tirto.id - Dominasi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di sejumlah pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 mulai runtuh. Berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, PKS gagal menempatkan kadernya sebagai kepala atau wakil kepala daerah, khususnya di daerah-daerah yang selama ini menjadi lumbung suara parpol dakwah itu.
Di Pilgub Jawa Barat misalnya, hasil hitung cepat yang dirilis lembaga survei Indikator Politik menunjukkan, pasangan calon (paslon) Ahmad Syaikhu-Ilham Akbar Habibie hanya memperoleh suara di urutan kedua dengan 20,07 persen. Syaikhu merupakan Presiden PKS sejak 2020 yang ikut turun gunung dalam Pilgub 2024. Syaikhu menggandeng Ilham Habibie yang merupakan putra dari mantan Presiden BJ Habibie.
Pasangan yang diusung oleh tiga partai, yakni Nasdem, PKS, dan PPP tersebut kalah dengan pasangan Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan yang peroleh suara terbanyak, yaitu 61,16 persen. Sedangkan di bawah Ahmad Syaikhu-Ilham Akbar Habibie terdapat pasangan Acep Adang Ruhiat-Gitalis Dwinatarina (9.67 persen) dan pasangan Jeje Wiradinata-Ronal Surapradja (9,10 persen).
Tak beda jauh dengan Indikator, hasil hitung cepat Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukan bahwa pasangan Ahmad Syaikhhu-Ilham Akbar Habibie hanya memperoleh suara 18,28 persen. Sedangkan Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan unggul juah 62,22 persen. Data sampel masuk dalam survei ini baru 95,33 persen dan kemungkinan masih akan berubah.
Kekalahan PKS juga berasa di Jakarta. Meski menjadi partai dengan urutan pertama hasil perolehan suara sebanyak 1.012.028 suara atau 16,68 persen pada pemilihan anggota legislatif (Pileg) DPRD DKI pada Pemilu 2024, suara PKS di Pikada Jakarta jusrtu belum signifikan meski menerjunkan kadernya sendiri, Suswono.
Berdasarkan hasil hitung cepat yang dilakukan Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Pramono-Rano 50,93 persen, Ridwan Kamil-Suswono 38,94 persen, dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana 10,13 persen. Data yang masuk sudah sebanyak 96.33 persen. Jumlah ini bisa saja berubah meski tak signifikan.
Angka ini tak beda jauh dengan hasil hasil hitung cepat yang dilakukan lembaga survei Poltracking. Pramono-Rano unggul dengan perolehan suara 50,48 persen. Sedangkan Ridwan Kamil-Suswono 39,14 persen, dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana 10,38 persen. Data perolehan yang masuk baru mencapai 97,20 persen.
Di luar Jawa Barat dan Jakarta, untuk pertama kali dalam sejarah rezim kekuasaan PKS di Kota Depok juga akan berakhir. Ini setelah hasil perhitungan cepat Pilkada Kota Depok 2024 oleh dua lembaga survei, pasangan Imam Budi Hartono-Ririn Farabi Arafiq (Imam-Rinin) kalah dari Supian Suri-Chandra Rahmansyah (Supian-Chandra).
Lembaga survei Voxpol Center mencatat, pasangan Imam-Ririn yang mendapat nomor urut 1 hanya memperoleh 46,81 persen berdasarkan hasil penghitungan cepat per 27 November 2024, pukul 20:46 WIB dengan data suara masuk 100 persen. Sementara pasangan Supian-Chandra mengantongi 53,19 persen.
Serupa, lembaga survei Indikator Politik Indonesia juga memenangkan pasangan Supian-Chandra. Pasangan nomor urut 2 di Pilkada Kota Depok itu memenangkan 53,7 persen suara, sedangkan Imam-Ririn yang hanya 46,3 persen. Angka ini pun diprediksi riil karena perolehan suara sudah 98,5 persen dengan tingkat partisipasi pemilih 66,24 persen per 27 November 2024 pukul 20:26 WIB.
Penyebab Runtuhnya Suara PKS di Beberapa Daerah
Direktur IndoStrategi Research and Consulting, Arif Nurul Iman, melihat tumbangnya PKS dalam beberapa Pilkada di Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Depok tentu bisa dianalisa dari beberapa faktor.
Pertama, adalah soal ketokohan. Bisa jadi, kata dia, tokoh yang diusung PKS dalam bursa pilkada memang tokoh yang kurang menjual. “Sehingga tidak mendapat atensi dan dukungan oleh pemilih atau masyarakat,” kata Arif kepada Tirto, Senin (2/12/2024).
Kemudian faktor kedua bisa jadi akibat kesalahan dalam menjalin aliansi atau koalisi dengan partai-partai lain. Ketidakcermatan dalam memilih mitra koalisi pada akhirnya berimbas pada tidak tercapainya hasil suara yang signifikan.
Selain itu, lemahnya mesin politik partai juga menjadi faktor penting dalam kegagalan tersebut. PKS dinilai gagal dalam mengantisipasi dinamika situasi politik yang berkembang, yang berdampak pada kesulitan dalam meraih dukungan pemilih.
Lebih jauh, Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, melihat bahwa kekalahan di Jawa Barat sebenarnya tidak mengejutkan. PKS terakhir berkuasa pada 2013-2018 ketika masih ada Ahmad Heryawan (Aher). Setelah Aher, PKS tidak memiliki calon kuat di Jawa Barat.
“Progres popularitas Ahmad Syaikhu terbilang stagnan,” kata Musfi kepada Tirto, Senin (2/12/2024).
Jauh sebelum pemilihan, survei Voxpol pada periode 11-20 Oktober 2024 dengan 800 responden menempatkan elektabilitas dari pasangan Ahmad Syaikhu-Ilham Habibie menempati peringkat kedua dengan angka 18,6 persen.
Sementara pasangan Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan unggul dengan elektabilitas 61,8 persen di peringkat pertama. Sedangkan, pasangan Acep Adang Ruhiyat dan Gita Dwi Natarina 7,4 persen dan Jeje Wiradinata dan Ronal Surapradja 5,6 persen.
Di sisi lain, branding Dedi Mulyadi sangat progresif dan impresif. Selain dukungan besar KIM, setelah tidak adanya Ridwan Kamil, Dedi Mulyadi adalah tokoh yang paling tinggi elektabilitasnya di Jawa Barat. “Apalagi kemarin kan ada perdebatan panjang di KIM Plus terkait di daerah mana RK diusung. Jika RK maju di Jabar, praktis Dedi Mulyadi batal maju,” jelas dia.
Kemudian terkait Depok, kata Musfi, ini bisa dikatakan sebagai sejarah. Untuk pertama kalinya paslon yang diusung PKS kalah di Depok. Menurut dia, ada tiga faktor penting di balik kemenangan Supian Suri.
Pertama, berdasarkan catatan survei, misalnya dari Indikator, elektabilitas Supian Suri memang sangat bersaing, bahkan juga sempat menyalip tipis elektabilitas Imam. Perbedaan elektabilitas yang tipis itu ditambah dengan masifnya baliho dan spanduk Supian di Depok, sehingga memberi efek peningkatan popularitas yang signifikan.
“Besarnya dukungan KIM membuat distribusi dan penempatan baliho, stiker, dan spanduk menjadi begitu menyebar,” kata Musfi menambahkan.
Faktor ketiga, lanjut Musfi, memang ada kejenuhan di warga Depok sendiri terhadap PKS. Pola ini terlihat di berbagai daerah, yang mana masyarakat mengganti pilihan akibat jenuh dari kekuasaan tertentu.
Misalnya runtuhnya dinasti Ratu Atut di Pilgub Banten, dan kalahnya PDIP di Pilgub Jateng. Kalahnya Golkar di Banten, PDIP di Jateng, dan PKS di Depok dapat dikatakan sebagai pola yang sama, ada kejenuhan masyarakat yang kemudian ingin melihat kekuasaan yang baru.
“Dan memang, dalam 20 tahun terakhir ada banyak persoalan di Depok yang tidak membuat puas masyarakat. Misalnya infrastruktur, kemacetan di Depok bukan main adanya, tapi tidak ada solusi konkret selama ini,” jelas dia.
Terkait di Jakarta sendiri, kata Musfi, ini belum selesai karena masih ada potensi dua putaran. Bercermin pada Pilgub Jakarta 2017 misalnya, Anies Baswedan yang diusung koalisi Gerindra, PKS, dan sejumlah parpol lain kalah di putaran pertama, kemudian menang di putaran kedua.
“Sekarang kita tunggu pengumuman resmi real count dari KPU terkait Pilgub Jakarta 2024,” kata Musfi.
Di sisi lain, Juru Bicara PKS, Ahmad Mabruri, merespons santai terhadap kekalahan partainya di beberapa daerah pada pilkada kali ini. Menurut dia, kekalahan adalah bagian dari dinamika politik dan merupakan keniscayaan dalam setiap pilkada.
Ahmad Mabruri menekankan bahwa dalam pilkada, banyak faktor yang mempengaruhi hasil, bukan hanya sekadar tokoh atau dukungan individu tertentu.
PKS sendiri, lanjut dia, akan melakukan evaluasi setelah pengumuman hasil real count dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) provinsi dan kabupaten-kota. Evaluasi ini diharapkan bisa memberikan pemahaman lebih mendalam terkait kekalahan yang dialami.
“Nanti kami evaluasi,” kata dia mengakhiri.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz