tirto.id - "Semenjak zamannya Maladi
Hingga ke zaman Ronny Pattinasarany
Mereka berjuang demi negeri
Untuk satu nama PSSI"
Lirik lagu "Kop dan Headen" dari Padhyangan Project atau P-Project ini cukup populer di pertengahan 1990-an. Grup musik asal Kota Bandung ini memarodikan lagu "Close to Heaven" dari Color Me Badd. Ya, seperti Maladi yang menjadi legenda sepakbola nasional, Ronny Pattinasarany juga bagian dari daftar pemain Indonesia yang ikut mengharumkan nama bangsa.
Ronny Pattinasarany lahir di Makassar pada 9 Februari 1949. Pemain sepak bola berdarah Ambon ini mengawali kariernya pada 1966 di klub PSM junior. Sejak kecil, Ronny sudah bercita-cita menjadi pemain sepak bola. Hal ini berkat bimbingan dan dukungan ayahnya, Nus Pattinasarany, pemain sepak bola di era sebelum kemerdekaan.
Kelak, ia yang gantung sepatu pada 1983 ini dikenal juga sebagai pelatih, pengurus PSSI, dan komentator sepak bola. Suaranya yang berat dan sedikit serak kerap hadir di layar televisi. Ronny fasih bicara soal strategi dan pergerakan pemain. Masa-masa awalnya menjadi komentator sepak bola adalah di TVRI. Ia menjadi komentator final Piala Winner antara Ajax vs KV Mechelen tahun 1988.
Apa yang ia katakan di layar kaca tentu bukan omong kosong atau meramal pertandingan. Ronny memiliki pengalaman empiris selama belasan tahun sebagai pemain sepakbola, dan tahun-tahun selanjutnya ia aktif sebagai pelatih.
Ronny bahkan bukan pemain sembarangan, ia adalah gelandang handal di masanya. Itu terbukti dari sederet prestasi yang ia torehkan. Dalam perjalanan kariernya, Ronny pernah menyabet beberapa penghargaan seperti Pemain All Star Asia (1982), Olahragawan Terbaik Nasional (1976 dan 1981), Pemain Terbaik Galatama (1979 dan 1980), dan Medali Perak SEA Games (1979 dan 1981).
Karier kepelatihannya juga tak bisa dianggap remeh. Ia pernah melatih Krama Yudha Tiga Berlian, Makassar Utama, Petrokimia Gresik, Persiba Balikpapan, Persita Tangerang, Persitara Jakarta Utara, dan Persija Jakarta. Prestasi terbaiknya sebagai pelatih adalah membawa Petrokimia Gresik menjuarai sejumlah turnamen seperti Surya Cup dan Petro Cup.
Di tubuh PSSI, Ronny pernah menjadi Direktur Pembinaan Usia Muda (2006), Wakil Ketua Komdis (2006), dan Tim Monitoring Timnas (2007). Rekan-rekannya menyebut Ronny sebagai sosok yang berani. Bambang Nurdiansyah, rekan Ronny di timnas mengatakan bahwa Ronny kerap membela teman-temannya dan tak takut pada manajemen. “Beliau tidak segan-segan berkata lantang kepada manajemen PSSI," kata Bambang.
Sementara pelatih kawakan Benny Dollo menyebut Ronny adalah orang yang konsisten menekuni dunia sepak bola. "Betul-betul selama hidupnya beliau cari nafkah dan bekerja dengan bola. Dia seratus persen memberikan hidupnya untuk bola," kata Bendol.
Pertandingan Berikutnya
Setelah puluhan tahun melakoni dunia sepak bola, baik sebagai pemain, pelatih, dan komentator, serta menjalani pertandingan demi pertandingan, Ronny akhirnya harus berhenti. Namun, ia tetap harus menjalani pertandingan berikutnya, yakni melawan bandar narkoba yang mencoba merenggut kehidupan anak-anaknya.
Dari pernikahannya dengan Stella Maria, Ronny dikaruniai tiga orang anak: Robenno Pattrick (Benny), Henry Jacques (Yerry), dan Tresita Diana. Dua anak laki-lakinya inilah yang terjerat narkoba. Dalam "Berebut Cinta dengan Bandar Narkoba" yang dihimpun dalam Kick Andy: Kumpulan Kisah Inspiratif (2008) disebutkan bahwa salah seorang anaknya mengenal narkoba sejak duduk di bangku SMP. Saat itu Ronny tengah menjadi pelatih Petrokimia Gresik.
"Saya dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit, sepak bola atau menyelamatkan anak. Saya pun akhirnya memutuskan meninggalkan sepak bola, kembali ke Jakarta meskipun pada saat itu saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan," ungkap Ronny.
Kepada istrinya, Ronny berkata, "Mama juga jangan malu. Ini musibah. Mungkin kita sedang ditegur Tuhan."
Kewalahan mengendalikan Yerry terhadap narkoba, Ronny pun meminta anak pertamanya, Benny, untuk menjaga adiknya. Namun, Benny juga ternyata kecanduan narkoba, dan bahkan lebih parah dari adiknya.
Tak tega melihat anak-anaknya yang sering kesakitan karena kecanduan narkoba, Ronny kerap mengantar mereka ke bandar narkoba untuk membeli barang haram tersebut. Ia tentu bukan mendukung perbuatan melanggar hukum itu, tapi karena hatinya koyak saat anak-anaknya kesakitan. Ronny bahkan sering berpikir untuk membunuh bandar narkoba, namun pikiran itu akhirnya ia hentikan.
"Ngapain ngurusin bandar, jauh lebih baik ngurusin anak. Saya berusaha berebut kasih sayang dengan bandar," ungkapnya.
Perjuangan Ronny akhirnya berhasil. Kedua anaknya dapat berhenti dari ketergantungan narkoba. Pertandingan dengan bandar ia menangkan.
Warsa 2007, Ronny lagi-lagi harus bertanding, kali ini melawan kanker hati yang menyerangnya. Ia empat kali menjalani pengobatan ke Guangzhou, Cina. Namun penyakit itu terus menggerogotinya hingga Ronny tak mampu lagi bertahan. Tanggal 19 September 2008, tepat hari ini 12 tahun lalu, Ronny Pattinasarany wafat di sebuah rumah sakit di Pulomas, Jakarta. Dan pertandingan pun usai.
Editor: Irfan Teguh