi IX meminta pembelian vaksin tahap dua sebanyak 1,8 juta ditunda—kendati tetap dilaksanakan dan tiba di Indonesia pada 31 Desember. “Karena yang 1,2 juga sudah sampai itu saja sudah menimbulkan persoalan dan kontraproduktif. Ini 1,8 minta ditunda dulu sampai izin selesai, ternyata tetap dikirim,” kata dia.

Mufida menilai langkah pemerintah yang terkesan buru-buru akan berdampak buruk, salah satunya akan semakin menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Agar masyarakat percaya, kata dia, pemerintah perlu menyelesaikan semua rangkaian uji klinisnya sebelum vaksin benar-benar didistribusikan. “Jangan dikejar-kejar target waktu. Semua berjalan sesuai SOP. Sampai uji klinis selesai, izin BPOM keluar, EUA, efikasi terbukti, mutunya terbukti, dan tidak menimbulkan bahaya buat rakyat, keselamatan nomor satu,” kata dia.

Rencananya, kata dia, Komisi IX agar segera melaksanakan rapat kerja bersama Kementerian Kesehatan, BPOM, dan Bio Farma, pada 11 Januari mendatang usai rapat paripurna pembukaan masa sidang. Para anggota dewan akan meminta penjelasan terkait distribusi.

Mufida juga mewanti-wanti agar tak ada intervensi apa pun kepada BPOM. “Kami meminta BPOM independen dari pihak mana pun dan transparan dalam mengeluar izin, vaksin mana pun juga. Keselamatan rakyat harus jadi yang utama.”

Epidemiolog dari Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Mouhamad Bigwanto mengatakan yang bermasalah dari distribusi vaksin Sinovac adalah glorifikasi pemerintah. Semua ini mengesankan izin edar sudah keluar dan “terkesan wewenang BPOM cuma formalitas saja.” “Akhirnya kepercayaan publik terhadap independensi keputusan BPOM jadi menurun,” kata dia saat dihubungi Selasa sore.

Ia juga mempertanyakan kebijakan Presiden Joko Widodo yang akan disuntik vaksin pada 13 Januari—dua hari lebih cepat dari jadwal izin edar keluaran BPOM. Harusnya, kata dia, Jokowi disuntik bersamaan dengan warga Indonesia yang lain—saat izin edar telah keluar. “Saya dengar BPOM baru akan umumkan tanggal 15. Kalau Presiden divaksin tanggal 13, pertanyaannya itu vaksin apa? Jangan sampai terkesan vaksin yang diberikan ke Presiden dan ke rakyat berbeda.”

Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan satu-satunya alasan distribusi vaksin sebelum mengantongi EUA adalah “untuk menjamin ketersediaan vaksin yang merata... dengan memanfaatkan waktu yang telah ada.” Dengan kata lain, menurutnya pemerintah tak mau buang-buang waktu: sebisa mungkin vaksinasi dimulai setelah EUA keluar.

Dia juga memastikan vaksin yang bakal diberikan untuk Presiden sama seperti vaksin bagi warga. Selain itu juga baru akan disuntik “jika vaksin sudah mendapatkan EUA dari Badan POM.”

Baca juga artikel terkait VAKSIN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino