tirto.id - Koran Sin Tit Po edisi 9 Agustus 1937 melaporkan, "Saat menahan serangan lawan, Maladi sering melakukan tindakan berbahaya dengan menjatuhkan diri di depan sepatu musuh... Nan Hwa terus menyerang, tetapi mereka tak beruntung menembus penjagaan PSSI yang bekerja kelewat rapat dan rajin. Wai Tong sempat mengumpan dengan manis yang sayangnya bisa disapu Maladi.”
“Nan Hwa seharusnya lebih sering menembak jauh mengingat silaunya matahari di muka Maladi yang bisa bikin menyerah. Sayang sekali mereka masih suka melakukan operan pendek meskipun sudah dekat gawang," lanjut pemberitaan itu.
"Shiu Wing dari dekat mengirim bola ke samping dan diterima King Cheung. Sebelum ditendang, tiba-tiba Maladi menjatuhkan diri di depan ujung sepatu King Cheung sembari meraup bola lalu mengusirnya pergi. Keberanian dan ketabahan Maladi harus dipuji.”
Laga persahabatan antara tim PSSI melawan Nan Hwa itu digelar di Semarang pada 7 Agustus 1937. Nan Hwa bukan klub sembarangan dan diprediksi bisa mengganyang tuan rumah dengan skor telak. Tim asal Cina ini merupakan salah satu klub terkuat di Asia kala itu. Sedangkan tim PSSI dibentuk dadakan lantaran situasi di masa kolonial Hindia Belanda.
PSSI ditekan habis-habisan nyaris sepanjang laga. Beruntung, berkat solidnya barisan pertahanan dan aksi-aksi ciamik Maladi yang tak kenal lelah jatuh-bangun di depan gawang, PSSI mampu memaksakan hasil imbang 1-1.
Maladi, yang tampil sebagai pahlawan dalam laga itu, kelak turut berjuang dalam perang mempertahankan kemerdekaan, lalu menjadi Ketua Umum PSSI, hingga masuk kabinet. Presiden Sukarno menunjuknya sebagai Menteri Olahraga RI pertama, dan satu-satunya.
Musik, Sepakbola, Hingga Perang
Di kaki Gunung Lawu, di sebuah desa terpencil di Karanganyar, dekat Surakarta, Jawa Tengah, Raden Maladi dilahirkan pada 31 Agustus 1912. Sepakbola bukanlah hal yang paling disukainya semasa kecil. Ia lebih menyukai musik. Maladi sudah gemar bermain gamelan dan hobi bernyanyi sejak duduk di bangku sekolah dasar.
Kelak, ketika sudah lebih dikenal sebagai pejuang, olahragawan, bahkan pejabat, Maladi tidak melupakan musik. Di waktu-waktu luangnya, bahkan di tengah perang sekalipun, ia tetap berkarya. Lahirlah sederet tembang ciptaannya yang ternyata abadi, sebut saja "Di Bawah Sinar Bulan Purnama", "Nyiur Hijau", "Rangkaian Melati", "Solo di Waktu Malam", dan masih banyak lagi.
Musik menjadi salah satu medan juang bagi Maladi. Tidak sedikit karyanya yang tercipta saat berjuang menghadapi Belanda selama masa Revolusi (1945-1950). Lagu-lagu Maladi seringkali mengambil tema situasi saat itu, dan menjadi penghibur bagi para pejuang lainnya.
Maladi menekuni olahraga, khususnya sepakbola, sejak usia remaja. Pada 1930, saat baru memasuki usia 18, ia bergabung dengan PSIM Yogyakarta, salah satu klub tertua di Indonesia yang turut membidani lahirnya PSSI. Maladi juga pernah memperkuat klub legendaris lainnya, Persebaya Surabaya.
Di masa-masa itu, PSSI memperoleh tawaran laga persahabatan dari klub asal Austria, Wiener Sport Club. Maladi terlibat dalam pertandingan yang dihelat pada 1936 tersebut. Dikutip dari buku Drama itu Bernama Sepakbola (2013) karya Arief Natakusumah, laga ini merupakan pertandingan pertama klub PSSI melawan tim luar negeri (hlm. 89).
Setahun kemudian, PSSI tanding lagi menghadapi klub asing. Kali ini adalah salah satu tim terkuat Asia kala itu, yakni Nan Hwa asal Cina. Maladi kembali terpilih untuk mengawal gawang tim PSSI. Ia tampil luar biasa dan menghindarkan PSSI dari kekalahan. Skor akhir sama kuat 1-1.
Dari dua pertandingan PSSI melawan klub luar negeri tersebut, mulai muncul wacana pembentukan tim nasional kendati kala itu Indonesia belum merdeka.
Pada 1938, Hindia Belanda tampil di Piala Dunia yang digelar di Perancis. Namun, Maladi tidak turut serta dalam skuad itu. Yang dikirim adalah para pemain pilihan NIVU (Nederlandsch-Indische Voetbal Unie) atau federasi sepakbola bentukan pemerintah kolonial. Sementara itu, Maladi adalah pemain Persebaya, klub anggota PSSI.
Saat itu, terdapat tiga federasi sepakbola di tanah air. Selain NIVU dan PSSI, ada pula HNVB (Hwa Nan Voetbal Bond) yang dimotori orang-orang keturunan Tionghoa. Dari ketiganya, hanya NIVU yang diakui FIFA.
Meskipun sempat terjadi polemik, seperti diungkap dalam Brazillian Football and Their Enemies (2014) oleh Pandit Football Indonesia, PSSI sadar bahwa mereka bukan anggota FIFA seperti NIVU. FIFA memang hanya mengakui NIVU sebagai satu-satunya organisasi sepakbola di Hindia Belanda (hlm. 209).
Maladi sempat meninggalkan ranah olahraga selama masa Revolusi. Ia turut berjuang mengangkat senjata menghadapi agresi militer Belanda yang ingin berkuasa kembali di Indonesia.
Salah satu momen paling heroik yang pernah dialami Maladi sebagai seorang pejuang adalah ketika turut memimpin pasukan tentara pelajar dalam peristiwa Serangan Umum Empat Hari di Solo pada 7 -10 Agustus 1949.
Dari PSSI Masuk Kabinet
Jelang Asian Games I yang akan digelar di New Delhi, India pada 1951 itu, Maladi selaku Ketua Umum PSSI menorehkan sejarah dengan mendatangkan Choo Seng Que asal Singapura. Inilah untuk pertama kalinya sejak Indonesia merdeka, timnas sepakbola dibesut pelatih asing.
Maladi ingin pasukan Garuda mampu berbicara banyak di New Delhi. Indonesia butuh prestasi di lapangan hijau—sesuatu yang belum bisa digapainya saat masih muda dulu termasuk gagal tampil di Piala Dunia 1938. Ketua Umum PSSI ini adalah mantan pesepakbola nasional. Ia pernah menjadi kiper andalan Timnas Indonesia.
Namun, harapan Maladi di Asian Games I belum terwujud. Maulwi Saelan dan kawan-kawan dihajar tuan rumah India dengan skor 0-3. India pun akhirnya berhasil meraih medali emas setelah membekuk Iran 1-0 di partai puncak.
Kendati gagal di New Delhi, pemerintah rupanya masih membutuhkan peran Maladi untuk mengawal pertumbuhan olahraga di tanah air, bahkan bukan hanya sepakbola. Maka sejak 1964, Presiden Sukarno menunjuknya sebagai Menteri Olahraga.
Sebetulnya, Maladi sudah masuk kabinet setelah purnatugas dari posisi Ketua Umum PSSI. Ia menjabat Menteri Penerangan sejak 1959 karena sedari awal kemerdekaan ia telah bekerja di Radio Republik Indonesia (RRI).
Maladi tercatat sebagai Menteri Olahraga RI yang pertama. Sebelum Maladi, urusan olahraga menjadi tugas Menteri Negara Urusan Pemuda (1946-1948) atau Menteri Pembangunan/Pemuda (1948-1949). Baru pada 1964, Kementerian Olahraga dihadirkan dan Maladi yang dipercaya untuk memimpinnya.
Menurut Brigitta Isworo Laksmi & Primastuti Handayani dalam M.F. Siregar: Matahari Olahraga Indonesia (2008), Sukarno merasa perlu adanya kementerian khusus olahraga setelah Indonesia menggelar Asian Games 1962. Sedangkan untuk mengurusi event besar itu, pada 1961 presiden membentuk Dewan Asian Games Indonesia atau DAGI (hlm. 83).
Juru Sukses Asian Games & Ganefo
Maladi sangat dilibatkan dalam persiapan Asian Games bahkan sejak 1959. Namun, posisi Maladi sebagai Menteri Penerangan menimbulkan pro dan kontra terkait keterlibatannya dalam urusan olahraga.
Maka, pada April 1962, sebagaimana dijelaskan Julius Pour dalam Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno (2004), presiden melantik Maladi sebagai Menteri Olahraga (hlm. 27).
Saat itu, Kementerian Olahraga belum ada dan jabatan Maladi selaku Menteri Penerangan seharusnya baru berakhir pada 1964. Namun, demi suksesnya pesta olahraga terbesar se-Asia, tindakan presiden itu tampaknya memang harus dilakukan.
Maladi membuat sejumlah gebrakan dalam rangka Asian Games 1962, baik saat masih menjabat Menteri Penerangan maupun sebagai Menteri Olahraga. Selain bertanggungjawab atas pembangunan pusat olahraga di Senayan, ia juga merintis pendirian stasiun televisi pertama di Indonesia, yang semula untuk menyiarkan Asian Games. Inilah cikal-bakal lahirnya TVRI.
Setelah Asian Games 1962, ajang besar selanjutnya sudah menanti Maladi, yakni Ganefo (Games of the New Emerging Forces) I atau pesta olahraga sedunia untuk negara-negara berkembang, yang boleh dikatakan sebagai pesaing Olimpiade. Sama seperti Asian Games 1962, Indonesia juga menjadi tuan rumah Ganefo yang digelar pada 1963.
Presiden Sukarno menunjuk Maladi sebagai ketua sekaligus anggota Komite Nasional Ganefo. Diikuti oleh 51 negara dengan melibatkan 2.700 atlet, Ganefo I berlangsung cukup sukses. Indonesia menempati posisi ketiga di bawah Cina dan Uni Soviet dengan mengumpulkan 17 medali emas, 24 medali perak, serta 30 perunggu.
Maladi menjabat sebagai Menteri Olahraga RI dalam tiga kabinet, yakni Dwikora I, Dwikora II, dan Dwikora III yang berakhir pada 25 Juli 1966. Terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 menjadi awal perubahan besar di negeri ini, hingga akhirnya Sukarno terguling dari kursi kepresidenan.
Situasi inilah yang membuat Maladi menepi dari hiruk-pikuk politik nasional setelah tidak lagi duduk di kabinet. Namun, ia masih terlibat dalam berbagai urusan olahraga, termasuk merancang arsitektur Stadion Sriwedari di Solo.
Maladi adalah Menteri Olahraga RI pertama dan satu-satunya karena tidak ada lagi Kementerian Olahraga yang berdiri sendiri setelah masa kepemimpinannya. Pada 30 April 2001, Maladi wafat pada umur 88.
Sebelum menjadi pesepakbola profesional bersama PSIM pada 1931, Maladi pernah memperkuat kesebelasan Brawijaya. Salah satu rekan satu klub sekaligus sahabatnya adalah Sularso Kunto Suratno atau yang lebih dikenal dengan nama Pakualam VIII, penguasa Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta.
Dari lingkungan Pakualaman itulah kelak muncul sosok menteri yang juga mengurusi olahraga—seperti halnya Maladi—meskipun cuma menjabat kurang dari setahun, yakni pada 2013-2014. Menteri itu bernama Roy Suryo.
Editor: Ivan Aulia Ahsan